Pajak Karbon Mesti Terintegrasi dengan Perdagangan Karbon
Pajak karbon yang seharusnya diterapkan sejak 2022, diperlukan untuk memitigasi perubahan iklim. Apalagi, dalam G20 Presidensi Indonesia diteguhkan bahwa Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
Β·5 menit baca
KRISTIAN OKA PRASETYADI
Petugas meninjau salah satu cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sulut 2 atau yang lebih dikenal dengan PLTU Amurang di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS - Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon atau NEK, melalui skema perdagangan karbon dan pajak karbon, penting dalam mendukung pencapaian target emisi nol bersih 2060. Kalangan pengamat pun menilai skema-skema itu seharusnya menjadi satu kesatuan. Namun, saat ini penerapan pajak karbon masih ditunda dengan berbagai pertimbangan.
Regulasi terbaru terkait perdagangan karbon diperuntukkan pada subsektor pembangkit tenaga listrik. Regulasi itu adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Listrik ditetapkan pada 20 Desember 2022 dan diundangkan 27 Desember 2022.
Peraturan tersebut mengatur antara lain penetapan persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca (GRK) pembangkit listrik dan perdagangan karbon. Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional.
Pakar energi dari Pusat Studi Energi (PSE) Univesitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Guru Besar bidang Teknik Mesin, Fakultas Teknik UGM Deendarlianto mengatakan, perdagangan dan pajak karbon penting untuk migrasi dari energi fosil ke energi terbarukan. Apalagi ada target besar dan ambisius yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional.
Target itu antara lain porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. "Sementara dalam sistem kelistrikan kita saat ini, 60 persen (sumber energi primer) dari batubara. Jika tidak ada perdagangan karbon dan pajak karbon, orang tidak mau migrasi dari batubara ke energi terbarukan," ucap Deendarlianto, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (12/1/2023)
Di samping itu, konflik bersenjata Rusia-Ukraina juga tidak membuat negara-negara maju menunda rencana capaian emisi nol bersih (net zero emission/NZE). Indonesia pun demikian. Dengan demikian, regulasi-regulasi yang mendorong perdagangan karbon dan pajak karbon diharapkan bisa mempercepat migrasi sehingga produk yang dihasilkan lebih hijau dan lebih diterima dalam perdagangan internasional.
Menurut Deendarlianto, semestinya perdagangan karbon dan pajak karbon menjadi kesatuan. "Namun, mungkin pemerintah memiliki skenario lain, sehingga perdagangan karbon dulu, baru kemudian pajak karbon," ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya, Gigih Prihantono, menuturkan, pengurangan emisi pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan berperan terhadap pengurangan emisi nasional. Namun, menurutnya, tidak hanya skema transfer kuota (antar-PLTU), tetapi pajak karbon pada PLTU pun perlu segera.
Menurutnya, pajak karbon (carbon tax), perdagangan karbon (carbon trading), dan pengimbangan karbon (carbon offset) seharusnya jadi satu kesatuan. "Jadi, perlu segera ditentukan ambang batasannya dan kalau karbon yang diproduksi melebihi batas, maka dikenakan pajak. Terpenting lagi, itu untuk terus mencari teknologi yang lebih hijau," kata Gigih.
Ia menambahkan, pajak karbon, yang seharusnya dilaksanakan sejak 2022 tetapi ditunda, diperlukan sebagai upaya memitigasi perubahan iklim. Apalagi, dalam G20 Presidensi Indonesia pada November 2022 lalu, juga diteguhkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. "Dana dari pajak karbon, nantinya untuk green economy itu sendiri," lanjutnya.
Batas atas
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 16/2022 disebutkan, penyelenggaraan NEK subsektor pembangkit tenaga listrik meliputi antara lain penetapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Gas Rumah Kaca (PTBAE); PTBAE Pelaku Usaha (PTBAE-PU); perdagangan karbon; penyusunan laporan emisi GRK pembangkit tenaga listrik; dan evaluasi perdagangan karbon dan pelelangan PTBAE-PU.
Adapun PTBAE ditetapkan untuk setiap jenis pembangkit tenaga listrik berdasarkan baseline emisi GRK, target nationally determined contribution (NDC), hasil inventarisasi emisi GRK, dan waktu pencapaian target NDC. Semuanya pada subsesktor pembangkit tenaga listrik. Adapun PTBAE terdiri dari tiga fase dan fase kesatu hanya berlaku untuk PLTU.
Penetapan PTBAE fase kesatu terdiri dari dua poin. Pertama, PLTU yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), yang ditetapkan paling lambat 20 hari kerja terhitung sejak peraturan diundangkan. Kedua, PLTU di luar wilayah PLN dan/atau untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri, ditetapkan paling lambat 31 Desember 2024.
Sementara itu, untuk keperluan perdagangan karbon, Menteri melalui Direktur Jenderal menetapkan PTBAE-PU untuk setiap unit pembangkit tenaga listrik dengan mempertimbangkan antara lain PTBAE, data intensitas emisi GRK rata-rata, dan data emisi GRK rata-rata. Pelaku usaha wajib melakukan perdagangan karbon setelah mendapat PTBAE-PU.
Dalam peraturan itu juga tertuang penghitungan PTBAE-PU untuk setiap unit pembangkit tenaga listrik. Adapun alokasi PTBAE-PU untuk PLTU pada 2023 diberikan 100 persen. Sementara setelah 2023, diberikan seuai dengan hasil transaksi perdagangan karbon 1 tahun sebelumnya oleh masing-masing PLTU. Untuk hasil transaksi lebih atau sama dengan 85 persen, alokasi sesuai transaksi, sedangkan jika kurang dari 85 persen, maka alokasinya 85 persen.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, saat dikonfirmasi mengenai yang disiapkan pemerintah pascadiundangkannya Permen No 16/2022 itu, termasuk kuota emisi GRK, hingga Kamis (12/1/2023) malam belum memberi respons.
Akivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing dalam hal ini cangkang sawit yang besar. KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 11-10-2021
Proyek percontohan
Sebelumnya, terkait rencana perdagangan karbon, Menteri ESDM Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat (6/1/2023), mengatakan, saat ini, cap and trade sedang diuji coba. "Pilot (proyek percontohan)-nya dulu. Sudah mulai berjalan, tetapi baru beberapa unit skala kecil (PLTU). Ini kan uji coba untuk ke depan akan diberlakukan. (Nanti) kami akan duduk bersama," kata Arifin.
Sebelum Permen ESDM No 16/2022, juga telah terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan NEK. Peraturan menteri ini diundangkan pada 20 Oktober 2022. (Kompas, 1/11/2022)
Sementara mengenai pajak karbon, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Abdurohman, menuturkan, pemerintah sedang mengkaji berbagai instrumen fiskal yang dibutuhkan untuk mendorong transisi energi secara bertahap agar tidak terlalu mendistorsi kondisi pasar dan merugikan publik. (Kompas, 9/12/2022).
Pada 2022, pemerintah, melalui Kementerian Keuangan sejatinya menjadwalkan pemberlakuan pajak karbon per Juli 2022. Namun, lantaran dirasa masih membutuhkan waktu, penerapan pajak karbon kembali ditunda.