Ekspor RI Bakal Ditopang Perdagangan Intraregional ASEAN+3
Dengan memanfaatkan pemulihan ekonomi dan mengoptimalkan 1 persen ”untapped market potential” China, ekspor RI ke China dapat bertambah 18,03 miliar dollar AS. Di sisi lain, ekspor RI ke Taiwan turun.
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja ekspor Indonesia akan ditopang oleh perdagangan intraregional ASEAN+3, termasuk China. Konflik geopolitik China-Taiwan dinilai belum menghambat perdagangan intraregional dan kinerja ekspor Indonesia secara signifikan.
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunam Asia (ADB) memperkirakan ekonomi China bakal tumbuh lebih tinggi pada tahun ini. Bank Dunia memprediksi ekonomi China akan tumbuh 5,1 persen pada 2023.
Adapun IMF dan ADB masing-masing memproyeksikan ekonomi China tumbuh 5,2 persen dan 4,8 persen. Pada 2022, ekonomi ”Negeri Tirai Bambu” itu hanya tumbuh 3 persen jauh dari target pertumbuhan yang ditetapkan Pemerintah China sebesar 5,5 persen.
Kantor Riset Ekonomi Makro ASEAN+3 (AMRO) bahkan menyebutkan, pertumbuhan ekonomi China juga bakal memperkuat pertumbuhan ASEAN+3 pada 2023. ASEAN+3 terdiri dari 10 negara anggota ASEAN serta Jepang, Korea Selatan, dan China, termasuk Hong Kong. Ekonomi kawasan tersebut diperkirakan tumbuh 4,6 persen pada 2023.
Baca juga: Ekonomi China Tumbuh, RI Genjot Ekspor lewat RCEP
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri, Senin (10/4/2023), mengatakan, China merupakan pasar tujuan ekspor utama produk nonmigas Indonesia. Pada 2022, ekspor nonmigas Indonesia ke China mencapai 63,55 miliar dollar AS, meningkat 24,38 persen secara tahunan. Dengan capaian nilai ekspor itu, China menduduki peringkat pertama dengan pangsa sebesar 23,03 persen dari total ekspor nonmigas.
”Pada Januari 2023, permintaan China masih tumbuh tinggi sebesar 4,3 persen. Dengan pulihnya ekonomi China setelah pencabutan kebijakan nol Covid-19, permintaan dari negara tersebut akan semakin meningkat,” katanya ketika dihubungi di Jakarta.
Menurut Kasan, dengan pertumbuhan positif ekonomi China dan upaya mengoptimalkan 1 persen pasar produk potensial yang belum termanfaatkan dengan baik (untapped market potential), maka Indonesia akan mendapatkan tambahan ekspor sebesar 18,03 miliar dollar AS ke China. Dengan kata lain, ekspor RI ke China bisa tumbuh 27,33 persen secara tahunan.
Kemendag mencatat, produk utama ekspor RI ke China antara lain logam, batubara, logam dasar, kimia, serta minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya. Sementara produk-produk potensial dengan pertumbuhan tinggi yang dapat terus ditingkatkan ekspornya ke pasar China antara lain elektronik, tekstil, kertas, semen, tepung, karet olahan, dan sarang burung walet.
Dengan pertumbuhan positif ekonomi China dan upaya mengoptimalkan 1 persen pasar produk potensial yang belum termanfaatkan dengan baik ( untapped market potential), maka Indonesia akan mendapatkan tambahan ekspor sebesar 18,03 miliar dollar AS ke China.
Baca juga: Hambatan Ekonomi Asia dan RI Mereda
Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor menuturkan, kawasan ASEAN+3 diperkirakan akan tetap tangguh meskipun permintaan eksternal dari AS dan Eropa melemah, serta kondisi keuangan global lebih ketat. Pertumbuhan kawasan itu akan ditopang sektor pariwisata dan perdagangan intraregional dari pemulihan ekonomi China.
”Permintaan domestik diperkirakan akan tetap kuat. Konsumsi rumah tangga akan ditopang oleh peningkatan pendapatan dan inflasi yang lebih rendah,” tutur Khor melalui siaran pers.
AMRO memperkirakan tekanan inflasi di kawasan ASEAN+3 bakal mereda, tetapi masih moderat. Tingkat inflasi diperkirakan turun dari 6,5 persen pada tahun lalu menjadi 4,7 persen pada tahun ini. Pada 2024, inflasi di kawasan tersebut diperkirakan kembali normal menjadi 3 persen.
Konflik geopolitik
Di tengah proyeksi apik pertumbuhan ekonomi China, ”Negeri Tirai Bambu” itu kembali bersitegang dengan Taiwan. Dalam latihan perang dengan nama Joint Sword pada 8-10 April 2023, China mengepung Taiwan dari segala penjuru dan rute laut-udara.
Berbeda dengan latihan pada Agustus 2022, kali ini, China menggunakan kapal induk. Latihan ini merupakan bagian dari protes China atas pertemuan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat AS Kevin McCarthy di California.
Baca juga: Kapal Induk dan Jet Tempur China Kepung Taiwan Lagi
Kasan berpendapat, ketegangan antara China dan Taiwan sejauh ini belum mengganggu perdagangan di kawasan tersebut secara signifikan. Ketika memanas pada Agustus 2022, pertumbuhan perdagangan RI-China dan RI-Taiwan sepanjang 2022 masih tumbuh sangat baik, yakni masing-masing sebesar 24,38 persen dan 23,87 persen secara tahunan.
Bahkan, pada Januari-Februari 2023, kinerja ekspor RI ke China tumbuh sangat signifikan mencapai 42,03 persen secara tahunan. Sebaliknya, ekspor RI ke Taiwan justru terkontraksi atau tumbuh negatif 7,69 persen.
”Penurunan ekspor RI ke Taiwan itu terutama disebabkan penurunan harga komoditas. Selain itu, penurunan ekspor tersebut juga disinyalir terjadi karena penutupan rute dan pengurangan intensitas pelayaran di Selat Taiwan yang memanas dalam beberapa bulan terakhir,” kata Kasan.
Namun secara umum, lanjut Kasan, belum diketahui secara pasti apakah hal tersebut akan berdampak terhadap ekspor Indonesia dalam jangka panjang. Kemendag melalui Atase Perdagangan Beijing, serta perwakilan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei akan terus memonitor perkembangan situasi kawasan tersebut.
Penurunan ekspor RI ke Taiwan itu terutama disebabkan penurunan harga komoditas. Selain itu, penurunan ekspor tersebut juga disinyalir terjadi karena penutupan rute dan pengurangan intensitas pelayaran di Selat Taiwan yang memanas dalam beberapa bulan terakhir.
Baca juga: Ekonomi RI Diperkirakan Melambat Tahun Ini gegara Ekspor
Sementara AMRO lebih menekankan empat tantangan utama yang bakal dihadapi ASEAN+3 pada tahun ini. Pertama, inflasi tetap perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi. Kedua, potensi lonjakan harga energi akibat eskalasi konflik Rusia-Ukraina. Ketiga, pertumbuhan ekonomi China tahun ini memang diperkirakan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, tetapi tetap perlu diwaspadai kemungkinan pertumbuhan yang lebih rendah dari perkiraan.
Keempat, potensi perlambatan ekonomi AS yang lebih tajam akibat berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter AS. Jika hal itu terjadi, volatilitas pasar keuangan semakin tidak menentu.
Di tengah berbagai tantangan itu, Khor menilai, sistem keuangan ASEAN+3 sekarang lebih tangguh, dikelola, dan dimitigasi dengan baik. Hal itu lantaran ASEAN+3 belajar dari krisis keuangan Asia pada 1997.
”Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, pembuat kebijakan perlu tetap waspada dan terus membangun kembali penyangga kebijakan. Mereka juga harus tetap fleksibel untuk memberikan dukungan tambahan bagi perekonomian, jika benar-benar diperlukan,” tegas Khor.