Terlepas dari sejumlah kekhawatiran, penerimaan pajak di awal tahun masih mampu tumbuh signifikan sebesar 48,6 persen. Kinerja itu harus dijaga di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi sepanjang tahun ini.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketidakpastian ekonomi global, pendapatan negara di awal tahun 2023 masih mencatat kinerja yang stabil. Meski dibayangi ancaman pelemahan ekspor serta tren melandainya harga komoditas, penerimaan diharapkan terus terjaga sepanjang tahun untuk meredam kelanjutan dampak guncangan perekonomian dunia.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada Januari 2023 tumbuh 48,6 persen secara tahunan (year on year), yaitu sebesar Rp 162,23 triliun atau mencapai 9,44 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
Secara rinci, kinerja pajak di awal tahun ini paling banyak ditopang oleh Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas yang mencapai Rp 78,29 triliun atau tumbuh 28,03 persen secara tahunan. Selain itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar Rp 74,64 triliun atau tumbuh 93,86 persen secara tahunan.
Adapun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp 1,29 triliun atau tumbuh 118,72 persen secara tahunan. Sementara kinerja PPh migas tercatat menurun 10,09 persen secara tahunan, yakni sebesar Rp 8,03 triliun, akibat menurunnya harga komoditas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (22/2/2023), secara daring di Jakarta, mengatakan, lepas dari sejumlah kekhawatiran di awal tahun, penerimaan pajak masih mampu mengalami pertumbuhan yang signifikan. Bahkan, kinerja pajak bisa tumbuh cukup tinggi tanpa perlu ditopang efek basis yang rendah (low-based effect).
”Kalau Januari tahun 2022 itu penerimaan pajak kita bisa tumbuh 59,49 persen karena tahun 2021 basisnya memang masih rendah. Tetapi, kalau tahun 2023 ini kita masih bisa tumbuh 48,6 persen, sementara tahun lalu saja kita sudah tumbuh tinggi, ini berarti sesuatu yang sangat positif,” kata Sri Mulyani.
Pertumbuhan penerimaan pajak di awal tahun didukung oleh peningkatan aktivitas ekonomi pada Desember 2022 lalu saat momen libur Natal dan Tahun Baru serta dampak implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mengatur sejumlah instrumen reformasi pajak.
Secara lebih rinci, Sri Mulyani mengatakan, tren pemulihan ekonomi masih berlanjut dan itu tertangkap dari kinerja penerimaan pajak yang masih tinggi. Ia secara khusus menyoroti pajak karyawan atau PPh 21 yang masih tumbuh 22,3 persen secara tahunan serta berkontribusi 13,7 persen terhadap total penerimaan pajak.
Bahkan, kinerja pajak bisa tumbuh cukup tinggi tanpa perlu ditopang efek basis yang rendah ( low-based effect).
Selain itu, PPh badan juga masih tumbuh 44,06 persen dan berkontribusi 12,6 persen terhadap total penerimaan. Kinerja PPh badan menunjukkan geliat dunia usaha masih tinggi seiring dengan tren pemulihan ekonomi yang terjaga. Demikian pula, PPN dalam negeri mampu naik 144,67 persen dan berkontribusi hingga 31,7 persen terhadap total penerimaan pajak.
”Ini kenaikannya masih sangat tinggi karena didorong kegiatan ekonomi masyarakat yang semakin meningkat dan juga dampak kita menaikkan tarif PPN sebesar 1 persen mulai tahun lalu. Secara umum, kalau kita lihat dari jenis pajaknya, kontributor-kontributor besar ini menunjukkan pemulihan yang cukup across the board di awal tahun ini,” kata Sri Mulyani.
Terdampak komoditas
Secara umum, pada Januari 2023, pendapatan negara tumbuh 48,1 persen secara tahunan sebesar Rp 232,2 triliun atau mencapai 9,4 persen dari target APBN. Selain penerimaan pajak, penerimaan kepabeanan dan cukai juga masih sesuai jalur meski sedikit menurun.
Kemenkeu mencatat, penerimaan bea dan cukai mencapai Rp 24,11 triliun atau turun 3,4 persen secara tahunan. Penurunan itu terjadi di pos kinerja bea keluar yang menurun tajam hingga 68,1 persen akibat terdampak tren melandainya harga komoditas dibandingkan tahun lalu.
”Ini karena harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) jatuh sangat tinggi dan mulai termoderasi. Selain itu, volume ekspor komoditas mineral, terutama yang tidak lagi diekspor karena kita sudah ada kebijakan smelter di dalam negeri, juga menyebabkan turunnya bea keluar,” kata Sri Mulyani.
Berbeda dari bea keluar, bea masuk masih tumbuh 22,6 persen karena didorong oleh kurs dollar yang meningkat dibandingkan tahun lalu serta kinerja impor yang masih tumbuh positif. Sementara itu, kinerja cukai masih tumbuh 4,9 persen yang ditopang oleh penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT).
Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga meningkat 103 persen secara tahunan mencapai Rp 45,9 triliun. Capaian itu terutama didorong oleh realisasi pendapatan sumber daya alam (SDA) minyak dan gas (migas) sebesar Rp 11,6 triliun, pendapatan SDA nonmigas Rp 14,8 triliun, serta PNBP lainnya Rp 14,4 triliun.
Sri Mulyani kembali menyoroti risiko pelemahan penerimaan akibat tren dinamika harga komoditas global. ”PNBP SDA masih relatif terjaga, tapi dari minyak mengalami penurunan. Ini menggambarkan kondisi dinamis yang terus harus kita pantau, dari sisi positifnya maupun kemungkinan munculnya risiko terhadap penerimaan kita,” ujarnya.
Mungkin melemah
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menambahkan, untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio), pihaknya terus menguji kepatuhan pembayaran masa wajib pajak pada tahun ini. ”Khususnya mencermati perkembangan harga komoditas dunia yang sangat berpengaruh pada profitabilitas wajib pajak yang memang sensitif terhadap pergerakan harga komoditas, seperti minerba,” katanya.
Penurunan terjadi di pos bea keluar yang menurun tajam hingga 68,1 persen akibat terdampak tren melandainya harga komoditas.
Ditjen Pajak juga secara khusus akan mengawasi kepatuhan pembayaran wajib pajak di sektor tertentu bertumbuh pesat. ”Di awal tahun ini kita lihat banyak sektor sudah mengalami pertumbuhan yang bagus, kami secara konsisten akan mengawasi kepatuhan pembayaran masa di sektor bersangkutan,” ujar Suryo.
Peneliti perpajakan di Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai, kinerja penerimaan pajak di awal tahun ini di luar dugaan. Sebelumnya, banyak pihak memprediksi kinerja penerimaan pajak akan menurun akibat pelemahan ekonomi global serta basis tahun 2022 yang terpatok tinggi.
Meski demikian, kinerja di awal tahun ini belum tentu mencerminkan prospek penerimaan pajak sepanjang tahun 2023. Apalagi, efek pelemahan harga komoditas sudah mulai terasa pada sejumlah pos penerimaan. ”Ada ketidakpastian kondisi ekonomi dalam beberapa bulan mendatang, apalagi Mei-Desember ini tidak ada lagi dampak kenaikan tarif PPN. Jadi, masih ada kemungkinan pelemahan,” katanya.
Ia menilai, kinerja PPN dalam negeri akan menjadi penentu yang menjaga laju penerimaan pajak sepanjang tahun. Oleh karena itu, pemerintah harus menjaga konsumsi domestik agar dapat terkonversi menjadai penerimaan PPN.
”Tidak hanya kebijakan pajak atau administrasi pajak yang harus ditempuh, tetapi kebijakan yang lebih makro juga bisa digunakan untuk menjaga penerimaan pajak,” katanya.