Mengurai Hambatan Rumah Subsidi
Pengembang mengaku makin kesulitan memasok rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah karena sejumlah kendala. Terobosan diperlukan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar papan.

Deretan rumah baru yang hampir selesai pembangunannya di Cibunar, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (19/1/2023).
Pembangunan rumah bersubsidi yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah tengah dibayangi sejumlah persoalan. Pasokan rumah bersubsidi yang terkendala dikhawatirkan menghambat upaya pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan papan di tengah laju kekurangan pasokan rumah yang terus meningkat.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali, mengungkapkan, pengembang rumah bersubsidi seakan dihadang rentetan persoalan selama beberapa tahun terakhir. Persoalan utama meliputi hambatan perizinan dan belum adanya penyesuaian patokan harga jual rumah bersubsidi selama lebih dari tiga tahun.
Hambatan perizinan yang belum tuntas menyebabkan langkah pengembang dalam memasok rumah rakyat, termasuk rumah bersubsidi, semakin berat. Persoalan perizinan itu mencakup peralihan dari izin mendirikan bangunan (IMB) menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG) yang lamban di sejumlah daerah. Selain itu, penetapan aturan lahan sawah dilindungi (LSD) di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi yang dinilai tumpang tindih dengan rencana tata ruang (RTR) dan kontraproduktif dengan program perumahan.
Daniel menambahkan, persoalan LSD turut memicu masalah perizinan, pelayanan pertanahan, dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR). Kerap terjadi, lahan yang sudah dimiliki pengembang perumahan masuk dalam area LSD sehingga pengembang tidak bisa memperoleh izin membangun. Beberapa kawasan hunian yang sudah selesai dibangun bahkan tercatat masuk dalam LSD.
Baca juga: Sektor Properti Topang Perekonomian

Sementara itu, persyaratan dan jangka waktu pengurusan PBG berbeda-beda hampir di setiap daerah sehingga membingungkan pengembang. Persoalan izin yang rumit memakan waktu dan biaya tinggi. Masalah perizinan dirasa kian pelik dengan tertundanya penyesuaian patokan harga jual rumah bersubsidi selama lebih dari tiga tahun dan menyebabkan arus kas pengembang tergerus.
“Perizinan untuk rumah bersubsidi seharusnya dipermudah karena rumah ini ditunggu-tunggu oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Di samping itu, (pembangunan rumah) dapat menekan backlog (kekurangan) rumah,” kata Daniel, saat dihubungi, Jumat (14/4/2023).
Dari data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), realisasi penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) per 11 April 2023 tercatat 46.233 unit atau 20,1 persen dari target penyaluran KPR-FLPP tahun 2023 yang mencapai 229.000 unit atau senilai Rp 25,18 triliun. Dalam skema rumah bersubsidi, konsumen mendapat insentif berupa pembebasan komponen biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan keringanan Pajak Penghasilan (PPh).
Daniel menambahkan, sebagian pengembang rumah bersubsidi yang tidak mampu bertahan dengan situasi sulit memilih menjual rumah tipe subsidi dengan harga yang dinaikkan. Rumah tipe subsidi yang harganya dinaikkan tersebut tidak lagi masuk skema rumah bersubsidi. Akibatnya, konsumen kehilangan insentif dan terkena tambahan beban biaya pajak 12,5 persen dari harga rumah.
Baca Juga: Kemampuan Pengembang Tergerus

Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan bersubsidi di kawasan Bunibakti, Bekasi, Jawa Barat, seperti yang terlihat di kawasan Kedung Pengawas, Senin (9/1/2023).
”Masyarakat berpenghasilan rendah paling dirugikan akibat tertundanya penetapan harga baru rumah bersubsidi. Pasokan rumah bersubsidi tersendat sehingga konsumen yang membeli rumah dengan harga di atas harga rumah bersubsidi terkena beban biaya pajak yang sangat tinggi,” lanjut Daniel.
Senada dengan hal itu, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Koordinator Bidang Rumah Subsidi, Moerod, dalam Forum Group Discussion REI: “Solusi Permasalahan Pembangunan Perumahan”, Rabu (12/4), berpendapat, realisasi pembangunan rumah bersubsidi per triwulan I-2023 tergolong lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sekitar 65.000 unit. Hambatan perizinan dan belum adanya penyesuaian patokan harga jual rumah bersubsidi menyebabkan sebagian pengembang mulai beralih membangun rumah nonsubsidi.
Hambatan pasokan rumah bersubsidi berpotensi memperbesar jurang ketimpangan antara penyediaan dan kebutuhan perumahan. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, terdapat 12,7 juta rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah hingga tahun 2021. Namun, setiap tahun ada penambahan kebutuhan rumah sekitar 600.000-700.000 unit seiring bertambahnya keluarga baru. Pemerintah telah menargetkan problem kekurangan rumah dapat sepenuhnya diatasi pada tahun 2045.
Baca Juga: Pasar Properti Diyakini Tetap Tumbuh

Pembenahan
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Dwi Haryawan, mengungkapkan, urgensi penyusunan LSD adalah ketahanan pangan serta pertanian pangan berkelanjutan. Lahan sawah merupakan lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi.
Lahan baku sawah nasional pada 2019 ditetapkan 7,4 juta hektar. Sementara itu, alih fungsi lahan sawah ke non-sawah mencapai 150.000 hektar per tahun, sedangkan produksi cetak sawah baru hanya 60.000 hektar per tahun. “Kita kehilangan 90.000 hektar sawah per tahun atau setara 246 hektar sawah setiap hari. Ini tentunya sangat dirasakan membawa dampak,” ujar Dwi.
Penetapan LSD di delapan provinsi mengacu pada Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1589/2021 tentang Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi pada Kabupaten/Kota di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. LSD ditetapkan seluas 3.836.944,33 hektar.
Dwi menambahkan, LSD dipetakan pada lahan yang sangat potensial dimana 50 persen produksi sawah terdapat di situ. Meski demikian, data LSD merupakan hasil citra satelit dengan tingkat akurasi yang masih perlu diverifikasi. Pihaknya mengaku sudah menerima banyak pengaduan pelaku usaha yang menguasai bidang tanah sesuai dengan rencana tata ruang, tetapi belum dapat melanjutkan proses pembangunan karena lahan berada di LSD.

Buruh tani menanam bibit padi di sebelah bekas lahan sawah yang telah disiapkan untuk lokasi perumahan di Desa Karanglo, Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Selasa (2/11/2021).
Di sisi lain, ada ketidaksesuaian LSD dengan arahan peruntukan ruang dalam rencana tata ruang, antara lain kawasan peruntukan indusri, kawasan permukiman perdesaan, kawasan permukiman perkotaan, kawasan perdagangan dan jasa. “Setelah kami telusuri, ada dispute dengan rencana tata ruang,” ujarnya.
Saat ini, pemerintah sedang melakukan proses integrasi LSD dengan rencana tata ruang. Selain itu, revisi tengah dilakukan terhadap Keputusan Menteri ATR/KA BPN Nomor 1589/2021 serta Peraturan Menteri ATR/KA BPN Nomor 12/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Verifikasi Data Lahan Sawah Terhadap Data Pertanahan dan Tata Ruang, Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi, dan Pemberian Rekomendasi Perubahan Penggunaan Tanah pada Lahan Sawah yang Dilindungi. Per April 2023, perubahan LSD yang diusulkan yakni seluas 3.612.138,89 hektar atau berkurang 5,85 persen dari ketetapan awal.
Sementara itu, penyesuaian harga rumah bersubsidi kini menunggu harmonisasi penyusunan peraturan menteri keuangan di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna, harmonisasi penyusunan peraturan penyesuaian harga rumah bersubsidi diharapkan selesai pada April atau Mei mendatang. Keterjangkauan harga rumah bersubsidi menjadi prioritas pemerintah. (Kompas, 12/4/2023).
Herry menambahkan, kebutuhan rumah tinggal masih sangat besar. Jumlah penduduk yang belum memiliki rumah mencapai 12,75 juta rumah tangga, sedangkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan bersubsidi melalui KPR-FLPP pada tahun 2023 baru 220.000 unit. “(Penyediaan rumah) seperti merayap dibawah. Backlog rumah sulit diatasi dengan kondisi itu,” katanya.
Baca juga: Perkuat Dukungan Rumah Bersubsidi

Terobosan diperlukan dengan menyinkronkan penyediaan rumah bersubsidi sesuai dengan kebutuhan penduduk di perkotaaan. Rumah bersubsidi perlu dibangun dalam dua bentuk, yakni rumah tapak dan rumah susun. Adapun rumah susun terdiri atas rumah susun bertingkat rendah (low rise) dan rumah susun bertingkat tinggi (high rise).
Pemerintah tengah memulai proyek percontohan rumah tapera di Brebes, Jawa Tengah. Rumah tapera, berupa rumah tapak dan rumah vertikal diharapkan memenuhi kebutuhan masyarakat, antara lain tidak jauh dari lokasi kerja, kualitas bangunan baik, sanitasi dan air minum layak, serta memenuhi kualifikasi rumah ramah lingkungan atau rumah hijau.
Menurut Herry, kualitas rumah bersubsidi selama ini terkesan berbeda dengan rumah nonsubsidi. Pandangan itu harus diubah dengan meningkatkan kualitas bangunan. Produsen rumah bertanggung jawab membangun rumah bersubsidi layak huni dan berkualitas baik. Dari sisi penyaluran, pemerintah akan menegakkan mekanisme pengawasan sehingga penyaluran rumah bersubsidi termonitor dan memastikan penerima fasilitas subsidi rumah adalah masyarakat yang berhak.
Sejauh ini masih ditemui, rumah yang dimiliki belum lima tahun sudah berpindah kepemilikan, disewakan, atau tidak dihuni. “Sanksi akan diberikan bagi pihak-pihak yang memicu penyaluran rumah subsidi tidak tepat sasaran, baik itu konsumen, pengembang bersubsidi, maupun perbankan,” lanjutnya.

Pekerja merampungkan pembuatan rumah bersubsidi di kawasan Rabak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/1/2023).
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan, seperti dikutip Antara, terdapat penyaluran atas 256 debitur FLPP yang tidak tepat sasaran serta penanganan penyelesaian kredit FLPP terhadap 5.679 debitur rumah subsidi yang tidak sesuai ketentuan.
Komisioner BP Tapera Adi Setianto, mengemukakan, ada sejumlah penyebab peruntukan rumah bersubsidi yang salah sasaran. Di antaranya, rumah sudah dibangun dan diberi fasilitas, tetapi tidak bisa dihuni karena masalah prasarana sarana umum tidak memadai. Percontohan rumah tapera menjadi acuan bagi pengembang terkait rumah bersubsidi yang berkualitas. “Ada jaminan masyarakat bisa mengakses rumah tapera yang terjamin kualitas dan layak huni, melalui skema FLPP maupun kepemilikan rumah berbasis tabungan,” katanya.
Baca juga: Menakar Momentum Investasi Properti