Naiknya pertumbuhan ekonomi di China memberi kesempatan bagi negara-negara anggota RCEP untuk meningkatkan transaksi perdagangan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China sepanjang 2023 lebih cepat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebaliknya, kawasan Asia Timur dan Pasifik selain China akan tumbuh melambat. Indonesia dapat mengoptimalkan peluang dengan memanfaatkan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP untuk mendongkrak ekspor.
Laporan Bank Dunia berjudul World Bank East Asia and The Pacific Economic Update April 2023-Reviving Growth, yang dipublikasikan Jumat (31/3/2023), menunjukkan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China diproyeksikan meningkat dari 3 persen pada 2022 menjadi 5,1 persen di 2023. Adapun rata-rata pertumbuhan PDB negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, selain China, diperkirakan melambat dari 5,8 persen menjadi 4,9 persen.
Kepala Ekonom Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia Aaditya Mattoo mengatakan, proyeksi pemulihan ekonomi China tersebut terjadi di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. ”Sepanjang 2022, kinerja ekonomi negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik umumnya menunjukkan pemulihan yang kuat dari dampak pandemi di 2021. Kini, permintaan domestik dan global tengah melemah. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global berdampak pada ekspor, sedangkan fluktuasi harga komoditas berpengaruh pada konsumsi,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (31/3).
China, lanjutnya, pulih pada 2023 karena terpukul setelah penyebaran varian Omicron Covid-19 yang lebih menular pada 2022. Sebaliknya, negara- negara lain di kawasan Asia Timur dan Pasifik terpukul saat penyebaran varian Delta pada 2021 sehingga dapat pulih pada 2022. Dia optimistis terhadap proyeksi pertumbuhan China yang diharapkan berkualitas. Artinya, pertumbuhan ekonomi terdistribusi merata.
Dalam kesempatan yang sama, dia juga menggarisbawahi RCEP sebagai pembangunan positif yang mengintegrasikan sejumlah negara di kawasan, termasuk China. Adapun negara lain yang bergabung dengan RCEP ialah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. RCEP ditandatangani dan disepakati pada 15 November 2022.
Menurut Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono, situasi yang diproyeksikan Bank Dunia akan membuat China menjadi episentrum pertumbuhan RCEP. Naiknya pertumbuhan ekonomi di China memberi kesempatan bagi negara- negara anggota RCEP untuk meningkatkan perdagangan.
Naiknya pertumbuhan ekonomi di China memberi kesempatan bagi negara- negara anggota RCEP untuk meningkatkan perdagangan.
”Dengan demikian, motor pertumbuhan ekonomi (negara-negara anggota) RCEP berada di China. Proyeksi ini merupakan kabar yang melegakan di tengah tendensi ekspor (Indonesia) yang stagnan, bahkan turun,” katanya saat dihubungi, Jumat.
Untuk memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi China melalui fasilitas RCEP, dia berpendapat, Indonesia dapat mengekspor barang setengah jadi yang dibutuhkan ”Negeri Tirai Bambu” tersebut. Ekspor barang setengah jadi turut mendukung industrialisasi Indonesia ataupun China. Misalnya, minyak sawit mentah, buah-buahan beku, ikan beku, cabai kering, dan beragam bumbu halus. Jika Indonesia fokus pada ekspor barang setengah jadi, pelaku usaha skala kecil dan menengah, bahkan pemula, dapat berpartisipasi.
Selain itu, menurut Handito, dengan memanfaatkan Keketuaan ASEAN pada 2023, Indonesia dapat menjadi navigator dalam memanfaatkan peluang pertumbuhan China melalui RCEP. Contohnya, Filipina mengekspor bahan mentah ke Sulawesi untuk diolah menjadi barang setengah jadi lalu diekspor ke China.
Genjot ekspor
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani menambahkan, saat ini pelaku industri nasional dapat mengklaim 100 persen manfaat perdagangan yang difasilitasi RCEP karena sudah diratifikasi pada awal 2023. Dengan demikian, Indonesia dapat menggenjot ekspor produk manufaktur dan produk bernilai tambah lainnya, seperti barang konsumen (consumer goods), ke China sepanjang tahun ini.
Dia menilai, proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi angin segar untuk meningkatkan kinerja ekspor nasional. ”Di tingkat global, terjadi kontraksi permintaan pasar karena penurunan daya beli akibat inflasi. Oleh karena itu, China dapat menjadi pasar alternatif untuk mengimbangi penurunan ekspor ke kawasan Eropa dan Amerika Serikat,” katanya.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, sepanjang 2022 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 65,92 miliar dollar AS dan impornya 67,72 miliar dollar AS sehingga terjadi defisit 1,8 miliar dollar AS. Defisit tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencapai 2,46 miliar dollar AS.
China dapat menjadi pasar alternatif untuk mengimbangi penurunan ekspor ke kawasan Eropa dan Amerika Serikat.
Dalam mengoptimalkan RCEP, ujar Shinta, komunikasi publik mengenai dampak positif hingga mekanisme pemanfaatan fasilitas perdagangan bagi pelaku usaha menjadi kunci. Selain itu, pelaku usaha juga membutuhkan kesiapan kebijakan domestik yang mendukung pada peningkatan ekspor serta berorientasi pada konektivitas rantai pasok, baik di dalam negeri maupun negara-negara anggota RCEP.
Dalam konteks Keketuaan ASEAN, Shinta mengatakan, Indonesia dapat mendorong perdagangan dan investasi di negara-negara Asia Tenggara yang berkorelasi dengan RCEP. Indonesia juga dapat memanfaatkan kemudahan instrumen perdagangan dan investasi intra ASEAN untuk ekspansi rantai pasok dengan China.