Agar bursa karbon dapat berjalan sesuai target pemerintah, perlu ada lembaga terstandardisasi dan independen yang bertugas menghitung jumlah karbon.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J, agnes theodora, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tahun politik menjelang Pemilu 2024, pemerintah menargetkan bursa karbon beroperasi pada September 2023. Agar bisa terealisasi dengan profesional, pemerintah perlu memprioritaskan pembentukan lembaga yang berfungsi menghitung jumlah karbon serta penyelenggara bursa karbon.
Istilah bursa karbon mengemuka dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Regulasi tersebut mendefinisikan bursa karbon sebagai sistem yang mengatur pencatatan cadangan, perdagangan, serta status kepemilikan unit karbon.
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan juga membahas bursa karbon. Dalam UU ini, bursa karbon didefinisikan sebagai sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon. Pasal 23 UU ini menyatakan unit karbon adalah efek.
Berikutnya pada Pasal 24 disebutkan, penyelenggara pasar harus memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjalankan bursa karbon. Penyelenggara dapat mengembangkan kegiatan atau produk berbasis karbon berdasarkan Peraturan OJK.
Agar bursa karbon dapat berjalan pada 2023 sesuai target pemerintah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perlu ada lembaga terstandardisasi dan independen yang bertugas menghitung jumlah karbon, baik dari pihak yang mengeluarkan emisi maupun yang menyerap, serta menerbitkan sertifikasi.
”Entitas ini mesti memiliki metodologi dan teknologi penghitungan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, Indonesia memiliki sistem penghitungan jumlah karbon yang dapat menjadi acuan bursa karbon maupun pajak karbon,” tuturnya dalam diskusi yang diselenggarakan Celios, Kamis (11/5/2023), di Jakarta.
Di sisi operasionalnya, lanjut Bhima, karbon sebaiknya diperlakukan sebagai komoditas, bukan efek. Oleh sebab itu, penyelenggaranya dapat lebih dari satu dan bukan Bursa Efek Indonesia (BEI). Bentuk penyelenggaranya dapat berupa perusahaan teknologi ataupun usaha rintisan yang memiliki kapasitas untuk mendesain sistem operasional bursa karbon secara profesional. Dari segi pengawasan, OJK perlu membentuk dewan komisioner tersendiri untuk bursa karbon.
Dalam mengeksekusi operasionalnya, Bhima menggarisbawahi adanya konflik kepentingan yang memuncak di tahun politik saat ini sehingga berpotensi memengaruhi desain bursa karbon. ”Jangan sampai bursa karbon ini sifatnya politis dan asal ada sehingga tidak dapat dipercaya,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menilai, bursa karbon tidak dapat disamakan dengan bursa efek karena berbeda dari segi pengelolaannya, penilaian risiko, hingga cara menghitungnya. Oleh sebab itu, BEI belum tepat untuk menjadi penyelenggara bursa karbon.
Misbakhun juga menyatakan, hutan hujan tropis, mangrove, dan lahan gambut yang berpotensi menyerap karbon jangan ditransaksikan di bursa luar negeri, melainkan hanya di Indonesia. Hal ini penting untuk memperkuat posisi bursa karbon Indonesia di tingkat internasional.
Di acara yang sama, anggota DPR Komisi XI, Kamrussamad, memperkirakan, potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan hujan tropis seluas 125,8 juta hektar dan dapat menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton; mangrove seluas 3,31 juta hektar dan menyerap 33 miliar ton; serta hutan gambut seluas 7,5 juta hektar yang menyerap 55 miliar ton. Potensi pendapatan untuk Indonesia bisa mencapai triliunan rupiah per tahun.
Masih finalisasi
Dalam jumpa pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, Senin (8/5), Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, bursa karbon dijadwalkan mulai beroperasi September 2023. ”Harapannya, pada September, kita sudah melakukan perdagangan perdana,” katanya.
Ia menjelaskan, pada rencana awal perdagangan perdana bursa karbon akan dilakukan dengan pembayaran berbasis hasil (result based payment/RBP) sebesar 100 juta ton karbon dioksida. Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang memfinalisasi RBP tersebut.
OJK juga berkoordinasi dengan pemerintah untuk memulai menyelenggarakan bursa karbon. Pada Juni, OJK akan menerbitkan Peraturan OJK terkait dengan bursa karbon.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menambahkan, implementasi pajak karbon akan melihat dulu capaian dari penerapan perdagangan perdana pasar karbon. Pemerintah juga ingin memastikan bahwa peta jalan implementasi pajak karbon yang disusun sudah sejalan dengan negara-negara lain.