Meski rasio utang masih dalam batas aman, dari sisi nominal, utang Indonesia bertambah Rp 3.070,5 triliun sejak pandemi. Pemerintah berupaya menurunkan penerbitan surat utang baru dan berhati-hati mengelola utang.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menyerahkan UU APBN 2023 kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat paripurna ketujuh Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023 di Ruang Sidang Paripurna DPR, Jakarta, Kamis (29/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat membengkak akibat pandemi Covid-19, posisi utang Indonesia per April 2023 mengalami penurunan secara bulanan. Kendati rasio utang masih di batas aman, pemerintah diminta tetap waspada dengan laju kenaikan utang untuk jangka menengah-panjang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi akhir-akhir ini.
Mengutip dokumen APBN Kita edisi Mei 2023 yang dirilis Kementerian Keuangan awal pekan ini, sampai 30 April 2023, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 7.849,8 triliun dengan rasio utang 38,15 persen terhadap produk domestik bruto.
Secara nominal dan rasio, posisi utang Indonesia menurun dibandingkan 31 Maret 2023, di mana rasio utang tercatat 39,17 persen atau Rp 7.879 triliun. Rasio utang juga menurun dibandingkan April 2022. Saat itu, rasio utang sebesar 39,09 persen dari PDB meski nominal utang bertambah dari posisi Rp 7.040,32 triliun pada tahun lalu.
Dengan kondisi terbaru itu, posisi utang pemerintah masih di bawah batas aman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berlaku sejak era reformasi, batas aman (threshold) utang pemerintah maksimal 60 persen dari PDB dan defisit APBN maksimal 3 persen dari PDB. Per akhir 2022, defisit fiskal berhasil ditekan ke 2,38 persen terhadap PDB.
Dalam laporan APBN Kita, Kemenkeu menyatakan bahwa posisi utang menurun akibat pembayaran cicilan pokok utang pada April yang lebih besar daripada penerbitan utang baru. Selain itu, posisi rupiah yang menguat terhadap valuta asing bulan lalu juga ikut berkontribusi pada penurunan utang.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto, Rabu (24/5/2023), kendati rasio masih di batas aman, pemerintah tetap perlu mewaspadai laju kenaikan utang untuk jangka menengah-panjang.
Ia menilai, batas aman defisit APBN dan rasio utang yang diatur di UU Keuangan Negara sudah tidak terlalu relevan untuk mengukur aman atau tidaknya posisi utang negara saat ini.
”Kalau hanya mengacu pada dua indikator itu memang utang kita akan selalu dikatakan aman, tetapi kenyataannya lonjakan utang kita cukup besar dalam lima tahun terakhir meski itu karena pandemi,” katanya.
Kenaikan utang saat pandemi terjadi di hampir semua negara. Akibat turunnya pendapatan dan naiknya kebutuhan belanja, meski masih di batas aman, rasio utang RI membengkak hingga di atas 40 persen terhadap PDB. Pada 2020, rasio utang terhadap PDB mencapai 38,68 persen.
Pada 2021, rasio utang menembus angka tertinggi sejak reformasi, yaitu 41 persen terhadap PDB. Sementara, pada 2022, rasio utang mulai menurun ke 38,65 persen. Sebagai perbandingan, pada 2019, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30 persen atau 29,8 persen, yakni Rp 4.779,28 triliun. Dari sisi nominal, utang pemerintah bertambah Rp 3.070,5 triliun sejak pandemi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Investasi di sektor properti terus berjalan seperti terlihat di kawasan Karet, Jakarta Selatan, saat para pekerja menyelesaikan pembangunan hunian baru, beberapa waktu lalu.
Menurut Eko, ada beberapa faktor risiko dalam pengelolaan utang. Pertama, profil jatuh tempo utang Indonesia dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran delapan tahun yang aman untuk jangka pendek, tetapi bisa membebani untuk jangka menengah-panjang.
”Bermain di surat utang jangka panjang memang aman untuk sekarang karena ditagihnya masih 5-10 tahun lagi. Namun, ini perlu diwaspadai untuk jangka panjang, apalagi kalau tren utang terus meningkat,” katanya.
Kedua, laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara yang tidak seimbang dengan laju kenaikan utang. Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi ada di kisaran 5 persen, tetapi pertumbuhan utang rata-rata 12-14 persen. Laju penerimaan negara tahun ini dan tahun depan yang mulai termoderasi akibat berakhirnya momentum kenaikan harga komoditas, juga bisa menambah risiko kenaikan utang.
”Ibarat income kita tumbuh 5 persen per tahun, tetapi utang tumbuh dua kali lipatnya. Ini yang membuat pada titik tertentu di masa depan ini bisa menjadi risiko,” ujar Eko.
Ia juga menyoroti utang tersembunyi dalam bentuk utang badan usaha milik negara (BUMN) yang bisa menambah risiko. ”Meski pemerintah tidak selalu serta-merta menalangi setiap BUMN yang merugi, risiko itu tetap ada sehingga ada pandangan bahwa utang kita sebenarnya lebih dari Rp 7.000-an triliun karena unsur hidden debt itu,” katanya.
Berhati-hati
Kemenkeu mencatat, penerbitan utang baru per akhir April 2023 mencapai Rp 243,9 triliun atau 35 persen dari target tahun ini. Secara detail realisasi pembiayaan utang terdiri dari penerbitan surat berharga negara/SBN (neto) sebesar Rp 240,02 triliun dan realisasi pinjaman (neto) Rp 3,86 triliun.
Kendati naik dari periode yang sama tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hal itu untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat dan suku bunga dalam negeri.
Meski besar di awal tahun, penerbitan SBN akan berupaya diturunkan, apalagi melihat kinerja APBN yang terjaga di awal tahun. ”Jika penerimaan cukup besar, bisa dilakukan penurunan penerbitan SBN sesuai kondisi keuangan kita yang cukup baik pada triwulan I tahun ini,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah juga tetap berhati-hati mengelola utang, seperti mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dibandingkan utang luar negeri. Komposisi utang per April 2023 didominasi utang domestik (72,88 persen). Sementara, berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah mayoritas berupa SBN yang mencapai 89,26 persen. Hanya 10,74 persen saja yang berasal dari pinjaman.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menambahkan, penerbitan SBN di awal tahun dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN. Strategi frontloading ini kerap dilakukan karena penerimaan di awal tahun biasanya belum cukup memadai untuk membiayai kebutuhan belanja pemerintah.
”Penerbitan SBN di semester II kelak akan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan, posisi kas negara, dan kondisi pasar keuangan,” kata Suminto.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi keterangan kepada wartawan saat konferensi pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (14/3/2023).
Jadi sorotan
Isu mengenai utang pemerintah sempat menjadi sorotan fraksi-fraksi di DPR, baik partai pendukung pemerintah maupun nonkoalisi, saat rapat paripurna mengenai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024, Selasa (23/5/2023).
Fraksi PDI-Perjuangan meminta agar pembiayaan utang tahun depan memperhatikan pengendalian risiko utang dan mengoptimalkan penerbitan SBN di pasar domestik, sementara sumber utang luar negeri lebih baik digunakan sebagai pelengkap.
Sementara, Fraksi Partai Demokrat meminta agar rasio utang terhadap PDB dijaga di batas aman. Dalam KEM-PPKF 2024, pemerintah menargetkan rasio utang diturunkan ke 38,07-38,97 persen terhadap PDB.
”Transformasi ekonomi pasti butuh kebijakan ekonomi ekspansif, tetapi diharapkan kebijakan itu tetap memperhatikan keserasian komposisi aset dan utang, kemampuan bayar utang, bunga utang, dan parameter lain. Kami tidak ingin generasi muda kelak dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tidak pasti dan dililit utang negara yang besar,” kata perwakilan Fraksi Demokrat, Rizki Aulia Natakusumah.