”Peer to Peer Lending” Dapat Menggenjot Literasi Keuangan
Adanya kelompok ”underbanked” dan ”underserve” berkaitan infrastruktur perbankan yang terbatas. Infrastruktur ini bukan hanya secara fisik, melainkan sistem perbankan yang masih terbilang eksklusif.
JAKARTA, KOMPAS — Selain menjadi alternatif layanan keuangan, platform teknologi finansial atau tekfin berupa peer to peer lending dapat meningkatkan literasi masyarakat. Walakin, pendanaan produktif kepada kelompok unbanked dan underbanked cenderung memiliki risiko yang tinggi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, sejak 2018 hingga Februari 2023, agregat penyaluran pendanaan oleh peer to peer (P2P) lending telah mencapai Rp 564 triliun. Dana tersebut disalurkan oleh sedikitnya 1 juta pemberi pinjaman atau lender kepada 106 juta penerima pinjaman atau borrower.
P2P lending adalah model pembiayaan yang mempertemukan antara lender dan borrower dalam satu platform digital. Mengacu pada Peraturan OJK Nomor 10/POJK.5/2022 P2P, lending telah ditetapkan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya.
Peneliti Desk Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menyampaikan, P2P lending dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mulai beralih dari rentenir sesuai dengan profil risikonya. Apabila memiliki profil risiko rendah, bunga yang didapat pun juga murah, begitu juga sebaliknya.
”Harapannya, P2P lending bisa menjadi alternatif pembiayaan. Kemudian, P2P lending juga bisa meningkatkan pengetahuan finansial nasabah, terlebih untuk kredit,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (6/5/2023).
Adanya kelompok underbanked dan underserve berkaitan infrastruktur perbankan yang masih terbatas. Menurut Nailul, infrastruktur ini bukan hanya secara fisik, melainkan sistem perbankan yang masih terbilang eksklusif.
Kelompok underbanked adalah masyarakat yang masih menerapkan transaksi secara tunai dan belum memiliki rekening. Sementara kelompok underserved merupakan masyarakat yang belum tersentuh produk dan layanan jasa keuangan lantaran tidak ada produk atau jasa yang sesuai dengan kemampuannya.
Hal itu tampak pada layanan kredit perbankan masih terasa eksklusif berupa syarat dan prosesnya yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kelas bawah. Padahal, layanan tersebut dibutuhkan masyarakat sehingga mereka memilih untuk pergi ke rentenir.
Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai layanan keuangan yang terbatas membuat mereka terjerat investasi ilegal. Pengetahuan finansial masyarakat di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga dan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dikeluarkan oleh OJK akhir tahun 2022 menunjukkan, indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia mencapai 85,1 persen, atau meningkat sebesar 76,19 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara indeks literasi keuangan masyarakat mencapai 49,68 persen atau naik sebesar 38,03 persen dibandingkan tahun 2019.
P2P ’lending’ ini kuncinya ada di ekosistem dan juga dari mereka yang sudah bekerja sama dengan pihak lain, seperti ’e-commerce’ dengan sumber dana dari bank. Melalui ekosistem, seperti ’e-commerce’, profil risiko bisa terlihat dari ’history’ transaksi, bagaimana profitnya penjual atau bagaimana seseorang membayar belanjaannya.
”Negara yang mempunyai industri tekfin mempunyai tingkat inklusi keuangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak,” ucapnya.
Baca juga: Kendati Naik, Literasi Keuangan Perlu Terus Didorong
Risiko tinggi
Secara terpisah, ekonom senior Indef, Aviliani, menjelaskan, P2P lending memberikan pembiayaan berdasarkan profil keuangan individu atau sebuah bisnis dari catatan transaksinya. Transaksi tersebut secara otomatis akan tercatat apabila seseorang menggunakan fitur pembayaran secara nontunai.
”Makanya, pinjaman itu lebih cepat melalui e-commerce, baik pembeli atau penjual karena platform dapat melihat kemampuan calon peminjam. Sementara di Indonesia ini masih rentan terhadap pendapatan. Peminjam terbanyak itu dari sektor informal yang penghasilannya tidak tetap sehingga pendapatan mereka rentan dan cenderung memiliki potensi risiko tinggi,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Badan Pusat Statistik menyebut, penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 80,24 juta orang atau 59,31 persen dari jumlah angkatan kerja per Agustus 2022. Menurut Aviliani, pekerja informal termasuk dalam kelompok unbankedable lantaran cenderung bertransaksi secara tunai dan tidak tercatat keuangannya sehingga profil risikonya besar.
Di sisi lain, platform P2P lending cenderung melihat individu atau bisnis yang pernah melakukan pinjaman sebagai salah satu indikator profil risiko. Selain itu, P2P lending juga menerapkan standar berbasis credit scoring, antara lain melalui data provider dan data transaksi lokapasar daring, baik orang yang berbelanja maupun lapak-lapak penjual.
”Pemerintah atau OJK belum memberikan standar sehingga P2P lending sehingga mereka membuat standarnya sendiri sesuai dengan profil risiko masing-masing. P2P lending juga bekerja sama dengan asuransi untuk memitigasi risiko.” ucap Aviliani.
Aviliani menambahkan, tingkat risiko yang tinggi membuat suku bunga pada pinjaman P2P lending juga tinggi. Ini karena bunga yang tinggi digunakan untuk meng-cover potensi kredit macet. Oleh sebab itu, bunga kredit tidak bisa diatur oleh pemerintah lantaran profil risiko masing-masing borrower berbeda dan lender yang menanggung risiko.
Jika P2P lending menyasar pendanaan produktif, imbuh Aviliani, besarnya bunga tersebut akan meminimalkan keuntungan pelaku usaha. Dengan demikian, pelaku usaha besar cenderung akan memilih kredit di bank untuk usaha yang jangka panjang.
Menurut Aviliani, pinjaman P2P lending cenderung lebih cocok untuk pelaku usaha jangka pendek yang memperoleh keuntungan setiap harinya. Pedagang di pasar, misalnya, mereka memborong di pagi dan akan membayar pinjaman pada sorenya.
”Oleh sebab itu, P2P lending ini kuncinya ada di ekosistem dan juga dari mereka yang sudah bekerja sama dengan pihak lain, seperti e-commerce dengan sumber dana dari bank. Melalui ekosistem, seperti e-commerce, profil risiko bisa terlihat dari riwayat transaksi, bagaimana profitnya penjual atau bagaimana seseorang membayar belanjaannya,” imbuhnya.
Statistik Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi yang dirilis OJK pada Maret 2023 mencatat, outstanding pinjaman paling banyak terdapat pada peminjam perorangan, bukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sebesar Rp 29,88 triliun. Sementara pinjaman macet selama lebih dari 90 hari paling banyak berada pada peminjam perorangan sebesar Rp 1,14 triliun.
Baca juga: Sinergi Bank dan Tekfin Untungkan UMKM
Tingkat wanprestasi
Ukuran untuk melihat tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban yang tertera dalam perjanjian di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo, P2P lending menggunakan indikator TWP90. Pada Maret 2023, rasio TWP90 P2P lending mencapai 2,81 persen atau meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya, yakni 2,61 persen.
OJK secara khusus mengawasi platform-platform yang memiliki rasio TWP90 di atas 5 persen. Sedikitnya terdapat 23 perusahaan P2P lending yang memiliki TWP90 di atas 5 persen atau sekitar 22,55 persen dari total 102 penyelenggara.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian Lembaga Penjamin dan Dana Pensiun Ogi Prastomiyono dalam keterangan tertulis, Jumat (5/5), menyampaikan, jumlah perusahaan P2P lending yang memiliki TWP90 di atas 5 persen berfluktuasi. Pada Desember 2022, misalnya, jumlahnya mencapai 21 perusahaan, lalu bertambah menjadi 25 perusahaan pada Januari 2023, dan berkurang menjadi 19 perusahaan pada bulan selanjutnya.
”Perubahan jumlah TWP90 dalam tekfin P2P lending selalu dinamis. Namun, OJK terus memonitoring kualitas pendanaan setiap bulannya,” ujarnya.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi TWP90, yakni kemampuan platform memfasilitasi penyaluran dana sehingga dapat memengaruhi outstanding pendanaan dan besarnya pendanaan yang masuk dalam periode macet. Lalu, kualitas credit scoring kepada calon penerima pinjaman.
Ogi menambahkan, kualitas proses penghimpunan pinjaman yang sedang berjalan juga berpengaruh terhadap tingkat TWP90. Di sisi lain, kerja sama dengan ekosistem, seperti penyediaan fasilitas asuransi kredit dan lainnya, turut memengaruhi tingkat TWP90.
Baca juga: Pembiayaan Tekfin Masih Terpusat di Jawa
”Terhadap penyelenggara yang memiliki TWP90 di atas 5 persen, OJK melakukan pembinaan dan meminta mereka mengajukan rencana aksi perbaikan pendanaan macet. OJK memonitor pelaksanaan rencana aksi tersebut dengan ketat. Jika kondisinya lebih buruk, OJK melakukan tindakan pengawasan lanjutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ucap Ogi.
Di samping itu, OJK turut mewajibkan penyelenggara P2P lending untuk memublikasi data kualitas pinjaman dalam rangka transparansi dan perlindungan terhadap konsumen. Ini dilakukan agar para konsumen dan calon konsumen dapat memonitor langsung data kualitas pinjaman suatu platform P2P lending.