”Decoupling” Barat terhadap China Mirip Aksi Bunuh Diri Ekonomi
”Jadi, saya kira ’decoupling’ adalah jalan menuju sebuah bencana dan seharusnya tidak diwujudkan,” kata Zepp-LaRouche.
Ada pemikiran kencang di era mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk melepas relasi ekonomi Barat dengan China, disebut decoupling. Faktor persaingan geopolitik menjadi pendorong ide tersebut. Namun, kekuatan mekanisme pasar tidak mendukung decoupling ekonomi atau deglobalisasi. Barat kini kebingungan tentang pemikiran decoupling sebab kerugiannya lebih besar dari keuntungannya.
Analisis berikut tampaknya juga menjadi masukan sangat bagus bagi siapa pun yang punya ide untuk melakukan decoupling terhadap perekonomian China. Isu decoupling sudah lama muncul. Inti semua ini pada dasarnya adalah karena AS gagal menundukkan China seperti Jepang yang pernah berhasil ditundukkan secara ekonomi. Tujuan aslinya bukan memutus mata rantai ekonomi.
Baca juga: Perang Dagang AS dan China Belum Akan Mereda
”AS ingin menahan pembangunan China dengan mencuatkan persoalan seperti isu terkait Laut China Selatan, Hong Kong, dan hak asasi manusia. Pada saat bersamaan, AS meminta para sekutu membangun jaringan untuk membendung kebangkitan China dan mengibaskan bara di panggung dunia untuk menciptakan iklim anti-China,” demikian mantan Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda di China US Focus pada 22 Februari 2022.
Pernah pada masanya, kata Fukuda, sektor keuangan di New York didominasi para kapitalis Jepang. ”Keadaan ini memicu sentimen anti-Jepang di seantero AS, baik di pemerintahan maupun swasta. Untuk meredakan itu, Jepang memberi dukungan 13 miliar dollar AS kepada militer AS yang kala itu sibuk dengan sejumlah perang di luar negeri,” kata Fukuda.
Dari era Obama
Menekan dan mendikte China seperti Jepang adalah tujuan utama AS tetapi selalu gagal sampai sejauh ini, suatu hal yang mendorong niat decoupling. Hal ini sudah mencuat juga di era mantan Presiden Barack Obama dengan kebijakan ”poros Asia” dan makin mencuat lagi di era Trump. Tampilnya penasihat dagang Trump, ekonom Peter Navarro, bermula dari niat Trump untuk meraih suara pada pemilu 2016 dengan memainkan sentimen China yang dituduh menyedot basis produksi AS.
Aksi di era Trump untuk mendukung decoupling diwujudkan lewat pengenaan tarif impor asal China dan tekanan lain terhadap industri teknologi informasi China. Taktik berbalutkan terminologi decoupling ini berlanjut pada era Presiden Joe Biden saat ini. Biden melanjutkan pengenaan tarif serta perang cip yang sudah dicanangkan Trump.
Pada era Biden, upaya decoupling makin menguat. Delegasi dari 14 negara dipimpin AS berkumpul di Los Angeles pada 8 September 2022. Negara yang terlibat hadir adalah Brunei Darussalam, Fiji, India, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Thailand, Vietnam, Australia, Jepang, dan AS sendiri.
Baca juga: Bagaimana Mengatasi Intrik AS-China? (3)
Kelompok ini dinamai Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF). ”Kelompok tersebut bertujuan memutus relasi ekonomi dengan China untuk membangun kepemimpinan ekonomi di bawah komando AS,” demikian dituliskan John Lee, peneliti di Hudson Institute di Washington DC (The Hill, 7 September 2022).
Rentetan upaya decoupling berlanjut, hingga Jack Ma, taipan China yang sekarang banyak berdiam diri, pernah mengatakan bahwa perang dagang AS-China akan berlangsung lama. ”Hal itu akan berlangsung lama dan akan kacau,” kata Ma, pendiri Alibaba, dikutip CNN, 18 September 2018. Keadaan ini bisa berlangsung mungkin hingga 20 tahun mendatang, kata Ma.
Sikap Korea Selatan
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, terlihat upaya decoupling tidak akan berhasil. Langkah decoupling termasuk lewat IPEF diduga kuat akan gagal. Banyak argumentasi mendukung jalan menuju kegagalan decoupling tersebut.
Para anggota IPEF, misalnya, ada yang tidak sepakat dengan misi mengucilkan China. ”Sikap resmi Korea Selatan terhadap IPEF adalah berusaha menghindari pengucilan ekonomi terhadap satu negara. Untuk menghindari kemungkinan konflik ekonomi dan politik dengan China, Pemerintah Korea Selatan berusaha memosisikan IPEF sebagai kelompok yang bebas dan terbuka,” demikian dikatakan Sang Chul Park, profesor bisnis dan perdagangan internasional di Tech University of Korea, lewat artikelnya pada 16 Desember 2022, di situs Australian Institute of International Affairs.
Sebenarnya tidak mudah juga bagi banyak negara untuk memutuskan sikap terhadap China. ”Negara Tirai Bambu” ini memang dipandang sebagai ancaman, bukan hanya oleh AS. Semakin kuat China, dianggap akan semakin berpotensi semena-mena seperti AS di era unipolar. Itu pemikiran yang didasarkan pada teori ”jebakan Thucydides”, merujuk pada teori bahwa kekuatan baru akan menantang kekuatan lama.
Sikap resmi Korea Selatan terhadap IPEF adalah berusaha menghindari pengucilan ekonomi terhadap satu negara. Untuk menghindari kemungkinan konflik ekonomi dan politik dengan China, Pemerintah Korea Selatan berusaha memosisikan IPEF sebagai kelompok yang bebas dan terbuka.
Sebaliknya, seruan-seruan China, termasuk dari Presiden Xi Jinping yang menyatakan tidak meyakini teori Barat tersebut, hilang begitu saja seperti ditiup angin. Sebagian para pemikir Barat tetap melihat dunia lewat kacamata sejarah dengan kisah takluk-menaklukkan di antara kekuatan-kekuatan besar.
Terbaru, seperti dituliskan Gary Clyde Hufbauer dari Peterson Institute for International Economics (PIIE), 23 Desember 2022, di situs East Asia Forum, sebagian pihak di AS merasa terancam akan dipunahkan oleh China. Hufbauer menambahkan, AS tidak mau tahu soal globalisasi dan prosesnya, dan hanya ingin tahu soal kehebatannya di masa lalu dan yang ingin dipertahankan di masa depan.
Baca juga: Bersaing Tanpa Berpaling
Argumentasi apa pun dari China, termasuk bukti sejarahnya yang relatif tidak hegemonis, bahkan malah jadi korban kekuatan dunia, tidak akan didengar. Narasi dari China mengakui bahwa ada niat mengubah tatanan dunia karena memang banyak yang tidak beres. Namun, China menekankan kebangkitannya tidak akan merusak kekuatan lain. Tetap saja suara China tidak bisa berterima.
Jika ada argumentasi dari pihak di dalam AS yang mencoba memberi pemahaman tentang pesaing terkuat AS, yakni China, akan mudah diberi cap sebagai ”stupid idiot”.
Lebih berbahaya dari Brexit
Masalahnya, bisakah AS membendung China secara ekonomi? Selain lewat IPEF, AS mengajak Uni Eropa urun rembuk membendung China. Debat kuat untuk mengucilkan China ini juga sangat marak di Jerman. Saking kuatnya dorongan agar Jerman terlibat decoupling, lembaga di Jerman bernama Ifo Institute meluncurkan analisis pada 8 Agustus 2022.
Lisandra Flach dari Ifo Institute menyatakan, perang dagang Jerman dengan China akan menyebabkan kerugian Jerman enam kali lebih besar dari efek Brexit, sebutan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa. ”Decoupling UE dan Jerman dari China akan melahirkan pembalasan dari China, yang menyebabkan kerugian hampir enam kali lipat dari efek Brexit,” demikian kata Flach mengungkapkan hasil analisis Ifo Institute, yang dilakukan atas permintaan Bavarian Industry Association (VBW).
”Deglobalisasi akan membuat kita lebih miskin. Ketimbang berpaling dari satu negara yang merupakan mitra dagang terpenting tanpa alasan bagus, perusahaan-perusahaan Jerman lebih baik mengandalkan input dari negara-negara lain untuk mengurangi ketergantungan dari pasar tertentu dengan rezim otoriter,” kata Flach merujuk China.
Baca juga: Mungkinkah Biden Mengubah Kebijakan Trump soal Perang Dagang?
Maksud Flach, berpaling dari China wajib membuat Jerman mencari mitra dengan negara lain, yakni AS. Namun, bermitra dengan AS dan mengucilkan China tetap tidak bisa menutupi kerugian akibat putusnya hubungan dagang dengan China.
Sektor industri Jerman yang akan merugi jika putus hubungan dengan China adalah otomotif dengan kerugian sebesar 8,47 persen bernilai 8,3 miliar dollar AS. Perusahaan peralatan transportasi akan rugi 5,14 persen dengan nilai 1,529 miliar dollar AS, serta perusahaan penghasil peralatan dan mesin-mesin akan rugi 4,34 persen dengan nilai 5,202 miliar dollar AS.
Florian Dorn, juga penulis analisis bersama Flach, mengatakan, opsi Jerman memutus relasi dagang dengan China jelas bukan solusi jitu.
Mirip aksi bunuh diri
Terkait itu, pada 19 Desember 2022, kantor berita China, Xinhua, menuliskan hasil wawancara dengan Helga Zepp-LaRouche, pendiri Schiller Institute, sebuah lembaga pemikir Jerman. Dia katakan, ”Ide decoupling dengan China adalah plot geopolitik yang mirip aksi bunuh diri ekonomi bagi Jerman, dan UE serta dunia akan menderita secara ekonomi.”
”Upaya Jerman mengurangi ketergantungan terhadap China karena tekanan AS akan menjerumuskan negara dan membuat perekonomian dalam gejolak besar,” kata Zepp-LaRouche. Ia menambahkan, China dengan Jerman memiliki potensi besar untuk bekerja sama dan ide decoupling akan menentang kepentingan-kepentingan Jerman.
Ide decoupling dengan China adalah plot geopolitik yang mirip aksi bunuh diri ekonomi bagi Jerman, dan UE serta dunia akan menderita secara ekonomi.
Zepp-LaRouche menyinggung hasil analisis Ifo Institute. ”Perkiraan lembaga itu tidak melihat dampak decoupling ekonomi, yang bisa mengarah pada konfrontasi geoplitik dan memberi beban besar bagi dunia,” katanya. ”Jadi saya kira decoupling adalah jalan menuju sebuah bencana dan seharusnya tidak diwujudkan,” ujar Zepp-LaRouche. Ia mengatakan, Jerman telah mencapai tahap di mana negara ini harus berdiri tegak untuk membela kepentingannya, ”Ketimbang menjadi budak permainan geopolitik AS.”
Dia menambahkan, konsep decoupling atas China yang diprakarsai segelintir negara tidak sejalan dengan keinginan lebih dari 120 negara dan kawasan yang malah sedang ingin bekerja sama dengan China. Negara-negara ini telah terbantu dalam program pengikisan kemiskinan dan sangat terbantu dalam pembangunan infrastruktur karena China. ”Jadi, saya kira dinamikanya sangat jelas, mayoritas dunia sangat tidak ingin dengan decoupling,” kata Zepp-LaRouche.
Korporasi menolak "decoupling"
Jika decoupling diteruskan, peran korporasi global sangat dituntut untuk mewujudkannya. Namun, penolakan korporasi global terlihat dalam laporan Reuters, 29 November 2022. ”Untuk para politisi yang berharap bisa meniru kemapanan rantai pasok China lewat keringanan pajak, subsidi diiringi sanksi pada China, harap diingat bahwa China telah memulai pembangunan infrastruktur logistik sejak dekade 1980-an,” demikian Reuters.
Rentang waktu proyek-proyek industri turut memperkuat posisi China. Korporasi raksasa kimia Jerman, BASF, misalnya, telah membangun pabrik canggih bernilai 10 miliar dollar AS di Provinsi Guangdong sejak 2019 dan akan beroperasi hingga 30-40 tahun. Kota-kota kelas tiga di China juga memantapkan diri sebagai basis global produksi farmasi, plastik, dan lainnya. ”Tidak satu pun pabrik-pabrik itu yang mudah untuk direlokasi,” demikian Reuters.
Fakta bicara lain
Chad P Bown, juga dari PIIE, pada 20 Oktober 2022, menganalisis efek perang dagang sejak 2016 hingga sekarang. Dia sebutkan, ”Para pembuat kebijakan perlu berhati-hati menafsirkan decoupling berdasarkan bukti-bukti awal. Keputusan kebijakan yang dibuat hari ini untuk mengurangi saling ketergantungan ekonomi di antara kedua negara (AS dan China) akan memiliki implikasi yang mendalam bagi ekonomi kedua negara, dan keduanya tidak akan lolos tanpa kerugian,” kata Brown.
Baca juga: Ketegangan AS-China dan Jebakan Thucydides
Bukti-bukti awal, menurut Brown, menunjukkan, perdagangan AS-China khususnya untuk produk-produk yang tidak dikenakan tarif tetap mengalami peningkatan pesat. Khusus untuk produk impor asal China yang dikenakan tarif, terjadi pengurangan porsi impor walau penurunan itu tidak signifikan. ”Memang impor atas produk serupa tetap meningkat meskipun tidak berasal dari China tetapi Vietnam. Namun, input yang dipakai Vietnam tetap saja berasal dari China,” kata Brown.
”Jika asal produk impor hanya bergeser dari China ke Vietnam tetapi tetap dengan menggunakan input asal China, lalu apa sesungguhnya perbedaan yang terjadi,” ujar Brown. Lebih jauh lagi, menurut dia, importir AS telah dibebani biaya tarif yang kemudian mengenakannya kepada konsumen.
Asia harus memahami
Dewan Editorial EAF dari Crawford School of Public Policy, College of Asia and the Pacific, The Australian National University, 26 Desember 2002, menuliskan bahwa alamiah dari rantai pasok internasional sangat rumit. Dengan demikian, setiap upaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan kepentingan geopolitik ketimbang logika ekonomi akan menghasilkan pemenang dan pecundang. Namun, jumlah pecundang akan lebih banyak dari pemenang, terutama di Asia.
Tantangan bagi Asia dan seluruh dunia adalah mempertahankan kerangka multilateral, yang amat mendasar bagi sistem multipolar yang stabil, di mana AS sedang menolaknya. Asia disarankan untuk tidak terpancing melakukan konfrontasi. Apalagi masih ada harapan bagi sebuah kolaborasi.
Harian AS, The Wall Street Journal, 30 November 2022, menuliskan bahwa Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo mengatakan, AS tidak sedang mengupayakan decoupling dengan China. Namun, di AS ada banyak kaum dengan aneka pandangan. Pernyataan Raimondo tidak diterima oleh banyak kalangan di AS terkait aspirasi politik. Situasi ini tampaknya terjadi karena kaum restriksionis sedang bercokol di Washington, sebagaimana dituliskan Maxwell Bessler, 16 November 2022, dari Center for International Strategic Studies (CSIS) AS.
Menunggu kesadaran AS, Asia lebih baik berjalan terus dengan rencananya tanpa membuat perekonomian dunia terbakar. (AP/AFP/REUTERS)