Kita Belum Bisa Berlari Kencang di Era 5G
Tahun 2021 menjadi tonggak penting bagi pasar layanan telekomunikasi karena 5G mulai diperkenalkan secara komersial. Akan tetapi, potensi dan dampak ekonomi dari teknologi akses seluler ini belum bisa diraup maksimal.

Pengunjung mencoba berkomunikasi dengan UU Robot yang dijalankan melalui jaringan 5G saat peluncuran layanan 5G Telkomsel di Jakarta, Kamis (27/5/2021). Telkomsel secara resmi meluncurkan layanan 5G dengan mengusung tema ”5G: Unlock the Futureâ?”.
Sejak pertengahan 2021, layanan telekomunikasi komersial berbasis teknologi akses seluler 5G sudah mulai digelar di Indonesia. Diawali ketika operator telekomunikasi seluler Telkomsel mengantongi Surat Keterangan Laik Operasi (SKLO) 5G dari Kemkominfo pada Mei 2021, disusul Indosat Ooredoo pada Juni 2021. Lantas XL Axiata menerima SKLO 5G pada Agustus 2021.
Layanan komersial 5G ketiga operator ini, sayangnya, hanya bisa diakses terbatas di beberapa kota besar, seperti Jakarta (DKI Jakarta), Solo (Jawa Tengah), dan Batam (Kepulauan Riau). Penyebab utamanya adalah keterbatasan spektrum frekuensi yang dipakai. Sebagai gambaran, XL Axiata dan Indosat Ooredoo memakai lebar pita 20 megahertz (MHz) di spektrum frekuensi 1,8 gigahertz (GHz), sedangkan Telkomsel menggunakan lebar pita 30-50 MHz di spektrum frekuensi 2,3 GHz.
Padahal, menurut asosiasi yang membawahi pelaku industri telekomunikasi dan sektor terkait atau Global System for Mobile Communications Associations (GSMA) dalam laporan ”GSMA Public Policy Position on 5G Spectrum (2018)”, teknologi 5G mempunyai latensi (jeda waktu/penundaan) satu milidetik, kecepatan puncak 10 gigabyte per detik, dan 100 miliar koneksi. Kinerja seperti itu membutuhkan lebar pita yang luas dan spektrum frekuensi yang beragam.
Khusus untuk mendapatkan kecepatan maksimal 5G, misalnya, per operator telekomunikasi seluler butuh lebar pita frekuensi 80 sampai 100 megahertz (MHz) pada jenis pita frekuensi menengah (mid-bands) dan lebar pita frekuensi sekitar 1 gigahertz (GHz) di jenis milimeter wave bands.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa melihat ITS 5G Experience Center saat berlangsung Peluncuran Indosat Ooredoo 5G Services dan ITS 5G Experience Center Powered by Nokia di Gedung Robotika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (16/9/2021).
Ketersediaan spektrum frekuensi memegang peran sentral dalam penggelaran komersial layanan 5G. Dalam konteks Indonesia, terdapat berbagai tantangan yang belum ada jalan keluarnya. Dari sisi operator telekomunikasi seluler, ketiga operator telekomunikasi yang sudah mengantongi SKLO 5G hingga sekarang masih harus membagi alokasi lebar pita frekuensi yang dimiliki untuk menjalankan layanan 2G, 3G, dan 4G.
Di sisi eksternal, migrasi siaran televisi analog ke siaran televisi digital berpotensi menghasilkan dividen digital berupa frekuensi 2 x 45 MHz di spektrum 700 MHz untuk dipakai menggelar 5G. Akan tetapi, migrasi baru tuntas 2 November 2022.
Ketiga operator telekomunikasi yang sudah mengantongi SKLO 5G hingga sekarang masih harus membagi alokasi lebar pita frekuensi yang dimiliki untuk menjalankan layanan 2G, 3G, dan 4G.
Tantangan lainnya, spektrum frekuensi 2,6 GHz masih dipakai oleh satelit S band yang masa izinnya baru selesai tahun 2024. Padahal, ada potensi lebar pita 190 MHz di spektrum frekuensi itu yang bisa dipakai oleh operator telekomunikasi.
Lektor Kepala Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) M Ridwan Effendi saat dihubungi, Senin (20/12/2021), di Jakarta, mengatakan, saat ini spektrum frekuensi yang sudah tersedia, yaitu 26–28 GHz. Meski sangat lebar pitanya, jangkauan sinyal layanan per pemancar sangat kecil, yaitu hanya berkisar radius 200-an meter.
Oleh karena itu, penggunaan spektrum frekuensi tersebut harus dikombinasikan dengan spektrum frekuensi jenis C, seperti 3,3 GHz. Akan tetapi, di Indonesia, keberadaan spektrum frekuensi ini juga masih dipakai satelit.

Presentasi M Ridwan Effendi, Lektor Kepala Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB
Dampak ekonomi
Kemunculan teknologi akses seluler 5G diyakini akan menguntungkan banyak konsumen dan pelaku industri. Teknologi akses seluler ini pun secara tidak langsung bisa meningkatkan produk domestik bruto (PDB). Menurut riset yang dilakukan oleh Qualcomm, selama 15 tahun ke depan atau pada 2035, 5G akan menumbuhkan PDB global sebesar 10,8 persen.
Teknologi akses seluler 5G menjadi kunci pembuka bagi penerapan teknologi baru di berbagai sektor kehidupan, mulai dari perawatan kesehatan yang mendukung kecerdasan buatan/realitas virtual (AR/VR), sistem transportasi cerdas, otomasi pabrik, digitasi pengolaan pertanian, hingga fasilitas kota cerdas yang dikendalikan dari jarak jauh secara real time.
Berdasarkan studi Unlocking 5G Potential for Digital Economy in Indonesia yang dilakukan oleh ITB, kata Ridwan, penggelaran komersial layanan 5G bisa meningkatkan pendapatan per kapita sekitar Rp 9,4 juta.
Pemerintah memegang peran vital dalam penggelaran komersial layanan berteknologi akses seluler 5G, terutama dalam urusan penyediaan spektrum frekuensi. Ronni Nurmal, Head of Network Solutions Ericsson Indonesia dan Timor Leste, berpendapat, seiring dengan semakin matangnya teknologi dan layanan telekomunikasi seluler, semua jenis spektrum frekuensi diperlukan untuk membuka manfaat penuh 5G. Indonesia perlu mempercepat rilis semua spektrum frekuensi, terutama jenis mid band untuk memungkinkan adopsi 5G yang lebih cepat.
”Banyak negara telah mengizinkan biaya spektrum frekuensi yang rendah agar mendorong implementasi 5G yang lebih cepat dan adopsi 5G di semua aspek kehidupan masyarakat,” ujar Ronni.
Penggelaran komersial layanan 5G bisa meningkatkan pendapatan per kapita sekitar Rp 9,4 juta.
Sementara Ridwan berpendapat, pemerintah perlu segera membuat peta jalan pengadaan spektrum frekuensi untuk mendukung 5G. Peta jalan ini perlu mengakomodasi berbagai kepentingan hingga solusi. Misalnya, spektrum frekuensi C yang masih dipakai satelit. Jika spektrum frekuensi ini akan dipakai oleh operator telekomunikasi seluler, proses migrasi dan ko-eksistensinya harus dipikirkan.
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) spektrum frekuensi dan insentif kepada operator telekomunikasi seluler juga harus terakomodasi di peta jalan itu. Terkait dengan mekanisme pengenaan PNBP yang ideal, pemerintah harus melakukan pemetaan model bisnis 5G. Dengan begitu, bisa didapat potensi besaran penerimaan, lalu dibandingkan dengan formula pengenaan dan perhitungan PNBP yang sudah ada.
”Besaran PNBP nantinya jangan memberatkan perusahaan telekomunikasi, tetapi negara tetap bisa untung,” kata Ridwan.

Petugas mengendalikan UU Robot yang dijalankan melalui jaringan 5G saat peluncuran layanan 5G Telkomsel di Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Group Credit Officer Fitch Ratings untuk Asia Pasifik Janice Chong dalam laporan Fitch Ratings 2022 Outlook: Asia-Pacific Telecoms berpandangan, operator telekomunikasi seluler yang berskala lebih besar akan memiliki posisi lebih baik untuk urusan anggaran. Oleh karena itu, mereka ”mampu mengamankan” spektrum frekuensi yang cukup. Dengan demikian, operator berskala lebih besar bisa mempercepat peluncuran 5G. Situasi ini diperkirakan semakin mendorong merger dan akuisisi di kalangan operator telekomunikasi.
Janice memperkirakan, hasil kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan retensi spektrum frekuensi merger PT Indosat Tbk - PT Hutchison Tri Indonesia diperkirakan semakin menyiapkan panggung yang lebih banyak untuk merger dan akuisisi di pasar layanan seluler dan layanan jaringan tetap pita lebar. Situasi saat ini menyulitkan perusahaan telekomunikasi yang lebih kecil untuk menggelontorkan biaya investasi 5G tanpa pengembalian investasi langsung.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah mengeluarkan izin prinsip penggabungan PT Indosat Tbk dan PT Hutchison Tri Indonesia. Salah satu kewajiban yang mesti dipenuhi keduanya adalah mengembalikan sebagian frekuensi, yaitu pita 2,1 gigahertz sebesar 5 MHz frequency division duplexing, kepada negara.
Sebelumnya, baik Indosat maupun Hutchison memiliki lebar pita di spektrum frekuensi 2,1 gigahertz (GHz) sebesar 2 x 15 megahertz (MHz). Artinya, saat pemerintah mewajibkan pengembalian 5 MHz frequency division duplexing, salah satu di antara keduanya hanya akan punya lebar pita 10 MHz.
Jika tak ada kewajiban itu, Indosat Ooredoo Hutchison, perusahaan hasil gabungan PT Indosat Tbk-Hutchison Tri Indonesia, akan memiliki 72,5 MHz (Kompas, 10/11/2021). Keputusan Kemkominfo tersebut sempat mengundang kritik lantaran dianggap tidak transparan mengenai formula dasar pengembalian spektrum frekuensi.
Keputusan Kemkominfo tersebut sempat mengundang kritik lantaran dianggap tidak transparan mengenai formula dasar pengembalian spektrum frekuensi.
Sementara itu, penyelenggara jaringan tetap pita lebar Link Net akan bergabung dengan XL Axiata. Penggabungan ini diprediksi Fitch Ratings akan memperkuat kemampuan konvergensi XL Axiata untuk menyediakan layanan seluler dan tetap. Namun, menurut Janice, penawaran konvergensi itu relatif baru di Indonesia, dan kemungkinan akan menjadi ceruk pasar baru 12 bulan mendatang.
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebenarnya memungkinkan sesama operator telekomunikasi berbagi penggunaan aset infrastruktur jaringan dan spektrum frekuensi dengan lebih mudah. Jadi, penggelaran 5G bisa lebih efisien. Namun, belakangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Ini bakal menambah dinamika di industri telekomunikasi.

Gambaran kinerja keuangan para operator telekomunikasi seluler di Indonesia yang dianalisis oleh Fitch Ratings
Perubahan paradigma
Terlepas dari dinamika eksternal tersebut, Paul Rhodes, OpenRAN and 5G Principal Consultant di World Wide Technology, dalam tulisan opininya di Telecoms (14/6/2021), mengatakan, publik sudah memahami bahwa 5G akan membawa perubahan budaya yang lebih luas ke tengah masyarakat. Namun, evolusi ini perlu diimbangi dengan perubahan paradigma internal di dalam perusahaan telekomunikasi itu sendiri.
Perusahaan telekomunikasi dituntut mampu menyediakan layanan berbasis perangkat lunak terbuka, pola pikir, serta proses kerja digital. Secara tradisional, jaringan telah beroperasi dengan model rekayasa; mengasah, memoles, dan menyempurnakan solusi sebelum diluncurkan. Era 5G akan membutuhkan jaringan untuk mendistribusikan solusi lebih cepat kepada pelanggan terus mengembangkannya secara real-time.
Artinya, pada era 5G, keterampilan penyedia layanan di dalam perusahaan telekomunikasi tidak akan terlihat seperti generasi sebelumnya. Dibutuhkan staf berpengetahuan analisis data, rekayasa perangkat lunak, dan keamanan teknologi informasi. Sementara staf yang ada perlu ditingkatkan keterampilan dan kapasitasnya.

Peragaan operasional alat berat secara jarak jauh yang dimungkinkan oleh teknologi jaringan cepat 5G yang ditunjukkan dalam Huawei Connect 2020, yang digelar di Shanghai. Media dari Asia diajak mengunjungi acara ini secara virtual pada Jumat (25/9/2020).
Semua operator telekomunikasi seluler di Indonesia telah gencar merintis bisnis solusi digital sejak memasuki era 4G. Solusi digital umumnya berupa benda terhubung internet (IoT), aplikasi, periklanan digital, pusat data, dan layanan berbasis komputasi awan untuk melayani segmen korporasi. Sebagai contoh, XL Axiata memiliki unit bisnis XL Business Solution dan Telkomsel dengan unit bisnis Telkomsel DigiAds.
Para operator telekomunikasi seluler juga mengembangkan produk telekomunikasi digital, seperti Telkomsel dengan aplikasi by.U, Smartfren dengan aplikasi Switch, Indosat Ooredoo dengan MPWR, dan XL Axiata dengan aplikasi Live On. Pengguna mesti mengunduh aplikasi telekomunikasi digital itu terlebih dulu agar bisa menjadi pelanggan baru. Aplikasi tersebut memungkinkan semua proses transaksi layanan seluler berjalan secara daring.
Sebagai bentuk adaptasi, operator telekomunikasi seluler juga menggandeng kemitraan dengan perusahaan teknologi lain, seperti perusahaan rintisan bidang teknologi atau startup. Di antara para operator telekomunikasi, bahkan, ada yang membuat modal ventura untuk mendanai startup.
Namun, harus diakui, upaya-upaya mengembangkan bisnis digital tidak mudah. Sebab, model bisnis itu berbeda dengan bisnis konektivitas (layanan akses seluler) yang bertahun-tahun jadi inti usaha operator telekomunikasi. Sebagai contoh, tahun 2017, XL Axiata menjual semua sahamnya di platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang Elevenia dan Indosat Ooredoo menutup Cipika. Kemudian, untuk bisnis IoT, operator telekomunikasi seluler harus bersaing dengan perusahaan teknologi yang memang punya fokus utama IoT.
Upaya-upaya mengembangkan bisnis digital tidak mudah. Sebab, model bisnis itu berbeda dengan bisnis konektivitas (layanan akses seluler) yang bertahun-tahun jadi inti usaha operator telekomunikasi.
Operator telekomunikasi diperkirakan terus mencari sumber pertumbuhan pendapatan baru, selain menjaga pendapatan dari layanan konektivitas. Pendapatan bisnis digital diproyeksikan jadi tumpuan masa depan. Apalagi, pada era 5G dan teknologi akses seluler yang akan datang. Tentunya, semua itu bisa dinikmati operator apabila industri sehat dan regulasi pemerintah mendukung.