Pemerintah Kaji Produk yang akan Diwajibkan Berstandar Hijau
Pelaku industri berharap, standar hijau yang akan diterapkan mempertimbangkan kapabilitas industri dan memiliki perspektif holistik
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas keamanan berdiri di samping tumpukan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (28/12/2022). Kementerian Perindustrian mencatat, realisasi ekspor pada 2021 sebesar 177,2 dollar AS atau tumbuh 35,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah akan menetapkan tiga produk yang wajib memenuhi standar industri hijau agar berdaya saing menghadapi kebijakan mekanisme penyesuaian batas karbon atau carbon border adjustment mechanism/CBAM yang akan diterapkan Uni Eropa pada 2023. Pelaku industri berpandangan, kebijakan mandatori tersebut sebaiknya tak hanya berorientasi pada CBAM karena Uni Eropa bukan satu-satunya pasar ekspor Indonesia.
Menanggapi rencana pemerintah tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, kebijakan mandatori standar industri hijau yang diterapkan perlu berorientasi pada peningkatan daya saing ekspor Indonesia.
“CBAM merupakan standar tertinggi (dalam kebijakan hijau perdagangan) hingga saat ini. Mekanisme ini dapat memicu negara tujuan ekspor lain membentuk standar yang sama serta negara-negara eksportir menyesuaikan (kriteria) produknya,” tuturnya saat dihubungi, Minggu (1/1/2023).
Oleh sebab itu, standar industri hijau yang akan diwajibkan pemerintah sebaiknya dapat berevolusi secara jangka panjang serta memiliki standar terukur mengenai reduksi emisi karbon dari sektor industri. Hal ini mempertimbangkan lini masa kebijakan CBAM hingga 10 tahun ke depan dan tren perdagangan hijau mancanegara. Apabila pelaku industri dan pemerintah tidak dapat beradaptasi dengan standar industri hijau yang berkembang di pasar internasional, ekspor Indonesia akan kalah bersaing.
Dokumen rancangan yang disusun Dewan Uni Eropa (UE) per 3 Oktober 2022 menyatakan, inisiatif CBAM bertujuan untuk memenuhi tujuan iklim netral UE paling lambat pada 2050, sesuai Perjanjian Paris, dengan mencegah kebocoran karbon. Kebijakan CBAM juga menargetkan nol persen penyisihan emisi karbon dari produk yang masuk ke UE tanpa dikenakan tarif pada 2032.
Kebijakan mandatori standar industri hijau yang diterapkan perlu berorientasi pada peningkatan daya saing ekspor Indonesia.
Hingga saat ini, belum ada kebijakan yang mewajibkan pelaku industri menerapkan standar hijau. Kepala Pusat Industri Hijau Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian Herman Supriadi menyebutkan, pemerintah akan menetapkan tiga macam komoditas pada kelompok produk HS 5 digit wajib memenuhi standar industri hijau. Namun, ia belum bisa menyebutkan ketiga produk itu karena masih dalam kajian.
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (20/12/2022).
Menjadi insentif
Herman menjelaskan, kebijakan wajib standar hijau itu akan mengacu pada syarat dan kriteria internasional, termasuk sistem perbankan hijau, pasar hijau, hingga pajak dan perdagangan karbon. Dengan memenuhi syarat tersebut, dia berharap, pelaku industri dapat menikmati privilese sistem ekonomi hijau di tingkat global, misalnya pembiayaan hijau dari perbankan.
Kebijakan itu, lanjut Herman, didesain agar pelaku industri mendapatkan insentif ketika menunaikan kewajiban standar hijau. Dia mencontohkan, pelaku industri yang menjalankan kewajiban standar akan lebih mudah masuk ke pasar perdagangan hijau yang pesaingnya lebih sedikit.
Pada 13 Desember 2022, Negosiator Dewan dan Parlemen Eropa menyepakati CBAM secara sementara dan bersyarat. Agar bersifat final, kesepakatan itu mesti mendapatkan konfirmasi dari Duta Besar negara-negara anggota UE dan Parlemen Eropa serta diadopsi oleh kedua institusi.
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (20/12/2022).
Dalam keputusan sementara itu, CBAM akan mulai berlaku pada Oktober 2023. Pasal 32 dokumen rancangan CBAM per Oktober 2022 menyebutkan, masa transisi penerapan mekanisme mewajibkan pelaporan terhadap barang yang diimpor dengan tujuan pengumpulan data. Pasal 33 menyatakan, salah satu aspek yang dilaporkan ialah, negara asal barang impor dan jumlahnya.
Adapun, pasal 35 menyebutkan adanya kewajiban pelaporan perhitungan emisi karbon dioksida ekuivalen yang dihasilkan oleh produksi barang tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Periode transisi berlangsung pada 2023-2025.
Kebijakan CBAM akan dikenakan pada sektor yang berpotensi menghasilkan emisi karbon intensif, seperti, besi dan baja, semen, pupuk, aluminium, serta listrik dan hidrogen. Emisi karbon secara tidak langsung juga dihitung.
UE bukan satu-satunya pasar dagang Indonesia yang mengembangkan kebijakan seperti CBAM. Strategi kebijakan wajib untuk industri hijau mesti lebih holistik
Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Shinta W Kamdani menggarisbawahi, kebijakan wajib standar industri hijau jangan hanya berorientasi pada CBAM karena nantinya ekosistem perekonomian dan industri hijau Indonesia dapat terkungkung oleh satu pihak saja.
“UE bukan satu-satunya pasar dagang Indonesia yang mengembangkan kebijakan seperti CBAM. Strategi kebijakan wajib untuk industri hijau mesti lebih holistik agar Indonesia semakin mampu bersaing di pasar global,” tuturnya.
Selain itu, Shinta berharap pemerintah mempertimbangkan kapabilitas industri dalam memenuhi parameter hijau yang diwajibkan, termasuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Jangan sampai kebijakan wajib standar industri hijau menjadi batu sandungan pertumbuhan perindustrian nasional. Pemerintah juga diharapkan memiliki lini masa transisi industri hijau.