Asia Rapatkan Barisan, Tensi Geopolitik Jangan Korbankan Pemulihan Ekonomi
Forum Boao Asia 2023 menyuarakan solidaritas antar negara-negara Asia dan mitra ekonomi mereka untuk mengedepankan kolaborasi di tengah lanskap politik global yang semakin terbelah dan ancaman krisis yang bertubi-tubi.
Oleh
AGNES THEDOORA, dari Boao, China
·5 menit baca
BOAO, KOMPAS – Negara-negara Asia menyuarakan pentingnya merawat keterbukaan dan multilateralisme di tengah dunia yang sedang dirundung krisis dan semakin terpolarisasi. Perseteruan antara dua kekuatan ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, diharapkan bisa segera disudahi. Konflik geopolitik jangan sampai mengorbankan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan umat manusia.
Mengutip kajian Dana Moneter Internasional (IMF), ongkos jangka panjang yang harus dibayar akibat fragmentasi perdagangan mencapai 7 persen hingga 12 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia. Angka tersebut kira-kira setara dengan gabungan PDB tahunan Jerman dan Jepang.
Dalam acara Boao Forum for Asia (BFA) 2023, Kamis (30/3/2023), hampir semua pembicara menyuarakan pesan untuk menyudahi fragmentasi geopolitik demi menjaga momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Forum itu digelar di kota Boao, Provinsi Hainan, China bagian selatan, sebagai ajang pertemuan tahunan antara kepala negara, komunitas bisnis, dan akademisi dari 25 negara Asia dan Australia. BFA kerap disandingkan dengan Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang digelar di Davos, Swiss. Acara itu digelar selama empat hari dan berakhir pada Jumat (31/3/2023) ini.
Saat membuka forum, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki- moon mengingatkan, krisis yang dulu hanya berupa ancaman kini tinggal menghitung hari – seperti krisis iklim, kemiskinan dan kesenjangan yang kian parah, serta dunia yang semakin terbelah.
“Jangan buang-buang waktu dengan konfrontasi ideologis dan kepentingan jangka pendek. Biaya yang harus dibayar terlalu tinggi. Saya ingin memakai kesempatan ini untuk mengingatkan kita semua untuk berpikir jangka panjang dan bersatu untuk mengatasi berbagai krisis di depan mata,” katanya.
Hadir pula dalam forum tersebut tokoh negara dan figur penting lain seperti Perdana Menteri China Li Qiang, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez, dan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
Sindiran kepada China dan Amerika Serikat untuk segera menstabilkan hubungan antara keduanya pun disampaikan oleh sejumlah kepala negara, seperti PM Lee. Ia mengatakan, kedua negara adidaya itu punya tanggung jawab besar untuk menjaga stabilitas hubungan antara satu sama lain. Sebab, konflik sekecil apa pun di antara keduanya bisa membawa konsekuensi besar pada dunia.
Jangan buang-buang waktu dengan konfrontasi ideologis dan kepentingan jangka pendek.
Nyatanya, saat ini, perseteruan antara China dan AS terjadi di nyaris segala lini, dari perdagangan dan investasi, rantai pasok global, isu keamanan dan pertahanan, geopolitik, teknologi, sampai kebebasan dan demokrasi. Tensi antara keduanya pun semakin menambah ketidakpastian bagi ekonomi global. “Kami berharap hubungan China-AS bisa segera stabil dan kedua negara bisa kembali saling percaya dan saling menghormati,” kata Lee.
Georgieva berharap, forum BFA tahun ini bisa mempromosikan solidaritas antarnegara-negara Asia dan mitra ekonomi mereka untuk mengedepankan kolaborasi di tengah lanskap politik global yang semakin terbelah. Dunia menyaksikan bagaimana turbulensi akibat perang Rusia-Ukraina telah mendisrupsi rantai pasok global dan memukul mundur laju pemulihan ekonomi di banyak negara pascapandemi.
Ia mengatakan, ekses serupa jangan sampai terulang lagi. Rantai pasok dunia harus dibuat lebih resilien. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih pragmatis untuk mendorong kerja sama di isu-isu krusial, lepas dari perbedaan prinsip dan sikap politik antarnegara.
"Biaya yang harus dibayar akibat fragmentasi terlalu mahal. Sebagai kawasan yang sangat terintegrasi, Asia akan menjadi yang paling terdampak bila tren fragmentasi semakin menjadi-jadi. Kita harus menekan ongkos keterbelahan itu sebisa mungkin," kata Georgieva.
Sinyal dari China untuk meredakan tensi dengan AS, setidaknya di sektor ekonomi, mulai tampak akhir-akhir ini pada awal periode ketiga pemerintahan Presiden Xi Jinping. Saat baru diangkat menjadi perdana menteri, Li Qiang menegaskan komitmen China untuk membuka diri lebih lebar kepada dunia. Ia mengatakan, lepas dari rivalitas yang menajam antara keduanya, China dan AS saling membutuhkan dari segi ekonomi, sehingga keduanya harus serta bisa bekerja sama.
Dibutuhkan pendekatan yang lebih pragmatis untuk mendorong kerja sama di isu-isu krusial, lepas dari perbedaan prinsip dan sikap politik antarnegara.
Sentimen itu kembali diulang Li saat memberi kata sambutan di ajang BFA. Ia mengatakan, China tetap berkomitmen melakukan reformasi dan membuka diri pada dunia. Seiring dengan ekonomi China yang kembali bangkit setelah mencabut kebijakan restriksi Covid-19 yang ketat, China akan menjadi "jangkar" bagi pembangunan dan perdamaian dunia.
China juga menolak proteksionisme dagang dan "decoupling" atau pemutusan relasi ekonomi negara-negara Barat dengan China. Li pun menyuarakan perlunya penguatan kerja sama antara negara-negara Asia dan mitra dagangnya. "Kita harus menjaga stabilitas rantai pasok dunia. Kekacauan dan konflik tidak boleh terjadi di Asia," ujar Li.
Selama empat hari, ajang BFA juga diadakan untuk memperkuat ikatan ekonomi antara China dan negara-negara Asia. Dalam sesi diskusi panel di sela-sela BFA, Kamis, Duta Besar Indonesia untuk China Djauhari Oratmangun mengatakan, bahkan sebelum implementasi perjanjian dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), nilai perdagangan antara Indonesia dan China sudah meningkat signifikan.
Nilai perdagangan itu juga tercapai di tengah kondisi global yang diliputi ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan tensi geopolitik yang memanas pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Ia meyakini, dengan pandemi yang membaik, implementasi RCEP, pembukaan kembali perekonomian China, serta beroperasinya pelabuhan perdagangan bebas Hainan di China selatan, volume perdagangan Indonesia-China akan jauh lebih tinggi lagi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia-China pada tahun 2022 masih membukukan defisit 1,8 miliar dollar AS. Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke China naik 22,6 persen yaitu 65,9 miliar dollar AS, sedangkan nilai impor dari China ke Indonesia naik 20,45 persen senilai 67,7 miliar dollar AS.
Kendati masih tercatat defisit, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nilainya terus menurun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2021, defisit perdagangan Indonesia-China tercatat senilai 2,5 miliar dollar AS. Sebelumnya, pada tahun 2014, nilai defisit itu jauh lebih besar, yakni 13 miliar dollar AS.