Dalam perdagangan karbon, pembangkit defisit membeli emisi dari pembangkit surplus. Dari 99 PLTU, ada 500.000 ton CO2e emisi yang akan diperdagangkan atau yang surplus pada 2023, dari total potensi 20 juta ton CO2e.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Energi Sumber Daya Mineral meluncurkan skema perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik sebagai upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Untuk tahap I pada 2023, perdagangan karbon secara langsung dilakukan oleh 99 pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batubara dari 42 perusahaan.
Sebanyak 99 PLTU itu berkapasitas terpasang 33,6 gigawatt (GW) terhubung ke jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). PLTU tersebut menjadi peserta perdagangan karbon setelah Kementerian ESDM menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Adapun perdagangan tidak boleh dilakukan di antara entitas (perusahaan) yang sama.
Pelaksanaan itu tak terlepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional. Lalu, Peraturan Menteri ESDM No 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Listrik.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM M Priharto Dwinugroho, di sela-sela peluncuran perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik, di Jakarta, Rabu (22/2/2023), mengatakan, setiap pembangkit memiliki nilai batas atas (cap) emisi yang berbeda-beda dan telah ditentukan.
Dalam pelaksanaannya, pembangkit dengan emisi di atas cap berarti defisit, sedangkan pembangkit dengan emisi di bawah cap berarti surplus. Dalam perdagangan karbon, pembangkit defisit membeli emisi dari pembangkit surplus. Dari 99 PLTU, ada 500.000 ton CO2 ekuivalen (CO2e) emisi yang akan diperdagangkan atau yang surplus pada 2023, dari total potensi 20 juta ton CO2e.
”Jadi, 500.000 ton CO2e itu yang nanti diiperebutkan. Bagi yang tidak kebagian, bisa membeli sertifikat pengurangan emisi (SPE) GRK, sebagai offset (perimbangan karbon). Jadi, itu sebagai pilihan di samping perdagangan langsung antar-PTLU tadi. Sisa surplus emisi dapat diperdagangkan pada tahun berikutnya, paling lama dua tahun,” ujar Dwinugroho.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu menuturkan, pembangkit defisit membeli emisi kepada pembangkit surplus berdasarkan harga pasar. Dari kajian, rentang harganya ialah 2-18 dollar AS per ton CO2e. ”Jadi, ini kita dorong dulu. Kalau sudah berjalan, nanti akan ada evaluasi,” katanya.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik Kementerian ESDM, pelaksanaan perdagangan karbon dilakukan dalam tiga fase. Fase pertama ialah 2023-2024, fase kedua 2025-2027, dan fase ketiga 2027-2030. Sementara fase setelah tahun 2030 akan dilaksanakan sesuai dengan target pengendalian emisi GRK sektor energi.
Pada Rabu, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) antara Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM dan Bursa Efek Indonesia. ”Kami berharap dukungan infrastuktur di bursa dalam perdagangan karbon dapat dipercepat. Kami dibantu, baik untuk (perdagangan) dalam negeri maupun luar negeri,” ucap Jisman.
Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Marjaka mengemukakan, secara nasional, subsektor pembangkit listrik/PLTU (sektor energi) menjadi yang pertama memulai perdagangan karbon. Pihaknya mengapresiasi dan nantinya disusul sektor-sektor lainnya.
”Ini maju, sektor yang lain mengantre. Di antaranya sektor FOLU (Forestry and Other Land Uses), lalu setahu saya di daerah ada 3-4 perusahaan yang siap untuk itu. Kemudian sektor agrokultur. Jadi, ada sequence (rangkaian) yang sedang bergerak bersama ke vektor (arah) yang sama. Namun, memang levelnya beda-beda. Semua berproses,” ujar Wahyu.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan, yang selama ini ditunggu ialah batas atas ditetapkan. Kini, dengan sudah ditetapkannya batas atas itu, perdagangan karbon akan dilihat ke depannya. ”Itu bisa jadi peluang juga karena sejumlah upaya untuk menurunkan emisi ini ada nilai tambahnya,” ucapnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menambahkan, carbon pricing ialah salah satu kebijakan yang, antara lain, untuk meningkatkan efisiensi energi, mengurangi emisi karbon. Juga menjadi sumber pendapatan bagi perusahaan dan pemerintah.
Merujuk laporan Bank Dunia, imbuh Arifin, pada 2022, pendapatan global dari carbon pricing meningkat hampir 60 persen dibandingkan dengan 2021 atau menjadi sekitar 84 miliar dollar AS. Hal itu diyakini dapat mendukung ekonomi berkelanjutan hingga membiayai reformasi fiskal. Namun, terdapat tantangan cukup menarik di tengah inflasi dan tingginya harga energi.
Bagaimanapun, perdagangan karbon di Indonesia perlu dimulai, dengan diawali dari subsektor pembangkit listrik. ”Dari peta jalan, perdagangan karbon pada pembangkit listrik ini berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca lebih dari 36 juta ton CO2e pada 2030. Ke depan, juga akan diterapkan pada (jenis) pembangkit listrik lain selain PLTU batubara,” kata Arifin.