Konsolidasi Fiskal Bisa Gagal jika Kuota Subsidi BBM Jebol
Skema pemberian subsidi BBM yang masih terbuka lebar dan tidak terarah berpotensi membuat kuota subsidi BBM melonjak sewaktu-waktu. Kapasitas APBN belum tentu mampu menahan jika terjadi lonjakan harga dan kuota.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah mengendalikan defisit fiskal di bawah 3 persen tahun ini bisa gagal tercapai jika kuota bahan bakar minyak bersubsidi melonjak. Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 untuk membatasi kriteria konsumen BBM bersubsidi diharapkan menjadi transisi awal menuju reformasi subsidi energi yang lebih terarah dan tepat sasaran.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, tantangan kebijakan subsidi energi tahun ini bisa lebih berat di tengah fluktuasi harga minyak dunia, ketegangan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina yang terus berlanjut, dan langkah konsolidasi fiskal untuk menekan defisit APBN di bawah 3 persen.
”Kita beruntung tiga tahun terakhir ini kondisi fiskal masih cukup fleksibel untuk meredam guncangan harga energi. Namun, bagaimana kalau ke depan harga minyak melonjak di luar prediksi, sementara APBN kita tidak sanggup menahannya? Risikonya bisa semakin besar,” kata Abra dalam diskusi daring ”Upaya Menjinakkan Bom Waktu APBN” yang diadakan Indef, Selasa (14/2/2023).
Dalam APBN 2023, pemerintah memasang asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) sebesar 90 dollar AS per barel, dengan asumsi harga komoditas di tahun 2023 akan melandai akibat prospek pertumbuhan ekonomi global yang melemah. Selain itu, pemerintah memasang asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.800 per dollar AS.
Meski demikian, eskalasi perang Rusia-Ukraina serta ekses perang sanksi antara blok negara-negara G7 dan Rusia masih menjadi ancaman terhadap lonjakan harga komoditas energi global. Ketidakpastian itu mendorong inflasi di negara-negara maju, yang disikapi lewat kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral mereka, yang akhirnya melemahkan nilai tukar mata uang negara berkembang seperti Indonesia.
Kendati sekarang harga minyak dunia masih di kisaran 80 dollar AS per barel, SKK Migas memprediksi, harga minyak tahun ini bakal tetap tinggi hingga menembus 110 dollar AS per barel. ”Tetap ada risiko yang harus kita antisipasi jika kondisi harga minyak dan pelemahan rupiah ternyata jauh di atas asumsi APBN 2023, sementara konsumsi BBM bersubsidi trennya terus meningkat,” kata Abra.
Skema pemberian subsidi BBM yang sampai sekarang masih terbuka lebar dan tidak terarah (targeted) berpotensi membuat kuota subsidi BBM melonjak sewaktu-waktu. Apalagi, trennya, terjadi pergeseran dari konsumen BBM non-subsidi ke subsidi. ”Kalau tidak ada pembatasan konsumen, shifting (peralihan) konsumen ini akan terus terjadi dan kuota BBM bersubsidi melonjak,” ujarnya.
Namun, bagaimana kalau ke depan harga minyak melonjak di luar prediksi, sementara APBN kita tidak sanggup menahannya?
Simulasi
Indef mengkaji sejumlah simulasi untuk mengidentifikasi risiko beban anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini. Berbagai simulasi itu menunjukkan, meskipun asumsi ICP dan kurs nilai tukar rupiah pada tahun ini sama seperti asumsi di APBN 2023, defisit fiskal akan tetap melebar di atas 3 persen jika terjadi lonjakan kuota BBM bersubsidi.
Sebagai contoh, jika terjadi kelebihan kuota sebesar 12,8 persen untuk solar dan 27,8 persen untuk pertalite seperti yang terjadi tahun lalu, defisit APBN berpotensi melebar hingga 3,09 persen terhadap PDB meskipun asumsi ICP dan kurs nilai tukar masih sesuai prediksi.
”Ini jadi alarm kita bersama bahwa meskipun ICP dan kursnya tetap sesuai dengan prediksi di APBN pun, jika terjadi lonjakan kuota BBM bersubsidi, belum tentu APBN kita sanggup meredamnya,” kata Abra.
Sementara, apabila harga ICP dan kurs rupiah tahun ini ternyata melampaui asumsi, pemerintah dapat meredam defisit fiskal dengan cara membatasi kuota BBM bersubsidi. Salah satu simulasi menunjukkan, jika ICP menyentuh 100 dollar per barrel dan kurs rupiah mencapai Rp 15.000 per dollar AS, tetapi kuota BBM bersubsidi bisa dibatasi hingga 10 persen, defisit APBN bisa turun menjadi 2,98 persen.
Abra mengatakan, untuk jangka menengah-panjang, pemerintah diharapkan bisa melanjutkan reformasi subsidi energi dengan mengubah mekanisme pemberian subsidi dari sebelumnya terbuka menjadi tertutup dan lebih tepat sasaran.
Defisit fiskal akan tetap melebar di atas 3 persen jika terjadi lonjakan kuota BBM bersubsidi.
Meski demikian, revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang saat ini sedang dilakukan Kementerian ESDM bisa menjadi instrumen awal untuk mendorong transisi menuju reformasi tersebut. Lewat revisi Perpres No 191/2014, pemerintah berencana membatasi kriteria konsumen pengguna BBM bersubsidi agar lebih tepat sasaran.
”Ini jadi ujian, sejauh mana nanti revisi Perpres No 191/2014 bisa efektif mengurangi kuota itu. Meski yang paling fundamental sebenarnya bukan merevisi perpres, melainkan melakukan transformasi subsidi energi dari mekanisme pemberian subsidi terbuka saat ini menjadi tertutup (targeted),” tuturnya.
Momentum
Anggota Komite BPH Migas, Abdul Halim, mengatakan, implementasi kebijakan baru penyaluran subsidi BBM sesuai revisi Perpres No 191/2014 akan melihat momentum. Ia mengakui, tahun ini akan sulit mengambil kebijakan strategis yang besar seperti mengubah penyaluran subsidi BBM. ”Ini tahun politik. Susah membuat keputusan. Kita pahamlah, bisa digodok ke mana-mana,” kata Abdul.
Ada dua opsi penerapan kebijakan subsidi BBM yang baru itu. Pertama, pada 1 Maret 2023 sebelum Ramadhan. Kedua, 1 Mei 2023 atau setelah Lebaran. Kedua opsi itu sama-sama bisa menurunkan volume konsumsi BBM bersubsidi dan beban anggaran yang perlu ditanggung negara.
Ini tahun politik. Susah membuat keputusan. Kita pahamlah, bisa digodok ke mana-mana.
”Kalau harga ICP dan kurs tentu fluktuatif, kira-kira kita bisa menghemat anggaran Rp 18,8 triliun sampai Rp 23,5 triliun untuk pertalite dan Rp 6 triliun-Rp 7 triliun untuk solar,” kata Abdul.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan APBN di Badan Kebijakan FiskalKementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, reformasi kebijakan subsidi BBM harus tetap memperhitungkan tren pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat.
”Momentumnya harus tepat, harus dihitung betul secara ekonomi dan sosial. Reformasi subsidi pada dasarnya pasti tetap berjalan, tetapi kita lihat momentum. Kalau semua kondisinya memungkinkan, reformasi jalan. Kalau tidak, kita cari momentum lain yang tepat,” kata Wahyu.
Ia meyakini kondisi fiskal pada tahun ini masih aman dan cukup fleksibel untuk mengantisipasi potensi lonjakan harga minyak mentah dunia dan pelemahan nilai tukar tahun ini. Anggaran alokasi subsidi dan kompensasi energi pada APBN 2023 sebesar Rp 339,6 triliun dinilai sudah mencukupi.
”Sepertinya trennya harga akan menurun karena ekonomi global yang melambat. Kalaupun terjadi lonjakan harga, kita sudah sediakan buffer kas yang memadai sekaligus payung hukum untuk menjaga fleksibilitas penggunaan APBN tahun ini,” ujarnya.