Pasar Furnitur AS dan Eropa Melemah, Indonesia Melirik Target Baru
Gejolak ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa berdampak pada permintaan produk furnitur Indonesia. Industri furnitur nasional butuh pasar alternatif baru untuk memasarkan produknya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika ekonomi yang tengah melanda pasar Amerika Serikat dan Eropa memaksa industri furnitur Indonesia untuk mencari pasar baru. Selain pasar dalam negeri, kawasan Asia dan Timur Tengah akan menjadi target baru pemasaran produk furnitur Indonesia. Meskipun demikian, sejumlah pekerjaan rumah dinilai masih perlu dibenahi oleh pelaku industri.
Pemerintah Amerika Serikat atau AS kini terancam gagal membayar utangnya yang telah mencapai batas maksimal, yakni 31,4 triliun dollar AS. Sementara kawasan Eropa tengah dilanda gejolak ekonomi yang diiringi demonstrasi akibat inflasi tinggi. Di sisi lain, perang Rusia-Ukraina masih berdampak pada perekonomian global.
Hal yang sama tercatat dalam laporan Centre for Industrial Studies (CSIL) bertajuk ”Outlook Furnitur Dunia 2023”. Dalam hal ini, CSIL menyebutkan adanya ketidakpastian ekonomi secara global tahun 2023, seperti perang Rusia-Ukraina, kendala rantai pasokan, masalah logistik, dan tekanan inflasi yang kuat.
Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Dedy Rochimat, ditemui Selasa (9/5/2023) di Jakarta, mengakui bahwa dinamika ekonomi global berdampak buruk terhadap industri furnitur. Permintaan mebel hingga kerajinan secara umum mengalami penurunan.
”AS, yang biasanya permintaan furniturnya tinggi, kini berkurang. Dinamika (ekonomi global) ini pasti berdampak,” ujarnya.
Di tingkat global, AS merupakan pasar tujuan ekspor terbesar Indonesia. Pada 2021, nilai ekspor furnitur ke AS mencapai 2,88 miliar dollar AS yang mencakup 60 persen dari total produk furnitur Indonesia.
Pasar baru ini tersebar di kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Selatan, hingga Australia. Beberapa contoh negaranya adalah India, China, Jepang, Korea Selatan, dan Brasil.
Hal senada disampaikan Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur. Tujuan ekspor tradisional, yakni AS dan Uni Eropa, mengalami penurunan cukup signifikan permintaan akibat gejolak ekonomi global. Karena itu, target pasar ekspor baru dibutuhkan agar industri furnitur terus bertahan.
”Dua pasar tradisional Indonesia (AS dan Uni Eropa) yang menjadi tujuan ekspor mengalami penurunan permintaan. Dengan begitu, Indonesia perlu memenetrasi pasar-pasar baru,” kata Sobur.
Pasar baru ini tersebar di kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Selatan, hingga Australia. Beberapa contoh negaranya adalah India, China, Jepang, Korea Selatan, dan Brasil. Bahkan, HIMKI secara organisasi berinisiatif untuk mengikuti sejumlah pameran ataupun kegiatan di luar negeri.
Dalam transaksinya, lanjut Sobur, produk furnitur perlu menyesuaikan permintaan dan kebutuhan negara tujuan. Hal ini seperti desain, harga, dan lainnya akan mengikuti kebutuhan pasar.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyebutkan, sekitar 75 persen tujuan ekspor furnitur Indonesia adalah AS dan Uni Eropa. Fenomena penurunan permintaan memaksa Indonesia perlu mencari pangsa pasar baru.
”Pasar baru ini utamanya adalah dalam negeri. Kedua, negara India dan yang di Timur Tengah. India diketahui menyukai produk solid wood yang menjadi andalan ekspor Indonesia,” kata Putu.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, industri furnitur Indonesia merupakan salah satu dari lima industri yang terpuruk pertumbuhan ekonominya pada triwulan I tahun 2023. Selain furnitur, industri yang terpuruk ialah tembakau, kulit dan alas kaki, tekstil, dan kayu.
”Faktor eksternal, yaitu penurunan permintaan ekspor dan daya beli masyarakat menjadi penyebab keterpurukan itu,” katanya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Indef, pertumbuhan ekonomisektor industri furnitur mulai dari triwulan IV-2022 hingga triwulan I-2023 secara tahunan kerap menunjukkan angka minus. Bahkan, pada triwulan I-2023 berada di antara -5 dan -10.
Tauhid melanjutkan, tantangan utama industri furnitur terletak pada bahan baku dan desain. Bahan baku furnitur dari Indonesia masih didominasi beberapa jenis kayu yang membuat harga produk menjadi mahal. Sementara China membuat produk furnitur dengan bahan baku campuran yang mampu menurunkan biaya produksi.
Dari segi desain, produk furnitur Indonesia harus mampu menyesuaikan kebutuhan target pasar. Ini, kata Tauhid, diperlukan untuk meningkatkan daya saing nasional dan menembus pasar baru.