Pertukaran Informasi Global sebagai Solusi Pemberantasan Perikanan Ilegal
Pencegahan perikanan ilegal membutuhkan komitmen antar negara pelabuhan untuk bertukar informasi secara transparan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menargetkan negara-negara pelabuhan menerapkan sistem pertukaran informasi global dalam pertemuan keempat terkait kesepakatan negara pelabuhan pada 8-13 Mei 2023. Pemberantasan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur atau IUU Fishing, hingga kini masih menjadi tantangan global.
Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan keempat tentang kesepakatan negara pelabuhan (Port State Measures Agreement/PSMA) Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) di Bali. Pertemuan itu rencananya dihadiri 98 peserta dari negara-negara yang telah meratifikasi PSMA, organisasi internasional, dan lembaga swadaya masyarakat.
PSMA adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat pemerintah terhadap kapal-kapal perikanan berbendera asing yang akan masuk dan/atau mengunakan fasilitas pelabuhan perikanan atau pelabuhan lain yang ditunjuk dalam rangka mencegah, menghalangi dan memberantas penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur.
Ketua Sidang ke-4 PSMA, Nilanto Perbowo, mengemukakan, pertemuan itu diharapkan menghasilkan terobosan, antara lain penerapan sistem pertukaran informasi global (GIES) yang mengikat. PSMA mewajibkan negara pantai memeriksa kapal perikanan asing yang masuk. Dengan penerapan sistem pertukaran informasi global, otoritas negara pantai dapat memperoleh informasi yang tepat terkait kapal perikanan yang datang.
“Esensi dari pelaksanaan GIES adalah pertukaran informasi dan transparansi dari semua pihak agar tujuan PSMA dapat dicapai. Pertukaran data menjadi kunci memberantas IUU Fishing,” kata Nilanto, dalam Bincang Bahari bertajuk Road to 4th Meeting of the Parties (MOP) The FAO Agreement on Port State Measure di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (4/5/2023).
Nilanto menambahkan, pertemuan itu juga untuk pertama kalinya akan membentuk kelompok kerja ad hoc strategi PSMA. Kelompok kerja itu diharapkan menghasilkan rancangan strategi dalam peningkatan efektivitas PSMA guna diadopsi oleh negara-negara yang telah meratifikasi PSMA.
Masyarakat dunia saat ini semakin menekankan pentingnya ikan yang mereka konsumsi diperoleh dengan cara yang baik. “Konsumen dunia, khususnya di negara maju, ingin mengetahui ikan yang mereka beli di pasar, supermarket, pasar modern berasal dari negara mana. Kedua, ditangkap dengan alat tangkap apa. Ini sudah berjalan atau berlangsung,” lanjut Nilanto.
Direktur Kepelabuhanan Perikanan KKP Tri Aris Wibowo, mengemukakan, Indonesia meratifikasi perjanjian internasional PSMA sejak 2016 guna memperkuat kontrol pelabuhan di antara negara anggota pelabuhan yang masuk keanggotaan FAO. Pemerintah menetapkan empat pelabuhan perikanan sebagai lokasi bersandarnya kapal-kapal perikanan dan kapal pengangkut ikan berbendera asing, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman di Muara Baru-Jakarta, PPS Bitung (Sulawesi Utara), PPS Bungus (Sumatera Barat), dan Pelabuhan Umum Benoa (Bali).
Tri menambahkan, setiap kapal perikanan dan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang masuk pelabuhan wajib diperiksa dengan prosedur PSMA guna mencegah praktik IUU Fishing, dan memastikan keberlanjutan sumber daya ikan dalam pengelolaan perikanan. Penerapan PSMA dan konsistensi terhadap pencegahan IUU Fishing dinilai akan membawa manfaat bagi Indonesia dalam pasar global.
“Pasar global tidak hanya mensyaratkan mutu produk, tetapi juga ketertelusuran, ikan ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan, kapalnya berizin atau tidak. Kalau PSMA diterapkan konsisten, semakin besar peluang produk perikanan Indonesia diakui di pasar global dengan nilai jual lebih tinggi, disamping menyadarkan semua pihak untuk tata kelola perikanan yang baik,” ucap Tri.
Pelanggaran kapal kecil
Regional Project Coordinator FAO Muralidharan Chavakat menambahkan, Indonesia sudah dalam alur yang tepat dalam pemberantasan IUU Fishing. Meski demikian, pihaknya menyoroti pelanggaran yang masih kerap terjadi di perairan teritorial oleh kapal-kapal ikan dalam negeri, termasuk kapal ikan berukuran kecil yang belum terpantau dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kapal kecil untuk mengikuti aturan.
Dalam proyek Indonesia Sea Large Marine Ecosyctem (ISLME) yang didukung FAO, pihaknya mengidentifikasi pelanggaran oleh kapal ikan Indonesia antara lain kapal tidak berizin, dokumen kapal yang tidak lengkap, menangkap ikan di luar zona tangkapan yang diizinkan, pelanggaran alat tangkap dan penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl dan bom ikan, serta pelanggaran data perikanan berupa penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Selain itu, penangkapan spesies ikan yang dilindungi atau dilarang. “Salah satu yang terlihat adalah penangkapan benih lobster,” ujar Muralidharan.
Menurut Muralidharan, tata kelola perikanan yang bertanggung jawab mencakup kegiatan sebelum penangkapan ikan, saat penangkapan ikan, pendaratan, dan pemasaran. Selama ini, pemantauan pengendalian dan pengawasan (MCS) cenderung fokus pada saat penangkapan ikan yang menghabiskan biaya paling besar, mencakup operasional pengawasan dengan kapal dan pesawat.
Salah satu rekomendasi solusi adalah memfokuskan kembali MCS perikanan ilegal pada kegiatan sebelum penangkapan dan saat pendaratan ikan. Cara itu dinilai lebih mudah dan praktis dalam menekan praktik penangkapan ikan secara ilegal oleh pelaku usaha perikanan.
“Kita perlu lebih fokus memberi perhatian pada kegiatan sebelum penangkapan, seperti pengecekan dokumen dan registrasi kapal, dan setelah penangkapan berupa pemeriksaan hasil tangkapan guna memastikan tidak terjadi IUU Fishing, serta rantai pemasaran guna memastikan spesies ikan yang masuk ke pasar global bukan spesies ikan yang dilarang dan ditangkap secara ilegal,” ujarnya.