Penerimaan Pajak Melambat, Pemerintah Yakin Rasio Utang Terkendali
Di tengah penerimaan negara yang melambat, pemerintah dihadapkan pada tantangan menurunkan rasio utang dan defisit fiskal. Meski demikian, pemerintah optimistis kinerja APBN terjaga dan rasio utang bisa diturunkan.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Spanduk sosialisasi pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan terpasang di kawasan Pasar Puri Indah, Jakarta Barat, Jumat (3/3/2023). Hingga awal Maret 2023, Direktorat Jenderal Pajak mencatat 5,7 juta wajib pajak telah melaporkan SPT. Batas lapor SPT Tahunan untuk wajib pajak pribadi adalah 31 Maret 2023, sedangkan untuk wajib pajak badan akan ditutup pada 30 April 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Tren perlambatan penerimaan pajak awal tahun ini berlanjut seiring dengan berakhirnya momentum durian runtuh kenaikan harga komoditas. Di tengah pendapatan negara yang moderat itu, pemerintah meyakini kebijakan pembiayaan utang tetap terkendali dan rasio utang dapat diturunkan sesuai target.
Tanda-tanda melambatnya penerimaan pajak sudah terlihat sejak awal tahun ini. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak pada Januari 2023 tumbuh 48,6 persen, kemudian menurun menjadi 40,35 persen pada Februari 2023, 33,78 persen pada Maret 2023, dan menyentuh 21,29 persen pada April 2023.
Pada April 2023, penerimaan negara dari pajak mencapai Rp 688,15 triliun, setara dengan 40,05 persen dari target pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Meski masih tumbuh 21,29 persen, laju pertumbuhannya melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu ketika penerimaan pajak pada April 2022 masih mampu tumbuh 51,49 persen.
Perlambatan pertumbuhan pada periode tersebut disebabkan oleh menurunnya harga mayoritas komoditas utama serta penurunan aktivitas ekspor dan impor. Dalam konferensi pers APBN Kita edisi Mei 2023, Senin (22/5/2023) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mulai mewaspadai normalisasi basis penerimaan akibat kondisi ekonomi global yang volatil itu.
Di tengah penerimaan negara yang semakin moderat itu, pemerintah dihadapkan pada tantangan menurunkan rasio utang dan defisit fiskal setelah sebelumnya sempat membengkak akibat pandemi Covid-19. Sampai 30 April 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 7.849,8 triliun dengan rasio utang 38,15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
TANGKAPAN LAYAR APBN KITA
Pertumbuhan penerimaan pajak mengalami tren menurun seiring dengan berakhirnya momentum kenaikan harga komoditas.
Kendati rasio dan nominal utang itu menurun secara bulanan dibandingkan Maret 2023, tetapi posisi utang telah meningkat selama lima tahun terakhir akibat pandemi. Sejak 2020 sampai 2023, nominal utang pemerintah bertambah Rp 3.070,5 triliun dengan rasio utang di atas 30 persen mendekati 40 persen.
Saat dihubungi, Kamis (25/5/2023), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Sumito mengatakan, meski penerimaan pajak mengalami perlambatan, tetapi kinerja APBN dalam dua tahun terakhir yang baik akibat penerimaan negara yang meningkat signifikan di tengah momentum windfall komoditas membuat posisi utang masih terkendali.
”Perbaikan kinerja APBN selama dua tahun itu telah membantu mengurangi pembiayaan utang, sehingga outstanding utang dan posisi utang dapat dikendalikan, dengan rasio utang yang dapat terus diturunkan dalam dua tahun terakhir ini,” kata Sumito.
Di tengah penerimaan negara yang semakin moderat itu, pemerintah dihadapkan pada tantangan menurunkan rasio utang dan defisit fiskal.
Masih aman
Rasio utang pemerintah sempat meningkat hingga menyentuh 41 persen terhadap PDB, tertinggi sejak reformasi, pada tahun 2021. Namun, pada 2022, angka rasio utang telah diturunkan menjadi 38,65 persen terhadap PDB.
Sumito mengatakan, pemerintah akan terus berupaya menurunkan rasio utang. ”Dengan kinerja APBN yang terjaga dengan baik, membaiknya perekonomian nasional, dan turunnya defisit APBN, kita dapat melakukan konsolidasi fiskal lebih cepat dan harapannya rasio utang semakin menurun,” ujarnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (14/3/2023). APBN mencatatkan surplus sebesar Rp 131,8 triliun pada akhir Februari 2023. Surplus ini setara dengan 0,63 persen produk domestik bruto Indonesia.
Pemerintah berupaya menjaga biaya dan risiko portofolio utang dengan memperhatikan komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, serta jatuh tempo utang. Salah satunya, melalui mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri, sedangkan utang luar negeri sebagai pelengkap.
”Rasio utang kita juga sebenarnya masih dalam batas aman, baik menggunakan standar internasional maupun berdasarkan batasan di Undang-Undang Keuangan Negara,” kata Suminto.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berlaku sejak reformasi, batas aman utang pemerintah maksimal adalah 60 persen dari PDB dan defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB.
Pada APBN 2023, pemerintah juga memasang target rasio utang yang konservatif di kisaran 40,58-42,35 persen dari PDB. Sementara, defisit APBN ditargetkan 2,61-2,85 persen dari PDB. Oleh karena itu, ia optimistis, dengan rasio utang per April 2023 sebesar 38,15 persen dan defisit APBN per tahun 2022 yang berhasil ditekan lebih awal ke 2,38 persen dari PDB, target tahun ini masih bisa tercapai.
Meningkatkan kesadaran
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, untuk menggenjot penerimaan pajak, dengan sisa tujuh bulan tahun ini, pemerintah dapat mengintensifkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) untuk menagih wajib pajak yang belum memenuhi kewajibannya sesuai ketentuan.
Menurut Prianto, pemerintah memang tidak sebaiknya mengandalkan faktor musiman untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi mengupayakan peningkatan kesadaran wajib pajak.
”Salah satu caranya adalah mengirim ‘surat cinta’ atau SP2DK, agar tax awareness naik dan tercipta voluntary compliance atau ketaatan sukarela dari wajib pajak. Tidak bisa terus mengandalkan windfall tax yang sekarang memang lagi drop,” katanya.
Pemerintah memang tidak sebaiknya mengandalkan faktor musiman untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi mengupayakan peningkatan kesadaran wajib pajak.
Menurutnya, strategi pemerintah tahun ini sedikit terbatas karena momentum tahun politik. Langkah reformasi perpajakan atau perluasan basis pajak akan sulit dilakukan karena dinilai kurang populis.
”Memang sulit mau melakukan terobosan lagi karena DPR sudah tidak lagi ke reformasi pajak, tetapi bagaimana mereka terpilih lagi di Pemilu 2024. Jadi yang bisa diupayakan adalah strategi normal meski normatif,” ujar Prianto.