RI-UE Berseteru Lagi di WTO, Kali Ini soal Baja Nirkarat
RI menyengketakan pengenaan bea masuk penyeimbang dan antidumping UE atas baja nirkarat RI ke WTO. Jika dua bea masuk itu dikenakan, eksportir baja RI harus menanggung total bea masuk sebesar 31,5-56,3 persen.
JAKARTA, KOMPAS —Indonesia dan Uni Eropa berseteru lagi di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Kali ini bukan soal nikel dan minyak kelapa sawit mentah, melainkan terkait baja nirkarat. Hal itu menyusul permintaan konsultasi Indonesia ke WTO atas pengenaan bea masuk penyeimbang dan antidumping baja nirkarat oleh Uni Eropa.
Pada 15 Maret 2022, Komisi Uni Eropa (UE) mengenakan bea masuk penyeimbang (BMP) atau countervailing duty atas lempeng baja canai dingin nirkarat (stainless steel cold-rolled flat/SSCRF) India dan Indonesia. BMP yang dikenakan ke RI sebesar 21 persen dan India 7,5 persen.
Sebelumnya, pada November 2021, UE mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) atas produk tersebut sebesar 10,2-35,3 persen kepada RI dan India. Dengan demikian, total BMP dan BMAD yang dikenakan kepada RI mencapai 31,5-56,3 persen.
RI dan UE telah bertemu membahas persoalan itu beberapa kali pada tahun lalu ataupun awal tahun ini. Dalam komunikasi terakhir dengan UE pada 24 Januari 2023, RI memutuskan membawa kasus itu ke Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO.
Dua hari setelahnya, WTO memublikasikan permintaan konsultasi kasus tersebut ke seluruh anggota sebagai tahap awal pembahasan di tingkat DSB. Hal itu tertera dalam Surat Notifikasi WTO Nomor WT/DS616/1, G/L/1479G/SCM/D135/1, G/ADP/D142/1 tertangal 26 Januari 2023.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, Senin (30/1/2022), mengatakan, Indonesia telah mengajukan permohonan konsultasi kasus penggenaan BMP dan BMAD baja canai dingin nirkarat ke WTO. Hal itu dalam rangka melindungi pelaku industri produk itu dari hambatan perdagangan UE.
”Pengenaan BMP dan BMAD atas produk itu oleh UE juga tidak sejalan dengan ketentuan WTO,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
UE mengenakan BMP dan BMAD lempeng baja canai dingin nirkarat RI. Total kedua bea masuk yang dikenakan ke RI itu mencapai 31,5-56,3 persen.
Dalam surat notifikasi WTO itu terdapat lima poin keberatan RI atas tudingan UE menyangkut subsidi dan satu poin terkait dumping. Indonesia menilai pengenaan BMP dan BMAD itu tidak sejalan dengan Perjanjian Tindakan Subsidi dan Penyeimbang (SCM Agreement) dan Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) 1994 WTO.
Terkait tudingan subsidi, dua poin keberatan RI adalah menyangkut pemberian dana hibah Pemerintah China kepada perusahaan tertentu untuk mengembangkan industri besi baja di Indonesia dan penyediaan bijih nikel kepada perusahaan besi baja tersebut. Indonesia menilai tudingan UE tentang subsidi kepada perusahaan tertentu itu tidak menunjukkan kekhususan yang disebut dalam Pasal 1.1, 2.1, dan 2.2 Perjanjian SCM.
Dalam Pasal 1.1, misalnya, suatu subsidi dianggap ada jika terdapat suatu bentuk pendapatan atau dukungan harga atas produk itu berdasarkan Pasal XVI GATT 1994. Sementara terkait penyediaan bijih nikel bagi perusahaan besi baja, RI meminta UE membuktikannya secara spesifik dan jelas sesuai Pasal 1.2, 2.1, 2.2, dan 2.4 Perjanjian SCM.
Adapun terkait tudingan antidumping, UE menilai ada perbedaan antara harga baja nirkarat yang diekspor dengan harga normal. Indonesia berpendapat, dalam penghitungan itu, UE menggunakan formula tersendiri dan tidak mengacu pada Pasal 2.4 Perjanjian Antidumping. Dalam pasal itu disebutkan, perbandingan harga harus dilakukan pada tingkat perdagangan yang sama, yakni pada tingkat pabrik, dan sehubungan dengan penjualan yang dilakukan sedekat mungkin pada waktu yang sama.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, tren ekspor besi baja Indonesia ke dunia dalam lima tahun terakhir (2017-2021) tumbuh 53,84 persen. Pada 2017, nilai ekpsornya 3,34 miliar dollar AS dan pada 2021 meningkat drastis menjadi 20,93 miliar dollar AS.
Pada Januari-Juni 2022, nilai ekspornya 14,48 miliar dollar AS, tumbuh 64,88 persen secara tahunan. China mendominasi pasar tujuan ekspor besi baja Indonesia dengan kontribusi sebesar 64,17 persen dari total nilai ekspor besi baja pada semester I-2022. Adapun UE baru berkontribusi sebesar 4,87 persen. Negara di kawasan tersebut yang masuk 20 negara utama tujuan ekspor besi baja RI adalah Belgia, Spanyol, dan Belanda.
Kondisi UE
Perang Rusia-Ukraina berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian UE. Komisi UE memperkirakan ekonomi UE pada 2022 dan 2023 tumbuh masing-masing 3,2 persen dan 0,3 persen. Adapun Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan ekonomi UE pada tahun ini hanya tumbuh masing-masing 0 persen dan 0,5 persen.
Hal itu terlihat dari melemahnya kinerja sektor industri di kawasan ekonomi tersebut. Prospek pasar baja yang memburuk sepanjang paruh kedua 2022 bakal berlanjut hingga 2023. Asosiasi Baja Eropa (EUROFER) memperkirakan permintaan baja di pasar dalam dan luar negeri terkontraksi atau tumbuh minus 3,5 persen pada 2022 dan minus 1,9 persen pada 2023.
Baca Juga: ”Benteng” Karbon Uni Eropa Hadang Besi Baja RI
Sepanjang Januari-Agustus 2022, ekspor baja UE turun drastis, sedangkan impor baja UE masih tumbuh tinggi. Dalam periode tersebut, ekspor baja UE tumbuh minus 17 persen dengan pasar utama Turki, Inggris, Amerika Serikat, Swiss, dan China. Adapun impor baja UE masih tumbuh 8 persen, terutama dari China, Korea Selatan, Taiwan, dan Turki.
Direktur Jenderal EUROFER Axel Eggert mengatakan, biaya produksi industri baja di kawasan UE naik tinggi lantaran harga energi meroket. Produksi dan ekspor baja turun, sedangkan impor masih relatif bertahan tinggi.
”Jika tindakan perdagangan darurat yang mencerminkan situasi genting dari beberapa industri kritis di Eropa tidak diambil, kami berisiko menuju kehancuran kapasitas industri yang signifikan,” ujarnya melalui siaran pers.
Dengan melihat kondisi itu, EUROFER mendukung langkah Komisi UE menerapkan BMP dan BMAD untuk melindungi industri baja domestik. Selain itu, EUROFER juga menyambut baik putusan WTO yang memenangkan gugatan UE atas larangan ekspor bijih nikel Indonesia.
Jika tindakan perdagangan darurat yang mencerminkan situasi genting dari beberapa industri kritis di Eropa tidak diambil, kami berisiko menuju kehancuran kapasitas industri yang signifikan.
Baca Juga: Argumen WTO dan Kekalahan Nikel RI
Menurut Eggert, nikel merupakan komponen kunci produksi baja tahan karat. Sekitar 55 persen dari baja nirkarat itu mengandung nikel yang meningkatkan ketahanan baja dari korosi.
Selama ini, industri baja nirkarat Indonesia dikembangkan dan dibangun di atas bijih nikel yang tersedia di dalam negeri. Dengan memanfaatkan larangan ekspor bijih nikel yang berlebihan, baja nirkarat Indonesia memiliki keunggulan yang lebih kompetitif.
”Industri baja nirkarat UE menjadi kalah bersaing akibat ekspor besar-besaran Indonesia ke UE dengan harga yang rendah. Padahal, baja nirkarat UE memiliki jejak karbon lima hingga enam kali lebih rendah. Oleh karena itu, penting bagi Komisi UE untuk memastikan kepatuhan Indonesia terhadap terhadap rekomendasi panel WTO,” tuturnya.
RI telah mengajukan banding atas kasus sengketa bijih nikel melawan UE ke Badan Banding (AB) WTO pada 8 Desember 2022. Menurut Djatmiko, RI hanya akan menempuh banding melalui AB WTO dan tidak akan menempuh jalur lain.
Bukan salah RI jika sampai saat ini AB WTO masih vakum. WTO harus mempertanyakan dan menyelesaikan persoalan itu dengan pihak-pihak yang menghambat berfungsinya AB WTO.
”Kebijakan larangan ekspor bijih nikel RI dan hilirisasinya masih akan berjalan. Sebab, masih belum ada keputusan yang mengikat atau inkrahsampai panel AB WTO mengeluarkan keputusan,” katanya.