Penurunan Harga Komoditas Membayangi Pendapatan Negara
Perlambatan penerimaan pajak disebabkan oleh penurunan harga mayoritas komoditas ekspor utama. Pelemahan ekonomi dunia pun diwaspadai.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·2 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Pekerja memindahkan tandan buah segar kelapa sawit ke dalam truk besar untuk dibawa ke pabrik pengolahan di Muaro Jambi, Rabu (9/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun telah mencapai 40 persen dari target yang dipasang pemerintah, penerimaan negara ke depan akan lebih menantang karena penurunan harga komoditas. Oleh sebab itu, kinerja sektor-sektor industri yang berpotensi berkontribusi pada penerimaan negara di tengah tantangan tersebut mesti dijaga.
Data anggaran, pendapatan, dan belanja negara (APBN) Kementerian Keuangan per April 2023 menunjukkan, pendapatan negara mencapai Rp 1.000,5 triliun atau tumbuh 17,3 persen secara tahunan. Capaian pendapatan tersebut setara dengan 40,6 persen.
Penerimaan pajak hingga April 2023 mencapai Rp 688,15 triliun atau setara dengan 40,05 persen dari target APBN. Sebanyak Rp 410,92 triliun di antaranya bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas yang tumbuh 20,11 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggarisbawahi pertumbuhan tahunan penerimaan pajak hingga April 2023 yang sebesar 21,3 persen. Angka itu lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada April 2022 yang mencapai 51,4 persen maupun pada Maret 2023 yang senilai 33,8 persen. Menurut dia, perlambatan itu disebabkan oleh penurunan harga mayoritas komoditas ekspor utama. ”Kami akan terus waspada terhadap lingkungan ekonomi yang menunjukkan tanda-tanda pelemahan,” katanya saat konferensi pers yang diadakan secara dalam jaringan, Senin (22/5/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Berdasarkan data yang dihimpun, dia menilai, penurunan nilai ekspor di tengah pertumbuhan volume ekspor menunjukkan adanya tantangan harga jual komoditas. Volume ekspor nonmigas sepanjang Januari-April 2023 tumbuh 19,4 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Di sisi lain, nilai ekspor sepanjang Januari-April 2023 turun 8,6 persen.
Penurunan harga itu, katanya, terjadi pada mayoritas komoditas pertanian dan energi. Dia mencontohkan, harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) turun 27 persen secara year-to-date. Harga batubara juga turun 60,6 persen. Kendati demikian, harga komoditas yang cenderung turun berdampak pada penurunan inflasi di sejumlah negara.
Dari segi sektornya, sebanyak dua dari tiga kontributor utama penerimaan PPh badan mengalami kontraksi pada April 2023. Penerimaan dari industri pengolahan yang menempati posisi teratas dengan kontribusi 27,4 persen terkontraksi 17,7 persen, sedangkan bulan sebelumnya tumbuh 15,2 persen. Penerimaan dari sektor perdagangan yang berkontribusi 19,8 persen juga terkontraksi 15,7 persen, sedangkan bulan sebelumnya tumbuh 6,2 persen. Penerimaan dari sektor pertambangan yang berkontribusi 14,8 persen melambat dari 208,5 persen menjadi 34,9 persen.
Komponen penerimaan dari perpajakan yang turun lainnya ialah kepabeanan dan cukai yang melorot 12,81 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp 94,5 triliun. Capaian itu setara dengan 31,17 persen dari target APBN. Penurunan terbesar terjadi pada penerimaan bea keluar, yakni 71,69 persen, karena melandainya harga CPO dan merosotnya volume ekspor komoditas mineral.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas memasang pipa untuk memindahkan CPO yang baru tiba dari Sampit, Kalimantan Tengah, ke dalam truk tangki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (4/8/2022).
Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, pemerintah sulit menaikkan target penerimaan negara meskipun capaiannya telah menyentuh angka 40 persen. ”Penerimaan negara setara 40 persen target sepanjang tahun selama empat bulan masih dalam tahap wajar. Kinerja penerimaan negara akan berat lantaran tren penurunan harga komoditas. Contohnya, penerimaan dari bea keluar CPO akan turun karena tren harga,” tuturnya saat dihubungi, Senin (22/5/2023).
Menurut dia, pemerintah perlu menjaga kinerja industri, utamanya yang tengah terpuruk dan bersifat padat karya, seperti tekstil, karet, alas kaki, dan furnitur, sehingga dapat tetap berkontribusi pada penerimaan negara. Industri-industri tersebut jangan sampai terkontraksi.
Sejumlah industri yang berorientasi komoditas ekspor, katanya, juga perlu dijaga. Contohnya, industri CPO yang membutuhkan pasar ekspor alternatif ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. Ekspor produk turunan nikel, seperti ferronikel hingga stainless steel, juga dapat digenjot lewat integrasi dengan industri besi dan baja.
Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak hingga April 2023 mencapai Rp 217,8 triliun atau tumbuh 22,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini setara dengan 49,3 persen dari target APBN. Dengan total belanja negara senilai Rp 765,8 triliun, keseimbangan primer dan surplus APBN yang terbentuk masing-masing sebesar Rp 374,3 triliun dan Rp 234,7 triliun. Surplus APBN tersebut setara dengan 1,12 persen terhadap produk domestik bruto.