Sumber Baru Pemasukan Pajak Digali, Penerapannya Perlu Lebih Hati-hati
Di tengah perlambatan ekonomi global, langkah ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ”durian runtuh” seperti tahun lalu.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna mendongkrak penerimaan pajak tahun ini, pemerintah akan lebih gencar melakukan ekstensifikasi dan insentifikasi perpajakan, salah satunya melalui optimalisasi pungutan pajak di sektor digital. Langkah ini dinilai perlu lebih berhati-hati agar tidak berujung menekan pertumbuhan sektor tertentu di tengah kondisi ekonomi yang semakin tidak pasti.
Penerimaan pajak pada tahun 2023 diperkirakan bakal jauh lebih landai ketimbang tahun 2022 akibat berakhirnya tren kenaikan harga komoditas dan program khusus seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Pemerintah pun akan mengandalkan kelanjutan implementasi reformasi pajak seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, Sabtu (14/1/2023), mengatakan, di tengah situasi ekonomi global yang semakin melambat, langkah ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ”durian runtuh” seperti tahun lalu.
Ada beberapa modal dasar yang dimiliki pemerintah untuk mendorong langkah tersebut, misalnya dengan mengandalkan basis data wajib pajak yang didapat dari realisasi program PPS tahun lalu, data dari program pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun 2016, serta data dari pengintegrasian nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Meski demikian, pemerintah dinilai perlu berhati-hati dalam menerapkan ekstensifikasi pajak di tengah turbulensi ekonomi saat ini. Yusuf mencontohkan, rencana pemerintah untuk mengoptimalkan pungutan pajak digital pada tahun ini, seperti lewat pajak transaksi perdagangan digital dalam negeri dan pajak kripto.
”Memang ada banyak ruang ekonomi digital yang bisa dipajaki. Tetapi, dalam kondisi transisi ekonomi seperti sekarang, ekstensifikasinya mungkin perlu lebih hati-hati. Jangan sampai niat kita mencari sumber penerimaan baru malah ujung-ujungnya menekan pertumbuhan sektor lain,” ujarnya.
Perkembangan Penerimaan Pajak
Menurut Yusuf, alternatif lain yang perlu lebih dimaksimalkan untuk menggenjot pemasukan pajak tahun ini adalah mengimplementasikan hasil kesepakatan G20 untuk memberlakukan pertukaran informasi dan data pajak atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Informasi tersebut bisa membantu pemerintah memaksimalkan pungutan pajak yang lebih besar dari kelompok superkaya yang selama ini kerap menyimpan hartanya di negara-negara ”surga pajak” (safe haven)demi menghindari pemajakan.
”Selama ini, pertukaran data dan informasi pajak itu sifatnya resiprokal. Setelah isu ini disepakati di G20, mungkin bisa dicarikan solusi pertukaran data lewat hubungan bilateral, artinya permintaan informasi bisa dilakukan tanpa harus bersifat resiprokal. Potensinya sangat besar,” katanya.
Memang ada banyak ruang ekonomi digital yang bisa dipajaki. Tetapi, dalam kondisi transisi ekonomi seperti sekarang, ekstensifikasinya mungkin perlu lebih hati-hati.
Terus meningkat
Data Kementerian Keuangan, penerimaan dari pungutan pajak di sektor digital terus mengalami peningkatan sejak pertama kali diberlakukan. Untuk pajak transaksi perdagangan digital lewat Pajak Pertambahan Nilai melalui Perdagangan yang Menggunakan Sistem Elektronik (PPN PMSE), pemerintah telah mengantongi pemasukan pajak senilai total Rp 10,11 triliun sejak Juli 2020-Desember 2022.
Jumlahnya terus meningkat dari Rp 730 miliar pada tahun 2020, menjadi Rp 3,9 triliun pada 2021, dan Rp 5,48 triliun pada 2022. Sampai Januari 2023, sudah lebih dari 150 perusahaan platform yang berkedudukan di luar negeri yang ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPN PMSE. Tahun ini, pemerintah berencana menunjuk platform lokapasar dalam negeri untuk ikut memungut pajak.
Pemerintah juga mendapat pemasukan dari pajak transaksi kripto. Sejak diterapkan pada Mei 2022, penerimaan pajak kripto mencapai Rp 246,45 miliar per akhir Desember 2022.
Jumlah itu terdiri dari pemasukan dari Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi aset kripto melalui penyelenggara perdagangan sistem elektronik (PPMSE) dalam negeri dan penyetoran sendiri senilai Rp 117,44 miliar dan setoran PPN dalam negeri atas pemungutan oleh non-bendaharawan senilai Rp 129,01 miliar.
Tarif yang diberlakukan adalah PPh final sebesar 0,1 persen dan PPN sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi aset kripto di pedagang yang terdaftar. Tarif pajak untuk pedagang kripto yang belum terdaftar lebih besar lagi, yakni 0,2 persen tarif PPh dan 0,22 persen tarif PPN.
Penerimaan dari pungutan pajak di sektor digital terus mengalami peningkatan sejak pertama kali diberlakukan.
Mengkaji
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, pemerintah telah menerima surat permintaan dari pelaku industri kripto agar tarif pajak kripto diturunkan. Menurut dia, tarif terhadap industri kripto sebenarnya sudah disetarakan dengan tarif pemajakan di sektor perdagangan lain.
Tarif PPh 0,1 persen, misalnya, disamakan dengan tarif pajak yang dikenakan terhadap pengalihan saham di bursa. Sementara, tarif PPN 0,11 persen juga dinilai sudah wajar, yakni seperseratus dari tarif normal PPN yang sebesar 11 persen.
”Kami dalam menyusun ini telah mencoba melihat ketersebandingannya dengan sektor lain. Kalau masalah harga (kripto) yang lagi turun, sebenarnya sama saja dengan saham yang juga harganya kadang-kadang bisa turun. Tapi, ini sedang terus kami diskusikan dengan pelaku kripto,” ujar Suryo.
Sementara itu, terkait penunjukan platform lokapasar dalam negeri untuk ikut memungut PPN dalam transaksi jual beli secara digital, pemerintah masih akan mempertimbangkannya. Meski UU HPP dan peraturan turunannya telah memungkinkan penunjukan tersebut dilakukan tahun ini, tidak hanya ke perusahaan luar negeri tetapi juga dalam negeri, Suryo mengatakan, hal itu masih diteliti.
”Ini masih kami teliti kira-kira seperti apa kemungkinannya. Kalau ditanya apakah penunjukan sudah dimulai (untuk platform dalam negeri), memang sudah ada, tapi baru untuk platform Bela Pengadaan untuk belanja pemerintah. Kalau untuk transaksi umum sedang kami pikirkan,” paparnya.