Regulasi Belum Akomodasi Perubahan
Perkembangan teknologi yang pesat dan cepat menciptakan begitu banyak perubahan di segala sektor. Sayangnya, ragam aturan yang ada belum mampu mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut.
Penyelenggaraan telekomunikasi telah bergeser cepat, dari layanan jasa telepon tetap dan seluler menjadi aneka ragam layanan berbasis internet. Aktivitas bisnisnya pun mengikuti, yang semula hanya penyelenggaraan jaringan penyambung telepon (suara, SMS, data) menjadi bermacam-macam fungsi pertukaran informasi untuk segala sektor industri, kegiatan sosial, dan budaya.
Kemunculan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, lalu hadir Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dinilai belum maksimal menjawab pergeseran penyelenggaraan telekomunikasi.
Salah satu sorotan utama, baik UU Cipta Kerja maupun Perppu No 2/2022, adalah dibolehkannya kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio. Pasal 33 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi mengalami perubahan di UU Cipta Kerja ataupun Perppu No 2/2022. Beberapa perubahan di antaranya adalah pemerintah pusat dapat menetapkan penggunaan bersama spektrum frekuensi radio. Lalu, pemegang perizinan berusaha spektrum frekuensi radio dapat melakukan kerja sama dan pengalihan penggunaan frekuensi radio.
Dalam sosialisasi Perppu No 2/2022, pekan lalu, di Jakarta, Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Denny Setiawan mengatakan, sesuai regulasi itu, kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk telekomunikasi dapat pemakai skema pinjam dan penggabungan. Untuk skema pinjam frekuensi, izin hanya dipegang satu perusahaan telekomunikasi yang akan meminjamkan. Sementara perusahaan yang akan meminjam spektrum frekuensi yang bukan berlatar belakang sektor industri telekomunikasi, harus memperoleh persetujuan dari Kementerian Kominfo.
Baca juga: Operator Telekomunikasi Seluler Mulai Naikkan Harga Layanan
Adapun skema penggabungan spektrum frekuensi mensyaratkan antaroperator telekomunikasi yang akan memakai skema ini memiliki izin pita frekuensi dari pemerintah.
”Kebijakan fleksibilitas penggunaan spektrum frekuensi fokus pada teknologi baru, seperti 5G. Penggelaran 5G memakai lebar pita spektrum frekuensi yang terbatas akan membuat layanan tidak optimal. Akibatnya, layanannya kalah bersaing dengan negara lain,” ujar Denny.
UU Cipta Kerja beserta turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 7 Tahun 2021 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, menegaskan diperbolehkannya hak pengalihan spektrum frekuensi. Operator yang mengajukan permohonan harus menyertakan latar belakang pengalihan, kondisi infrastruktur, proyeksi jaringan ke depan, rencana bisnis, dan analisis pencapaian tujuan.
Baik UU Cipta Kerja maupun Perppu No 2/2022 masih menyebut kebutuhan pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi. Kedua regulasi ini menyisipkan Pasal 34A di UU No 36/1999. Isinya, pemerintah pusat dan daerah memberi kemudahan membangun infrastruktur. Mereka bisa berperan menyediakan fasilitas bersama infrastruktur pasif, seperti gorong-gorong, untuk dipakai penyelenggara telekomunikasi.
Isu tarif layanan jasa telekomunikasi juga diatur dalam UU Cipta Kerja ataupun Perppu No 2/2022. Ketentuan Pasal 28 di UU No 36/1999 diubah di dua regulasi itu, yakni menjadi pemerintah pusat mengeluarkan formula besaran tarif dan dapat menetapkan tarif batas atas dan bawah.
Baca juga: Operator Telekomunikasi Gandeng Usaha Rintisan agar Bisnis Tetap Relevan
Direktur Telekomunikasi Kementerian Kominfo Aju Widya Sari menjelaskan, penetapan tarif batas atas dan tarif batas bawah penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi dapat dilakukan jika ada kondisi yang mengganggu kepentingan masyarakat ataupun persaingan usaha yang tidak sehat. Penetapan tarif ini merupakan tindakan terakhir yang diambil pemerintah.
Ketua Bidang Regulasi, Hukum, dan Kebijakan Telematika (Rekumtel) Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Johny Siswadi, Senin (23/1/2023), di Jakarta, berpendapat, dibukanya peluang kerja sama penggunaan spektrum frekuensi sebenarnya memberikan ruang bagi operator telekomunikasi seluler agar semakin optimal memanfaatkan frekuensi beserta lisensi yang dipegang. Operator yang memegang lisensi izin spektrum frekuensi juga tetap dibebani kewajiban membangun infrastruktur jaringan.
”Kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio bukan bersifat kewajiban. Dengan pemerintah membolehkan kerja sama penggunaan, hal itu sudah tepat untuk mengakomodasi perkembangan teknologi baru,” kata Johny.
Johny menambahkan, hal yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat adalah kajian apakah struktur tarif layanan jasa telekomunikasi yang saat ini ada masih relevan atau tidak. Realitanya, skema bisnis layanan telekomunikasi era sekarang mendekati skema bisnis aplikasi. Kemudian, pelanggan sering kali terpaksa membeli paket yang tampak sangat murah tetapi tidak dibutuhkan.
”Peraturan tarif batas atas dan batas bawah diperlukan untuk mengontrol persaingan di suatu area tertentu agar tetap terjaga persaingan usaha yang sehat. Tarif batas bawah dibutuhkan hadir di wilayah yang persaingannya tinggi sehingga tidak terjadi predatory pricing, sedangkan tarif batas atas harus hadir di wilayah yang tingkat kompetisinya rendah sehingga masyarakat tidak dirugikan,” imbuh Johny.
Kerja sama penggunaan spektrum frekuensi, menurut Senior Research Analyst PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Robertus Hardy, berpotensi menambah aliran pendapatan baru bagi operator yang diperbolehkan membagi frekuensinya untuk digunakan atau disewakan ke operator lain. Sementara pembatasan harga kuota mobile internet atau tarif fixed broadband, menurut dia, sulit diterapkan dengan formula yang adil. Sebab, setiap operator memiliki belanja modal, biaya operasional, dan harga pokok penjualan yang berbeda-beda.
Terkait harga layanan telekomunikasi, laporan analis Moody’s Investor Service terbaru memperkirakan bahwa pada 2023, kompetisi harga akan turun. Para operator telekomunikasi tidak akan banting harga seperti tahun-tahun sebelumnya karena konsolidasi industri terus terjadi. Sektor telekomunikasi di Indonesia diyakini akan memasuki periode yang relatif stabil dan pertumbuhan pendapatan terjadi sejalan konsolidasi pasar.
Baca juga: Kita Belum Bisa Berlari Kencang di Era 5G
Pada tahun ini, Moody’s juga memperkirakan pertumbuhan pendapatan industri telekomunikasi Indonesia sebesar 4-4,5 persen. Pendapatan ini ditopang oleh peningkatan penggunaan data, konsumsi pita lebar, dan rasionalisasi harga yang terjadi karena kompetisi melonggar. Alhasil, penerimaan tersebut akan menggantikan penurunan pendapatan dari sektor layanan suara.
Para operator telekomunikasi saat ini sedang mengalami penurunan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA). Namun, rata-rata marjin perusahaan telekomunikasi Indonesia akan tetap kuat berkisar 48-49 persen dalam dua tahun ke depan. Angka ini turun tipis ketimbang marjin sebesar 50,8 persen pada 2021 dan 48,6 persen hingga September 2022. Secara global, Moody’s menilai, marjin seperti ini masih yang tertinggi.
Konvergensi
Operator telekomunikasi seluler saat ini sedang bersaing untuk melakukan integrasi fixed mobile convergence (FMC) atau penggabungan layanan teknologi seluler dan jaringan tetap telekomunikasi, seperti Wi-Fi.
Andrew Sebastian, analis MNC Sekuritas, mengatakan, sudah ada 73,7 persen populasi yang memperoleh akses internet, tetapi penggunaan jaringan seluler dan jaringan tetap telekomunikasi masih memiliki selisih yang cukup besar.
Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno menyebutkan, situasi saat ini sebagai konvergensi telematika. Inti dari konvergensi dalam pelaksanaannya adalah kolaborasi ekosistem atau berbagi sumber daya, baik frekuensi, internet protocol, perangkat teknologi aktif, maupun pasif. Regulasi di Indonesia seharusnya mengakomodasi perubahan tersebut.
Pada 2000 terbit PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP No 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Pada saat dua PP dibuat, jaringan telekomunikasi nasional masih berbasis logika jaringan telepon yang disebut sambungan/jaringan lokal, jaringan sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), jaringan sambungan langsung internasional (SLI), ditambah dengan sentral gerbang internasional (SGI).
Sepanjang 2010-2015, pergeseran peran dari jaringan telekomunikasi ke aplikasi/platform mencuat. Kemudian, pada kurun 2016 sampai sekarang, perusahaan penyedia aplikasi/platform raksasa global mulai membangun jaringan. Dengan kekuatan finansial yang besar, mereka membangun jaringan kabel laut, kabel darat telekomunikasi, hingga satelit di lingkup global, regional, sampai skala domestik.
”Situasi seperti itu membutuhkan kepastian hukum dan juga kepastian berusaha/bisnis,” kata Sarwoto.
Mastel, lanjut Sarwoto, menyambut positif UU Cipta Kerja ataupun Perppu No 2/2022. Regulasi ini dianggap berusaha menjawab perubahan yang terjadi di ranah telekomunikasi. Mastel sempat memberikan masukan, seperti pembukaan kesempatan pemerintah daerah ikut berusaha menyelenggarakan jaringan tetap. Mastel menyarankan agar pemerintah mengatur kompetisi sehat, terutama menyangkut pungutan penerimaan daerah.
Sesaat setelah UU Cipta Kerja keluar, Mastel sempat merekomendasikan agar penyusunan aturan turunan mengutamakan kepentingan nasional. Penyedia aplikasi/platform dari luar negeri hanya dapat menjalankan usahanya setelah memperoleh izin.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, banyak perubahan terjadi sejak UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi. Akomodasi perubahan dalam UU Cipta Kerja ataupun Perppu No 2/2022 sangat terbatas. Revisi total UU No 36/1999 diperlukan agar telekomunikasi dilihat secara lebih komprehensif dan menjawab tantangan zaman, termasuk masalah konvergensi.
”Pergeseran cepat penyelenggaraan telekomunikasi memerlukan perubahan jenis perizinan hingga model pengawasan persaingan usaha. Pemerataan infrastruktur jaringan tetap perlu jadi perhatian, tetapi tidak bisa lagi tergantung dari operator penyelenggara jaringan sehingga pemerintah harus merumuskan skema yang tepat,” ujarnya.
Baca juga: Konsolidasi Operator Layanan Telekomunikasi Diperlukan