Dorong Produksi Minyak, Eksplorasi Sumur Baru Perlu Jadi Prioritas
Target produksi siap jual atau ”lifting” minyak bumi pada asumsi RAPBN 2024 akan berkisar 615.000-640.000 barel per hari. Target terus turun seiring produksi yang tak optimal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum optimalnya produksi siap jual atau lifting minyak bumi saat ini membuat asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 berkisar 615.000-640.000 barel per hari. Pemerintah didorong untuk fokus pada eksplorasi sumur-sumur migas baru agar produksi bisa ditingkatkan untuk kebutuhan energi ke depan.
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/6/2023), disepakati lifting minyak bumi pada Asumsi Dasar Sektor ESDM RAPBN Tahun Anggaran 2024 berkisar 615.000-640.000 barel per hari.
Selain itu, disepakati juga harga minyak mentah Indonesia (ICP) 75-80 dollar AS per barel, lifting gas bumi 1.030.000-1.036.000 barel setara minyak per hari, dan biaya produksi yang dipulihkan (cost recovery) 8-8,25 miliar dollar AS. Juga volume BBM bersubsidi 18,73-19,58 juta kiloliter dan subsidi solar Rp 1.000-Rp 3.000 per liter.
Dengan demikian, tren penurunan asumsi lifting minyak bumi berlanjut. Pada asumsi 2022, lifting minyak bumi sebesar 703.000 barel per hari, tetapi realisasinya hanya 612.300 barel per hari. Pada 2023, target pun lebih rendah dari tahun sebelumnya, yakni menjadi 660.000 barel per hari.
Target lifting minyak bumi pada 2024 pun akan kembali turun, didasarkan pada produksi yang tak optimal. Selain karena sumur-sumur migas yang sudah tua (mature), keandalan fasilitas produksi juga tengah terganggu.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/6/2023), mengatakan, penurunan produksi tersebut sebenarnya sudah terprediksi. Sebab, secara alamiah, produksi di sumur-sumur migas tua pasti akan mengalami penurunan.
”Target menaikkan lifting minyak bumi hingga 1 juta barel per hari pada 2030 tak akan pernah terjadi kalau kita tidak serius dalam menemukan cadangan baru dengan melakukan (pengeboran) eksplorasi secara signifikan. Butuh keseriusan serta perubahan radikal untuk itu,” ujar Daymas.
Menurut dia, daya tarik investasi untuk eksplorasi, dengan sejumlah risiko yang ada, haruslah menarik. Dengan demikian, pengeboran eksplorasi bisa digenjot. Para calon investor perlu diyakinkan, termasuk misalnya dengan eksplorasi langsung dilakukan oleh SKK Migas.
”SKK Migas bisa fokus di sana (eksplorasi). Begitu ketemu, langsung dilempar siapa yang mau. Sebab, jika kita menunggu KKKS dengan skema sekarang, KKKS akan main aman,” ujarnya. Selama ini, pengeboran eksplorasi di wilayah kerja migas dilelang kepada para KKKS.
Dalam raker di Komisi VII DPR, Senin, Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf menuturkan, gangguan keandalan pada fasilitas produksi masih terjadi, terutama yang sudah tua. Sejumlah fasilitas produksi minyak bumi pun memerlukan perbaikan komprehensif, yang juga membutuhkan waktu dan biaya.
”(Posisi) saat ini, lifting (minyak bumi) 605.000 barel per hari, (meski) potensinya 620.000 per hari. Kita bolak-balik bermasalah dengan reliability (keandalan). Menurut kami, (target) diberi kelonggaran dulu. Sebab, mau tak mau harus ada perbaikan signifikan untuk menghindari loss production opportunity,” katanya.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Mukhtarudin, mengatakan, meski saat ini sudah ada kegiatan eksplorasi sumur-sumur migas baru, pemanfaatannya baru akan dirasakan 8-9 tahun ke depan. Artinya, target 1 juta barel minyak pada 2030 ialah angka yang mustahil tercapai.
Ia pun menyarankan agar revisi dan evaluasi terkait target itu. ”Ini menyangkut perencanaan pemerintah. (Juga) neraca migas pemerintah, termasuk ekspor-impor. Ini juga bisa memengaruhi rencana jangka panjang nasional kita, termasuk forecast (perkiraan) PNBP (penerimaan negara bukan pajak) kita,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman menuturkan, pihaknya ingin mendorong optimisme pemerintah agar serius dalam meningkatkan produksi migas nasional. ”Sebab, meningkatnya produksi nasional kita tentu akan berbanding lurus juga pada peningkatan pendapatan negara,” ucapnya.
Dalam raker pada Selasa juga mengemuka belum tuntasnya pengalihan saham 35 persen saham Shell (65 persen lainnya milik Inpex) yang membuat proyek strategis nasional itu belum juga berjalan. Adapun Shell menyatakan mundur dari proyek itu pada 2020, tetapi negosiasi pelepasan hak partisipasi masih alot.
Kendati demikian, Arifin Tasrif optimistis hal tersebut bisa segera terselesaikan. ”Insya Allah akhir bulan (Juni) ini kita selesaikan perjanjian jual beli atau alih sahamnya. Sudah ada titik temu. Jadi, nanti Pertamina dan konsorsium yang akan takeover (mengambil alih dari Shell),” katanya.
Catatan Kompas, proyek Blok Masela yang kaya gas bumi memang penuh kontroversi. Ditemukan tahun 2000 oleh Inpex, Shell lalu masuk pada 2011, yang membuat komposisi saham 65 persen untuk Inpex dan 35 persen milik Shell. Kemudian, ada perdebatan di internal pemerintah mengenai terkait mana yang lebih efisien apakah di laut lepas (offshore) atau di darat (onshore).
Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan proyek itu harus dilaksanakan dengan skema di darat. Revisi rencana pengembangan (POD) lalu disetujui pada 2019. Namun, setahun kemudian, Shell menyatakan mundur dari proyek itu, tetapi hingga kini masih tercatat sebagai pemegang 35 persen saham Blok Masela.