Kenaikan harga BBM tak hanya memberatkan masyarakat dari kalangan menengah ke bawah, tapi juga menengah ke atas. Pemerintah diharapkan mempertahankan subsidi BBM dan memperbaiki mekanismenya agar lebih tepat sasaran.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Daftar harga baru BBM tertera di salah satu SPBU Pertamina di Jakarta Barat, Senin (5/9/2022). Pemerintah mulai Sabtu (3/9/2022) resmi menaikkan harga BBM jenis pertalite, solar bersubsidi, dan pertamax. Kenaikan harga BBM perlu diikuti rencana jelas mengenai reformasi tata kelola BBM ke depan.
Langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak atau BBM mengirimkan efek kejut bagi publik. Kebijakan ini menambah beban ekonomi masyarakat yang sedang bersiap bangkit dari pandemi. Pemberian bantuan sosial dan perbaikan skema subsidi BBM menjadi harapan publik dalam menyikapi tekanan harga BBM.
Efek kejut ini tidak lepas dari kekhawatiran masyarakat akan naiknya harga barang kebutuhan pokok seiring dengan kenaikan harga BBM. Tiga perempat responden dari jajak pendapat Kompas yang digelar pada awal September 2022 menyebutkan, kenaikan harga kebutuhan pokok dan melonjaknya kemiskinan menjadi dua hal yang paling dikhawatirkan terjadi akibat kenaikan harga BBM.
Bagaimanapun dampak dari kenaikan harga BBM tidak hanya terasa saat masyarakat membeli bahan bakar di SPBU. Kenaikan harga juga akan berimbas pada naiknya biaya transportasi publik dan juga harga kebutuhan pokok. Terlebih lagi, Indonesia juga tengah mengalami tren kenaikan inflasi.
Sementara di tingkat yang lebih luas, langkah pemerintah ini juga dikhawatirkan akan memukul pelaku usaha. Sebagian responden jajak pendapat ini juga menyatakan kekhawatiran bahwa kenaikan harga BBM akan membuat banyak pelaku UMKM bangkrut. Tentu ini akan berimbas pula pada potensi hilangnya pendapatan pekerja di sektor UMKM.
Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan. Pasalnya, kenaikan harga akibat pengurangan subsidi BBM juga akan memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Sebanyak 60 persen responden berniat akan lebih menghemat pengeluaran pembelian BBM.
Pendek kata, sebagian besar responden dalam jajak pendapat ini mengaku akan lebih mengencangkan ikat pinggang setelah harga BBM dan kebutuhan pokok naik. Bisa dibayangkan, jika banyak masyarakat menahan konsumsi, hal itu tentu akan memengaruhi perputaran ekonomi. Apabila ini yang terjadi, pada akhirnya pemulihan ekonomi pascapandemi akan melambat.
Perlambatan sebenarnya lebih banyak disumbang oleh perilaku ekonomi masyarakat menengah bawah. Hasil jajak pendapat memotret, perubahan perilaku konsumsi akibat kenaikan harga BBM ini sebagian besar diutarakan oleh kelompok responden dari kelas ekonomi menengah dan bawah.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat pada golongan yang lebih mapan cenderung tetap mempertahankan gaya hidupnya. Tak ayal, hal ini kian menunjukkan kebijakan menaikkan harga BBM akan semakin menyudutkan posisi masyarakat yang masih rentan secara ekonomi.
Subsidi
Tidak heran jika kemudian di tengah kehidupan yang makin berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok ini, mayoritas responden (93 persen) masih berharap subsidi BBM dari pemerintah. Suara yang masih menginginkan subsidi BBM ini sebagian besar datang dari responden kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini wajar karena mayoritas masyarakat merasakan kenaikan harga BBM ini memberatkan kehidupan mereka.
Meski begitu, bukan berarti kebijakan kenaikan harga BBM ini ditanggapi lebih ringan oleh kalangan masyarakat yang lebih mampu. Pasalnya, jajak pendapat juga merekam, mayoritas responden (94 persen) dari golongan masyarakat di kelas ekonomi menengah ke atas juga mengekspresikan suara serupa.
Mayoritas responden (93 persen) masih berharap subsidi BBM dari pemerintah. Suara yang masih menginginkan subsidi BBM ini sebagian besar datang dari responden kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Artinya, asumsi dasar bahwa kenaikan harga BBM akan memberatkan kehidupan masyarakat dari semua kelompok sosial ekonomi terbukti. Meskipun kelompok masyarakat menengah ke bawah lebih berat merasakan dampaknya.
Untuk itulah, jajak pendapat Litbang Kompas juga menangkap harapan masyarakat agar subsidi pemerintah tetap bisa dipertahankan dengan memperbaiki bentuk dan mekanismenya. Harus diakui, subsidi BBM selama ini masih jauh dari ideal. Salah satu alasannya ialah karena kebijakan ini dilihat belum tepat sasaran.
Kesimpulan ini muncul di jajak pendapat. Lebih kurang 70 persen responden merasa demikian, bahkan sebagian dari mereka menyatakan skema subsidi BBM selama ini sangat tidak tepat sasaran.
Tak ayal, muncul harapan agar pemerintah lebih memperbaiki model subsidi yang diberikan. Separuh lebih responden menilai subsidi masih dirindukan masyarakat untuk menopang kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka berharap skema subsidi BBM diperbaiki agar lebih tepat sasaran.
Indikasi subsidi BBM yang kurang tepat sasaran ini terlihat dari jenis BBM yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Jajak pendapat merekam, hampir tiga perempat responden mengaku biasa menggunakan BBM jenis pertalite yang selama ini disubsidi oleh negara.
Menariknya, jika ditelusuri lebih lanjut dari latar belakang sosial ekonominya, responden yang mengaku pengguna pertalite ini tidak hanya berasal dari masyarakat ekonomi menengah bawah. Tidak sedikit dari mereka yang menggunakan pertalite juga berasal dari kelompok ekonomi menengah atas. Tentu hal ini tidak ideal karena subsidi itu semangatnya untuk membantu yang kurang mampu.
Kebijakan lanjutan
Bagaimanapun harga BBM sudah naik. Kebijakan pengurangan subsidi BBM telah dilaksanakan. Namun, bukan berarti diskursus soal harga BBM harus usai. Justru kebijakan setelah kenaikan harga ini mesti terus dikawal.
Salah satunya ialah program bantuan sosial untuk menopang masyarakat yang kehidupannya berpotensi terganggu dengan kenaikan harga BBM. Skema bantuan sosial dari pemerintah menjadi kata kunci yang juga diharapkan publik. Jajak pendapat Litbang Kompas mencatat, skema bantuan sosial bisa menjadi jalan untuk mengoptimalkan anggaran negara yang sebelumnya untuk subsidi BBM. Hal ini disampaikan lebih kurang 45,8 persen responden.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Seorang warga tengah mengambil BLT BBM di Kantor Pos Besar Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (8/9/2022). Total ada sekitar 39.000 keluarga penerima manfaat di daerah tersebut.
Selain untuk jaring pengaman sosial, tidak sedikit dari publik yang berharap pemerintah bisa menggenjot pembangunan fasilitas umum esensial, seperti rumah sakit dan sekolah. Lebih lanjut, masyarakat juga menginginkan anggaran subsidi BBM direalokasikan untuk memperbaiki akses serta layanan transportasi umum.
Pada akhirnya, ibarat menelan pil pahit, masyarakat terpaksa harus menerima keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Hanya dengan besarnya beban ekonomi yang dirasakan, publik tetap berharap pemerintah masih mempertahankan subsidi. Tentunya subsidi dengan skema yang diperbaiki agar tepat sasaran.
Bagaimanapun langkah pemerintah tidak bisa hanya berhenti pada pengurangan beban negara terhadap subsidi. Setidaknya ada dua isu penting yang harus segera dituntaskan pemerintah. Salah satunya menjamin perlindungan sosial untuk meringankan beban masyarakat yang paling terdampak dengan kenaikan harga BBM ini. Selain itu, pemerintah juga perlu menjawab harapan publik akan hadirnya subsidi yang tepat sasaran, khususnya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.