Tertundanya penyesuaian harga rumah subsidi telah menggerus modal pengembang kecil dan menengah. Hal itu juga dikhawatirkan bakal menghambat pasokan rumah bersubsidi tahun depan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Deretan rumah bersubsidi yang tengah dibangun di kawasan Rabak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/1/2023). Pemerintah akan menggulirkan pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan tidak tetap atau sektor informal mulai tahun ini.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembang mengaku mulai kesulitan memasok rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Penyesuaian harga patokan rumah bersubsidi yang tertunda selama lebih dari dua tahun menyebabkan arus kas pengembang tergerus.
Dari data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), hingga triwulan I (Januari-Maret) 2023, penyaluran kredit pemilikan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sejumlah 46.233 unit. Ini setara 20,1 persen dari target FLPP 229.000 unit tahun ini senilai Rp 25,18 triliun.
Batasan harga rumah bersubsidi berkisar Rp 150,5 juta hingga Rp 219 juta per unit sesuai zonasi. Adapun batasan penghasilan untuk memiliki rumah bersubsidi maksimum Rp 8 juta-Rp 10 juta per bulan, sesuai zonasi.
Moerod, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Koordinator Bidang Rumah Subsidi, mengemukakan, realisasi pembangunan rumah bersubsidi ini tergolong lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sekitar 65.000 unit. Hal itu dipicu terutama oleh hambatan perizinan dan belum adanya penyesuaian patokan harga jual rumah bersubsidi.
”Sebagian pengembang rumah bersubsidi mulai beralih ke pasokan rumah komersial,” ujarnya dalam diskusi ”Solusi Permasalahan Pembangunan Perumahan” yang diselenggarakan Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia, di Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Realisasi pembangunan rumah bersubsidi ini tergolong lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida mengatakan, sosialisasi terkait penyesuaian harga rumah bersubsidi telah berlangsung 1,5 tahun. Sementara proses harmonisasi kebijakan penyesuaian harga patokan rumah bersubsidi sudah berlangsung lebih dari tiga bulan.
Penyesuaian harga rumah subsidi yang terus tertunda menyebabkan pasokan rumah bersubsidi tahun ini bisa saja terpenuhi, tetapi modal pengembang dipastikan terkuras dan akan menghambat pasokan rumah bersubsidi tahun depan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Hunian rumah tapak terus bermunculan di Bekasi, Jawa Barat, seperti yang terlihat di kawasan Kedungjaya, Senin (9/1/2023).
Ia menambahkan, sebagian pengembang rumah bersubsidi merupakan pengusaha skala kecil dan menengah dengan modal sangat terbatas. Sebagian besar pengembang umumnya tidak memiliki ketersediaan lahan (land bank), sedangkan harga lahan dan inflasi harga bahan bangunan terus berlangsung. Padahal, pemerintah menghendaki kualitas bangunan terus ditingkatkan.
”Kesinambungan (pasokan) rumah sederhana akan berkurang karena kemampuan modal pengembang tergerus. Pengembang rumah bersubsidi seharusnya diberikan stimulus untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah, dan bukan dipersulit,” ujar Totok.
Ketua Dewan Pengurus Daerah REI Banten Roni H Adali menuturkan, tertundanya penyesuaian harga menyebabkan arus kas pengembang semakin tipis. Harga material bangunan, tanah, dan infrastruktur lingkungan meningkat setiap tahun. Saat ini, margin kotor pembangunan rumah bersubsidi berkisar 10-15 persen, dari semula sebelum pandemi berkisar 20-25 persen.
Pemerintah dinilai perlu menetapkan target waktu penyesuaian harga rumah agar pengembang memiliki kepastian berusaha. Di sisi lain, penyesuaian harga rumah subsidi juga perlu mempertimbangkan daya beli konsumen yang baru beranjak dari pandemi Covid-19. ”Pemerintah diharapkan memberi kepastian, tidak hanya memberi harapan,” ujarnya.
Penyesuaian harga rumah subsidi juga perlu mempertimbangkan daya beli konsumen yang baru beranjak dari pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP Apersi) Daniel Djumali mengatakan, tidak semua pengembang rumah bersubsidi mampu bertahan dengan tertundanya penyesuaian harga selama 3 tahun, 3 bulan, dan 12 hari. Ada pengembang yang berhenti menjual rumah subsidi. Ada pula yang membangun rumah nonsubsidi dengan harga di atas rumah bersubsidi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pekerja merampungkan pembangunan kompleks perumahan bersubsidi di kawasan Jampang, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (12/6/2021).
Ketua DPD REI Sumatera Utara Andi Atmoko Panggabean menyampaikan, pihaknya berharap terjadi penyesuaian harga rumah bersubsidi sekitar 7 persen. Lambatnya penyesuaian harga rumah bersubsidi selama tiga tahun terakhir ini dinilai tidak sejalan dengan kenaikan inflasi setiap tahun.
Di sisi lain, pemerintah terus menaikkan biaya anggaran untuk material dan upah pekerja dalam proyek-proyek infrastruktur nasional. ”Ini terkesan tidak adil. Kami seolah menjadi anak tiri. Padahal, pengembang merupakan garda terdepan untuk pembangunan rumah rakyat,” kata Andi.
Ketua DPD REI Kalimantan Selatan Ahyat Sarbini berpendapat, properti memiliki keterkaitan dengan sedikitnya 175 industri terkait properti. Sebanyak 95 persen pengembang merupakan pengembang rumah bersubsidi. Tersendatnya penyesuaian harga dikhawatirkan mengganggu pasokan rumah bersubsidi.
Properti memiliki keterkaitan dengan sedikitnya 175 industri terkait properti. Sebanyak 95 persen pengembang merupakan pengembang rumah bersubsidi.
Menurut Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Haryo Bekti Martoyoedo, peraturan terkait penyesuaian harga rumah bersubsidi kini dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Harmonisasi ini butuh proses cukup panjang. Selain penyesuaian harga rumah bersubsidi, juga dilakukan sinkronisasi untuk sejumlah aspek, antara lain mekanisme konsumen untuk memperoleh insentif bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penentuan uang muka kredit.
Di samping itu, pemerintah tengah mengkaji skema pembiayaan perumahan bagi warga di atas kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. ”Ada kelompok masyarakat berpenghasilan di atas segmen masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkan fasilitasi pembiayaan,” ujar Haryo.
Hunian rumah tapak terus bermunculan di Bekasi, Jawa Barat, seperti yang terlihat di kawasan Kedungjaya, Senin (9/1/2023). Pemerintah melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menargetkan menyalurkan 220.000 rumah subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah pada tahun 2023.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna berharap harmonisasi penyusunan peraturan terkait penyesuaian harga rumah bersubsidi selesai pada April atau Mei mendatang. Keterjangkauan harga rumah bersubsidi menjadi prioritas pemerintah.
Pemerintah akan meningkatkan pengawasan agar pasokan rumah bersubsidi, baik rumah vertikal maupun rumah tapak, memenuhi kriteria layak huni, bangunan berkualitas baik, sanitasi memadai, serta sesuai dengan standardisasi konsep hijau atau ramah lingkungan. Kualifikasi rumah hijau ini di antaranya pencahayaan rumah yang lebih baik, ruang terbuka, dan sirkulasi bangunan yang baik.
”Kualitas rumah bersubsidi selama ini terkesan berbeda atau di bawah rumah nonsubsidi. Pandangan ini harus diubah dengan memastikan pasokan yang memenuhi syarat kelayakan dan masuk kriteria hijau,” kata Herry dalam Diskusi ”Rumah Tapera, Rumah Tepat Kualitas, Rumah Tepat Sasaran”, Selasa (11/4/2023).