Apabila mengompromikan batubara ke dalam kategori hijau, kredibilitas Indonesia dalam menarik investasi yang berprinsip kelestarian dapat tergerus.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (20/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mempertimbangkan sektor energi berbasis batubara dikeluarkan dari kategori merah pada Taksonomi hijau Indonesia. Alasannya, energi dari batubara juga dapat menjadi bagian dari industri yang menghasilkan produk-produk hijau seperti kendaraan listrik. Pengamat mengusulkan aktivitas yang menyangkut batubara tidak dimasukkan dalam kategori hijau melainkan kategori kuning yang menandakan proses transisi energi.
Taksonomi Hijau Indonesia edisi pertama yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2022 menggolongkan aktivitas berbasis Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) ke dalam tiga kategori, yakni hijau, kuning, dan merah. Kategori hijau berarti kegiatan usaha berorientasi pada perlindungan, perbaikan, dan peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan serta aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kategori kuning berarti kegiatan usaha yang hanya memenuhi sejumlah kriteria dalam ambang batas kelompok hijau. Adapun kategori merah menandakan kegiatan usaha tidak memenuhi kriteria kelompok kuning dan hijau.
Menanggapi rencana revisi pemerintah tersebut, Energy Finance Analyst Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Elrika Hamdi, menilai, aktivitas yang menyangkut batubara tidak dapat dimasukkan dalam kategori hijau. ”Sebagai negara yang bertransisi, Indonesia sebaiknya menerapkan standar tertinggi dalam taksonomi hijau yang menjadi panduan bagi institusi keuangan dalam memberikan pinjaman. Jangan mengompromikan batubara (untuk masuk ke kelompok hijau),” tuturnya saat dihubungi, Minggu (25/12/2022).
Apabila mengompromikan batubara ke dalam kategori hijau, kata Elrika, kredibilitas Indonesia dalam menarik investasi yang berprinsip kelestarian dapat tergerus. Dalam menyalurkan dana, investor-investor yang secara kuat menerapkan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) dapat membedakan proyek yang benar-benar hijau dan yang bukan.
Oleh sebab itu, Elrika mengimbau pemerintah untuk menempatkan aktivitas yang berkaitan dengan batubara ke dalam kelompok kuning yang menunjukkan proses transisi Indonesia menuju perekonomian berbasis energi yang lebih bersih. Batubara dapat dianggap sebagai aset transisi dengan target yang terukur, salah satunya dari sisi periode waktu. Dampaknya, keterbukaan dan target tersebut dapat mengundang investor-investor yang fokus pada proyek-proyek transisi.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Ilustrasi PLTU
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan sedang merevisi taksonomi hijau, salah satunya yang menyoal batubara. ”Bagaimana jika energi dari batubara masuk ke dalam ekosistem kendaraan listrik? Energi dari batubara juga dapat menjadi bagian dari industri yang menghasilkan produk-produk hijau. Dalam taksonomi yang ada, batubara seolah-olah (tergolong) merah,” katanya dalam Rapat Kerja Nasional Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) 2022 pekan lalu.
Selain itu, Mahendra juga menggarisbawahi kebutuhan pembiayaan untuk penutupan (phasing out) pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara.
Namun, dalam perspektif negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika, batubara sudah tergolong tidak hijau.
Laporan Uni Eropa (UE) yang berjudul ”Taxonomy: Final report of the Technical Expert Group on Sustainable Finance” tidak memasukkan energi berbasis batubara ke dalam taksonomi keuangan. Hal itu tertuang dalam diagram lima langkah penerapan taksonomi keuangan yang direkomendasikan UE pada investor.
Mahendra menambahkan, revisi taksonomi hijau itu bertujuan untuk menyelaraskan keuangan Indonesia dalam memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sekaligus komitmen iklim.
”Berbeda dengan negara maju yang mayoritas kontribusi emisinya berasal dari sektor energi, kontributor emisi terbesar Indonesia berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan (FOLU). Sektor ini sudah ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sehingga persyaratan minimal Indonesia (dalam mengurangi emisi karbon) sudah terpenuhi. Dengan demikian, upaya lain bersifat tambahan (pengurangan emisi). Revisi ini nantinya menjadi acuan lembaga-lembaga keuangan di Indonesia dalam menilai dan mengelola risiko (pembiayaan),” tuturnya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Ilustrasi pengangkutan batubara
Selain itu, Mahendra mengatakan, Indonesia masih memiliki kepentingan sebagai negara berkembang. Dia mempertimbangkan sektor-sektor usaha yang berkaitan dengan batubara dan menyerap tenaga kerja. Oleh sebab itu, pembangunan yang berorientasi pada lingkungan hidup mesti sejalan dengan perekonomian dan kesejahteraan sosial.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan sudah ada teknologi penyerapan karbon, yakni carbon capture storage, yang dapat diterapkan dalam aktivitas yang menyangkut batubara. Dia meminta BPDLH untuk dapat membiayai proses akuisisi teknologi tersebut. Dia juga meminta provinsi yang masih mengandalkan batubara agar tidak khawatir.