Freeport Belum Terima Pemberitahuan Resmi Pemerintah
Di satu sisi, masih dibolehkannya ekspor bertentangan dengan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Minerba. Namun, itu jadi dilema karena berdampak pada Freeport sendiri. Kini, 51 persen saham Freeport milik Indonesia
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Freeport Indonesia atau PTFI belum menerima pemberitahuan resmi dari pemerintah terkait pemberian pelonggaran ekspor konsentrat tembaga. Sebelumnya dikabarkan bahwa pemerintah memutuskan untuk merelaksasi larangan ekspor konsentrat tembaga meski undang-undang mengamanatkan mineral mentah tidak boleh diekspor per Juni 2023. Faktor pandemi Covid-19 menjadi alasan pemerintah memutuskan itu.
Saat dimintai tanggapan, Jumat (28/4/2023), Vice President Corporat Communications PTFI Katri Krisnati menyatakan, pihaknya belum menerima konfirmasi resmi dari Pemerintah perihal izin ekspor konsentrat tembaga. Apabila hal itu benar-benari diberikan, PTFI sangat mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut.
”Jika keputusan tersebut diberikan, kami sangat mengapresiasi dukungan pemerintah untuk memastikan kontinuitas operasional tambang yang secara teknis sangat dibutuhkan dan keberlanjutan investasi yang akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia, khususnya masyarakat Papua,” ujar Katri.
Terkait progres pembangunan smelter tembaga Freeport yang baru di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Katri menambahkan, per Maret 2023 kemajuannya sudah mencapai 61,5 persen.
Keputusan relaksasi ekspor konsentrat tembaga diambil setelah digelar rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, yang juga dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
Arifin mengatakan, pihaknya menyadari secara regulasi memang sudah tidak diperbolehkan kembali ekspor mineral mentah mulai Juni 2023. Namun, ada sejumlah pertimbangan yang membuat realisasi pembangunan smelter mundur dari target, salah satunya pandemi Covid-19.
”Kontraktornya juga dari Jepang dan Jepang lockdown lama (akibat pandemi). Jadi, kegiatan-kegiatan pembangunan terhambat. Kemudan, smelter ini progresnya sudah 61 persen. Juga sudah mengeluarkan biaya sekian banyak. Jadi (izin ekspor konsentrat diperpanjang) hingga Mei 2024, (tapi) dengan catatan,” ujar Arifin.
Ia menambahkan, selain memastikan smelter Freeport beroperasi Mei 2024, konsekuensi lain dari masih dibolehkannya ekspor ialah adanya pemenuhan administrasi. ”Mirip-mirip (denda),” kata Arifin saat ditanya apakah administrasi itu berupa denda. Selain itu, PTFI juga terus didorong membangun smelter di Papua.
Di satu sisi, masih dibolehkannya ekspor akan bertentangan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang diubah dengan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, kata Arifin, itu menjadi dilema karena PTFI juga yang terdampak. Sementara 51 persen saham PTFI kini sudah milik pemerintah.
Sebelumnya, Presiden Direktur PTFI Tony Wenas menyebut ada dampak besar jika larangan ekspor berlaku. Operasi tambang sulit dihentikan. Namun, pihaknya memastikan pembangunan Smelter Manyar, di Gresik terus berjalan. Kemajuannya pun sesuai dengan kurva-S yang sudah disetujui pemerintah.
Adapun proyek Smelter Manyar PTFI, yang berlokasi di Kawasan Industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, ditargetkan selesai konstruksi pada akhir 2023 dan dilanjutkan pre-commissioning dan commissioning selama lima bulan sehingga dapat mulai beroperasi pada Mei 2024. (Kompas.id, 7/2/2023)
Sementara mengenai larangan ekspor bauksit, Arifin mengindikasikan akan tetap memberlakukan itu per Juni 2023. Terlebih, progres pembangunan pabrik pemurnian (refinery) masih jauh dari harapan. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga telah resmi mengumumkan akan melarang ekspor bauksit mulai Juni 2023.
Berhati-hati
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, menilai, pemerintah sangat berhati-hati dalam memutuskan untuk menerapkan larangan ekspor atau relaksasi. Apalagi, hilirisasi terus digaungkan. Dengan adanya sinyal keseriusan dari PTFI maupun Amman, beberapa hal jadi pertimbangan.
”Apabila ekspor dihentikan, tambangnya akan hidup-mati. Sebab, gudang bisa penuh karena tidak bisa mengekspor, hingga akhirnya harus menghentingkan operasi tambang. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, relaksasi hingga Mei 2024 menjadi win-win solution,” ucap Rizal.
Rizal menambahkan, setiap komoditas tambang memiliki masalahnya masing-masing. Untuk bauksit, ada biaya sangat besar yang harus dikeluarkan untuk membangun unit pemurnian. Sebelumnya, pendanaan bank dalam negeri belum mau mengarah ke tambang. Hal-hal seperti itu, ke depan perlu diantisipasi. Artinya, kebijakan dan dukungan pendanaan perlu diperhatikan.
Pemerintah, imbuh Rizal, juga perlu memikirkan tingkatan yang lebih hilir lagi terkait pemanfaatan sumber daya mineral, yang nantinya akan menjadi ranah Kementerian Perindustrian. Hal itu harus dipikirkan sejak sekarang sehingga ada peta jalan yang jelas dan berkelanjutan.
Di sisi lain, Rizal menilai pemerintah mesti berhati-hati dalam membuka keran investasi terkait hilirisasi mineral. ”Nikel, misalnya, yang seperti tidak ada remnya. Bagaimanapun cadangannya tidak berkelanjutan, juga nanti dampaknya terhadap lingkungan. Harus dihitung dan perlu langkah selanjutnya, yakni eksplorasi lagi untuk menemukan cadangan-cadangan baru sumber daya mineral,” katanya.
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Akmaluddin Rachim, menambahkan, dengan melihat kondisi yang ada, langkah relaksasi larangan ekspor konsentrat tembaga memang sudah diperkirakan. Namun, ke depan, pengawasan dan kepastian pembangunan fasilitas pengolahan mineral harus diperkuat.
”Terpenting selanjutnya, harus ada peta jalan lebih dulu sebelum membuat kebijakan pelarangan ekspor. Juga dengan memanggil dan menagih komitmen semua perusahaan. Selain itu, pemberian sanksi bagi yang tidak bisa memenuhi sesuai ketentuan,” tuturnya.