ASEAN Perlu Perkuat Posisi dalam Rantai Nilai Global
ASEAN rentan terhadap gangguan rantai nilai global dan perubahan iklim. Untuk itu, ASEAN membutuhkan penguatan rantai nilai global, termasuk rantai nilai ramah lingkungan, dan pembiayaan hijau.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — ASEAN perlu lebih memperkuat posisi dalam rantai nilai global, termasuk rantai nilai ramah lingkungan jika ingin menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi dunia. Hal itu untuk meningkatkan ketahanan negara-negara di Asia Tenggara terhadap tantangan baru di masa depan, seperti berulangnya pandemi, ketidakstabilan geopolitik, dan perubahan iklim.
Dalam laporan bertajuk “Rantai Nilai ASEAN dan Global: Mengunci Ketahanan dan Keberlanjutan“ yang dirilis Kamis (30/3/2023), Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai, ASEAN rentan terhadap gangguan rantai nilai global. Jika rantai pasok nilai global terganggu, siklus bisnis nasional bakal terimbas.
Selama ini perdagangan rantai nilai global ASEAN bertumpu pada China, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Korea Selatan. Tidak mengherankan jika perdagangan rantai nilai global di ASEAN turun sebesar 9 persen pada 2020. Hal itu melanjutkan tren penurunan perdagangan rantai nilai global ASEAN pada 2018 yang dipicu oleh kenaikan tarif akibat perang dagang Amerika Serikat-China.
Namun, pada 2021, perdagangan rantai nilai global di ASEAN kembali pulih seiring peningkatan vaksinasi Covid-19. Perdagangan rantai nilai global Indonesia tumbuh 49,6 persen dan Laos 47,4 persen, sedangkan negara-negara anggota lain tumbuh di kisaran 16-29 persen. Adapun perdagangan rantai nilai global Brunei Darussalam justru susut 7,7 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa meski terguncang, rantai nilai global dapat cepat pulih dari gangguan itu. ”Fisik” rantai nilai global itu tidak rusak. Perdagangan rantai nilai global itu turun lantaran penurunan pasokan akibat penutupan sementara pabrik dan gangguan transportasi. Setelah guncangan mereda, nilai dan volume perdagangan tersebut pulih kembali.
ASEAN rentan terhadap gangguan rantai nilai global. Jika rantai pasok nilai global terganggu, siklus bisnis nasional bakal terimbas.
Meskipun begitu, ASEAN tetap perlu memperkuat dan meningkatkan ketahanan industri dan perdagangan rantai nilai global. Tantangan tersebut bertambah berat di tengah komitmen global mengatasi perubahan iklim. Perekonomian ASEAN juga perlu menjadi hijau. Salah satunya dengan menggulirkan kebijakan dekarbonisasi yang juga bakal memperkuat rantai nilai ASEAN dan global.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengatakan, saat melanjutkan pemulihan dari Covid-19, ASEAN juga harus memastikan revitalisasi ekonomi terjadi dengan cara yang lebih hijau dan berkelanjutan. Upaya-upaya mendekarbonisasi rantai nilai global perlu diadopsi pemerintah dan pebisnis.
”Investasi dalam energi terbarukan dan peningkatan efisiensi, insentif untuk mengurangi biaya perdagangan barang-barang ramah lingkungan, dan percepatan digitalisasi dapat berkontribusi pada rantai nilai yang lebih hijau dan berkelanjutan di ASEAN dan sekitarnya,” ujarnya melalui siaran pers, Kamis.
ASEAN juga harus memastikan revitalisasi ekonomi terjadi dengan cara yang lebih hijau dan berkelanjutan. Upaya-upaya mendekarbonisasi rantai nilai global perlu diadopsi pemerintah dan pebisnis.
Dalam laporan itu, ADB juga menyebutkan, industri manufaktur memegang peranan penting di ASEAN. Selain menyerap banyak tenaga kerja, sektor ini juga sangat penting dalam pengembangan rantai nilai global dan menciptakan produk-produk ramah lingkungan di kawasan ASEAN. Hal itu terutama di sektor tekstil dan produk tekstil atau garmen, kulit dan alas kaki, peralatan dan mesin listrik, serta otomotif.
Di sektor otomotif, misalnya, banyak pabrikan otomotif besar yang berinvestasi di kawasan ASEAN. Di tengah arus mewujudkan nol emisi karbon, masa depan industri ini adalah kendaraan listrik. Berbagai suku cadang dan bahan baku kendaraan listrik dibutuhkan, mulai dari baterai, baja, hingga semikonduktor.
Jika benar-benar ingin mengembangkan sektor itu, ASEAN harus mampu mengolah bahan baku baterai dan kendaraan listrik secara ramah lingkungan. Kapasitas sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan karena industri kendaraan listrik, termasuk industri hijau lain, membutuhkan penguasaan teknologi tinggi.
Sementara itu, dalam Seminar Tingkat Tinggi ”Menyelaraskan Kebijakan Mengatasi Perubahan Iklim” yang digelar secara hibrida, Kamis, Bank Indonesia (BI) mendorong bank-bank sentral, lembaga internasional, dan swasta untuk memperluas penerapan keuangan hijau. Hal itu penting agar program-program mengatasi perubahan iklim dapat mencapai target dengan baik.
Seminar itu merupakan salah satu sela acara dari Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) dalam rangka Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 28-31 Maret 2023.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, transisi menuju ekonomi hijau harus terkelola dengan baik agar risiko ekonomi dan sosial termitigasi. Untuk itu, diperlukan tiga pilar penopang, yakni kebijakan yang kuat dari otoritas dan dukungan politik pemerintah, kerangka transisi perubahan iklim yang jelas, dan keberlangsungan modal untuk pembangunan proyek berkarateristik hijau.
Peran bank sentral bukan hanya untuk mempromosikan keuangan hijau tetapi juga mengimplementasikan sejumlah kebijakan pendukung, terutama pada transisi keuangan. BI, misalnya, telah menerapkan sejumlah kebijakan penopang program transisi hijau Indonesia.
”Beberapa di antaranya adalah memberikan insentif likuiditas bagi bank yang menjalankan proyek hijau, asistensi teknis keuangan hijau berbalut lokakarya bagi pemerintah daerah, serta mengelola cadangan devisa yang mencakup portofolio sektor hijau dan sukuk,” tuturnya.
Peran bank sentral bukan hanya untuk mempromosikan keuangan hijau, tetapi juga mengimplimentasikan sejumlah kebijakan pendukung, terutama pada transisi keuangan.
Dalam seminar itu juga terungkap, ASEAN perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi perubahan iklim. Hal itu mengingat kawasan Asia Tenggara cukup rentan terhadap perubahan iklim yang berpotensi menyebabkan bencana alam.
Banyak sektor ekonomi penting yang sensitif terhadap perubahan iklim, seperti pertanian, sumber daya alam. Selain itu, populasi dan ekonomi berbasis pesisir di kawasan ASEAN juga cukup tinggi. Untuk itu, pembiayaan hijau dengan standar penerapan keuangan hijau di ASEAN sangat diperlukan. Standar penerapan keuangan hijau itu meliputi empat aspek, yakni pengungkapan, data, asesmen kerentanan, serta instrumen regulasi dan pengawasan.