Semilir Angin Segar dari Boao
Sinyal pemulihan ekonomi China, sebagaimana ditunjukkan lewat ajang Boao Forum for Asia, pekan lalu, dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi RI. Namun, prospek itu dibayangi risiko fragmentasi ekonomi akibat tensi China-AS.
Untuk pertama kali sejak pandemi Covid-19 memukul perekonomian global dan mempertajam sekat antarnegara, Boao Forum for Asia atau BFA, ajang dialog yang kerap disandingkan dengan World Economic Forum sebagai ”Davos-nya Asia”, kembali diadakan luring sepenuhnya.
Digelar di kota pesisir kecil Boao, Hainan, kawasan tropis di ujung selatan China yang sekilas mengingatkan akan Bali, forum empat hari yang ditutup akhir pekan lalu itu mempertemukan kepala negara, pelaku bisnis, serta akademisi dari negara-negara Asia dan mitra dagangnya.
BFA menjadi ajang konferensi skala internasional terbesar pertama di China yang digelar luring seutuhnya setelah negara pusat episentrum Covid-19 itu akhirnya mencabut kebijakan restriksi pandemi yang ketat, akhir tahun lalu. Sebelumnya, pada 2020, BFA dibatalkan karena pandemi. Sementara, pada 2021, forum digelar secara hibrida dengan pembatasan ekstra ketat.
Baca juga : Asia Rapatkan Barisan, Tensi Geopolitik Jangan Korbankan Pemulihan Ekonomi
Satu-satunya pengingat akan pagebluk yang tersisa hanya tes PCR yang wajib dijalani peserta sehari sebelum forum dibuka. Pemakaian masker sudah tidak lagi diwajibkan ataupun diimbau, posisi tempat duduk di berbagai sesi diskusi panel pun kembali diatur berdempetan tanpa jarak sekian meter. China mulai beranjak ”melupakan” Covid-19.
Satu hari sebelum acara, sempat beredar kabar tentang rencana penerapan closed-loop alias restriksi ketat ala pandemi di China yang melarang tamu untuk keluar dari lokasi acara. Namun, kebijakan itu tak jadi diterapkan. Selama forum berlangsung, peserta bebas berkeliaran keluar hotel tempat menginap dan lokasi acara, asal mengantongi paspor untuk identifikasi.
Kenormalan baru itu menjadi perhatian pembicara di berbagai sesi. Seperti kata Ketua BFA Ban Ki-moon saat membuka acara, Kamis (30/3/2023), ”Ini mungkin pertama kalinya mayoritas kita kembali berjumpa tatap muka. Reuni melegakan sekaligus awal yang tepat untuk melihat ke depan, menyambut krisis dan kejutan baru yang menanti. Kita tidak punya banyak waktu”.
Selama empat hari, Boao menjadi saksi upaya China untuk kembali membuka dirinya pada dunia setelah tiga tahun menutup pintu dengan kebijakan Covid-19 yang kontroversial. Pesan keterbukaan itu pula yang terus digaungkan Pemerintah China sejak awal tahun.
Sinyal kuat
Sinyal kuat China siap membuka diri dan ”menularkan” pemulihan ekonominya pada dunia disampaikan Perdana Menteri China Li Qiang saat membuka BFA. Di hadapan pebisnis lokal dan asing, Li berjanji memperluas akses pasar, memperbaiki iklim berusaha, serta suportif kepada investor asing dan sektor swasta.
BFA menjadi ajang konferensi skala internasional terbesar pertama di China yang digelar luring seutuhnya setelah negara itu akhirnya mencabut kebijakan restriksi pandemi yang ketat.
Ia juga memaparkan perkembangan kondisi ekonomi China, yang menunjukkan penguatan tiga bulan pertama tahun ini. ”Bagaimanapun situasi dunia ke depan, kami tetap berkomitmen melakukan reformasi, membuka diri, serta menyuntikkan harapan dan vitalitas bagi perekonomian global,” kata Li.
Bagi Indonesia yang memiliki relasi dagang kuat dengan China, sinyal kuat pemulihan ekonomi di ”Negeri Tirai Bambu” tentu membawa angin segar. Dana Moneter Internasional (IMF) dalam dokumen terbaru, Article IV Mission to Indonesia, yang dirilis 22 Maret 2023 mengerek proyeksi pertumbuhan ekonomi RI menjadi 5 persen dari sebelumnya 4,8 persen.
Faktor utamanya adalah laju pemulihan ekonomi China yang berjalan lebih cepat dari perkiraan serta meredanya tekanan inflasi global, yang dapat memperkuat permintaan ekspor Indonesia.
Penguatan relasi dagang RI-China lewat perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) secara efektif akan dirasakan mulai tahun ini, setelah RI resmi meratifikasi RCEP pada November 2022 lalu.
Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun mengatakan, bahkan sebelum implementasi RCEP, nilai perdagangan RI-China telah naik signifikan. Defisit perdagangan RI-China juga terus menurun. Pada tahun 2014, RI masih mencatat defisit 13 miliar dollar AS dengan China. Tahun 2022, Indonesia hanya membukukan defisit 1,8 miliar dollar AS dengan China.
Baca juga : Ekonomi China Tumbuh, RI Genjot Ekspor lewat RCEP
Nilai ekspor dari Indonesia ke China tahun lalu juga naik 25,4 persen mencapai nilai 70,7 miliar dollar AS, meski ekonomi China saat itu masih lesu akibat restriksi Covid-19 yang ketat.
Ia meyakini, dengan implementasi RCEP, dibukanya ekonomi China, serta beroperasinya pelabuhan perdagangan bebas Hainan di ujung China selatan selaku ”pintu gerbang” dagang China dengan ASEAN, volume dagang RI-China tahun ini akan jauh lebih tinggi.
”Dari sisi jarak, Hainan dekat dengan ASEAN. Dari sisi iklim, kita juga sama-sama negara tropis. Saya yakin, lewat RCEP dan Hainan, perdagangan dan investasi antara China-Indonesia bisa semakin diakselerasi,” kata Djauhari.
Tak menunggu lama, empat hari setelah BFA digelar, Selasa (4/4/2023), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengunjungi Beijing untuk bertemu Wakil Presiden China Han Zheng dan mantan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.
Bagi Indonesia yang memiliki relasi dagang kuat dengan China, sinyal kuat pemulihan ekonomi di ”Negeri Tirai Bambu” tentu membawa angin segar.
Dalam pertemuan itu, kedua pihak sepakat memperkuat kerja sama dan meningkatkan relasi bilateral RI-China ke level yang lebih tinggi, khususnya di bidang infrastruktur dan kemaritiman, sektor keuangan, ekonomi hijau, dan keamanan pangan.
Risiko
Akan tetapi, di tengah secercah optimisme itu, risiko tetap membayangi. Laporan Bank Dunia, ”East Asia and the Pacific Economic Update” yang dirilis 31 Maret 2023, menempatkan tensi geopolitik yang menajam antara China-AS dan isu decoupling atau pemutusan hubungan ekonomi AS-China sebagai risiko utama yang bisa mencederai pemulihan ekonomi negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Awal tahun ini, IMF juga mengeluarkan kajian serupa, menempatkan Asia sebagai kawasan paling terdampak jika terjadi fragmentasi ekonomi. Prediksi IMF, produk domestik bruto (PDB) negara-negara Asia bisa terpangkas 3 persen apabila blok-blok ekonomi ala Perang Dingin terbentuk.
Kekhawatiran itu ikut mengemuka selama BFA, disuarakan sejumlah tamu kepala negara yang khawatir rivalitas itu dapat berdampak buruk pada perekonomian Asia. Di Boao, Li Qiang pun menggelar rangkaian diskusi tertutup dengan petinggi perusahaan multinasional asal AS untuk meyakinkan mereka tetap berbisnis di China
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies Fajar Hirawan meyakini, decoupling AS dari China tidak akan terjadi mengingat ketergantungan ekonomi keduanya terlalu kuat. Namun, RI sebagai negara mitra strategis ekonomi kedua negara itu tetap perlu berjaga-jaga.
Baca juga : ”Decoupling” Barat terhadap China Mirip Aksi Bunuh Diri Ekonomi
”Kita sangat bergantung pada China sebagai net importer, juga pada AS karena kita net exporter. Kalau decoupling terjadi, tentu kita akan ikut terkena shock karena arus rantai pasok akan terganggu,” kata Fajar.
Menurut dia, langkah yang ditempuh pemerintah saat ini sudah tepat, yakni mencari alternatif ekspansi pasar ekspor dan impor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional yang sedang volatil seperti China dan AS. Misalnya, upaya pemerintah merambah pasar Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur untuk tujuan ekspor Indonesia tahun ini.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu pintar-pintar mengambil manfaat dari kedua negara yang sedang berseteru itu melalui koridor RCEP dengan China dan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) yang diinisiasi AS, tanpa perlu menunjukkan keberpihakan berlebih pada salah satunya. Jika itu terjadi, RI diyakini bisa mengarungi ketidakpastian baru di rantai pasok global.
”Jangan sampai kita ekstrem mendekati China atau AS, lalu akhirnya kedua negara itu tidak mempertimbangkan kita sebagai ’sekutu’ ekonomi. Kita harus bermain lebih cantik dalam konteks ini, memanfaatkan posisi kita yang memegang prinsip bebas aktif dan nonpartisan, sambil meng-explore peluang pasar baru di luar kedua negara itu,” ucapnya.