Utang Belum Dibayar Pemerintah, Peritel Buka Opsi Tak Jual Minyak Goreng
Opsi penghentian penjualan minyak goreng dinilai akan berdampak pada penurunan permintaan ke industri minyak kelapa sawit. Penghentian penjualan berpotensi diterapkan oleh 80 persen dari 48.000 gerai anggota Aprindo.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akibat utang yang belum dibayar pemerintah sejak tahun lalu, pelaku ritel membuka opsi untuk tidak menjual minyak goreng di gerainya. Utang yang menumpuk juga berpotensi menggerus kepercayaan ritel kepada pemerintah yang berujung pada keengganan melaksanakan penugasan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey bersurat pada Presiden Joko Widodo pada 27 Maret 2023. Surat itu berisi informasi selisih harga pengadaan minyak goreng satu harga yang belum dibayar sejak awal 2022. Apabila pemerintah tidak menanggapi hal itu, pelaku ritel berencana menghentikan penjualan minyak goreng premium kepada masyarakat di gerainya.
Roy menyebutkan, total utang pemerintah mencapai Rp 344 miliar. Nilai itu ditanggung oleh 31 perusahaan anggota Aprindo. ”Pada awal 2022, ada program pengadaan minyak goreng satu harga (dari pemerintah), yakni Rp 14.000 per liter. Namun, harga minyak goreng premium yang dijual di ritel berkisar Rp 17.000-Rp 18.000 per liter. Selisih harga itu yang ditanggung oleh ritel,” ujarnya dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Program pengadaan itu berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Pasal 7 aturan itu menyatakan, pelaku usaha akan mendapatkan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana itu dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan pasar. Dalam Permendag tersebut, HET ditetapkan Rp 14.000 per liter.
Regulasi itu dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Permendag baru itu menyatakan, BPDPKS melakukan pembayaran pada pelaku usaha yang menyalurkan minyak goreng hingga 31 Januari 2022 setelah diverifikasi oleh surveior.
Akan tetapi, kata Roy, hingga saat ini bayaran tersebut belum direalisasikan. Dia menambahkan, opsi penghentian penjualan minyak goreng akan berdampak pada penurunan permintaan ke industri minyak kelapa sawit. Penghentian penjualan berpotensi diterapkan pada 80 persen dari 48.000 gerai ritel yang dikelola anggota Aprindo. Dia optimistis, berkurangnya pendapatan ritel dari minyak goreng dapat diimbangi dengan pendapatan dari produk lainnya.
Opsi penghentian penjualan minyak goreng itu, lanjut dia, cenderung disetujui oleh anggota Aprindo. Pelaku usaha ritel yang menombok kerap menanyakan waktu dan kejelasan pembayaran selisih harga pengadaan minyak goreng tersebut. ”Apabila tidak ada kejelasan, kami khawatir Aprindo akan ‘lumpuh’ sebagai mitra pemerintah. Kami khawatir, anggota enggan melaksanakan penugasan dari pemerintah, khususnya dalam stabilisasi harga pangan,” ujarnya.
Tak hanya pelaku usaha, dia menilai, investor ritel pun enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Kasus ketidakjelasan pembayaran selisih harga pengadaan minyak goreng turut mencerminkan ketidakpastian dalam berbisnis di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Aprindo Setyadi Surya menyatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan BPDPKS. ”BPDPKS sudah menyediakan dananya. Namun, hasil verifikasi (terhadap pelaku usaha ritel yang menyediakan minyak goreng) masih di Kementerian Perdagangan,” katanya.
Aprindo juga sudah beraudiensi dengan Komisi VI DPR mengenai kasus utang pemerintah dalam membayar selisih harga pengadaan minyak goreng. Komisi VI DPRpun membahasnya dengan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam rapat dengar pendapat pada 15 Maret 2023.
Dalam rapat itu, Zulkifli menyatakan mengetahui selisih harga itu harus dibayar. ”Namun, karena aturannya (Permendag Nomor 3 Tahun 2022) sudah tidak berlaku, kami takut. Oleh sebab itu, Aprindo disilakan menggugat kami lewat Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga hasilnya dapat menjadi landasan bagi kami (untuk melakukan pembayaran),” katanya.