Dua isu panas akan menjadi penentu naik atau tidaknya harga energi dunia. UE akan meningkatkan skala embargo minyak bumi Rusia, sedangkan Rusia akan melarang ekspor minyak mentah ke negara-negara yang mengembargonya.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tren harga energi, seperti minyak mentah, gas alam, dan batubara, pada akhir tahun lalu turun. Namun, pada triwulan I-2023 ini, turbulensi harga energi berpotensi terjadi jika perseteruan ekonomi antara Uni Eropa dan Rusia menguat.
Peneliti Research and Development Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (ICDX) Girta Yoga, Rabu (25/1/2023), mengatakan, pada akhir tahun lalu, kekhawatiran pasar terhadap lonjakan harga energi tidak terjadi. Ini menunjukkan dampak embargo Uni Eropa (UE) terhadap minyak mentah Rusia yang digulirkan sejak 5 Desember 2022 tidak berlangsung lama.
Hal itu terjadi lantaran Rusia mengalihkan ekspor minyak mentah dari UE ke China. Selain itu, batas harga minyak mentah yang ditetapkan UE sebesar 60 dollar AS per barel belum terasa atau bahkan tidak efektif.
"Ancaman Rusia memangkas produksi minyak mentah juga belum terealisasi. Namun, pada triwulan I-2023, turbulensi harga minyak mentah berpotensi terjadi," ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Menurut Yoga, pada triwulan I-2023, dua isu panas akan menjadi penentu naik atau tidaknya harga energi dunia. Pertama, UE akan meningkatkan skala embargo pada produk turunan minyak mentah dan menentukan batas harga komoditas itu pada 5 Februari 2023. UE juga akan menentukan batas harga gas alam Rusia pada 15 Februari 2023.
Kedua, Rusia akan melarang ekspor minyak mentah dan produk turunannya ke negara-negara yang mengembargo sejumlah komoditas tersebut. Selain itu, Rusia juga akan memangkas produksi minyak mentah sebanyak 500.000-700.000 barel per hari.
Selain kedua isu panas itu, lanjut Yoga, pasar juga akan memerhatikan langkah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) dan pasar China. Pada tahun ini, OPEC+ berkomitmen tidak akan mengambil kebijakan berdasarkan pertimbangan politik dan mempertahankan harga minyak mentah di rentang 80-90 dollar AS per barel.
Dua isu panas akan menjadi penentu naik atau tidaknya harga energi dunia.
Adapun terkait China, perekonomiannya diperkirakan akan terus membaik setelah China mengakhiri kebijakan nol Covid-19 pada 8 Januari 2023. Hal itu akan mendorong permintaan China, termasuk untuk sejumlah komoditas seperti minyak bumi, batubara, dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
“Namun, pasar juga masih melihat perkembangan kasus Covid-19 negara itu apalagi setelah perayaan Imlek. Pasar masih khawatir peningkatan mobilitas masyarakat sepanjang perayaan tahun baru itu dapat meningkatkan kasus Covid-19,” katanya.
Dengan berbagai indikator itu, ICDX memperkirakan harga energi masih rentan bergejolak pada triwulan I-2023. Di level resistence atau titik tertinggi, harga minyak mentah diperkirakan sekitar 100-115 dollar AS per barel, batubara 425-450 dollar AS per ton, dan gas alam 4,5-5,5 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Pada level support atau titik terendah, harga minyak mentah diperkirakan sekitar 65-55 dollar AS per barel, batubara 275-300 dollar AS per ton, dan gas alam 2-2,5 dollar AS per MMBTU.
Harga CPO
Yoga menambahkan, jika harga energi, terutama minyak mentah, naik, harga sejumlah komoditas pangan global, terutama CPO dan minyak nabati lainnya, akan turut terdongkrak. Namun ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan, yakni kondisi pasokan dan ada hambatan rantai pasok atau tidak.
ICDX memperkirakan harganya bergerak pada level resistace, yakni sekitar 4.300-4.500 ringgit Malaysia per ton. Apabila menemui katalis negatif, maka harganya berpotensi turun di kisaran 3.400-3.600 ringgit Malaysia per ton.
Peneliti Research and Development ICDX Jonathan Octavianus mengatakan, selain imbas perang Rusia-Ukraina dan potensi peningkatan permintaan China, ada tiga faktor lain yang menjadi penentu harga CPO. Ketiga faktor itu adalah penerapan mandatori B35 di Indonesia per 1 Februari 2023, Ramadhan-Lebaran, serta rencana Malaysia melarang ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya ke UE.
Ada tiga faktor lain yang menjadi penentu harga CPO, yakni penerapan mandatori B35 di Indonesia per 1 Februari 2023, Ramadhan-Lebaran, serta rencana Malaysia merlang ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya ke UE.
Pencampuran bahan bakar nabati dan bahan bakar diesel dengan persentase minyak kelapa sawit sebanyak 35 persen dan solar 65 persen akan menambah konsumsi minyak sawit sebanyak 1,4 juta ton. Hal itu menyebabkan total konsumsi minyak sawit yang dibutuhkan untuk B35 itu menjadi 9,8 juta ton.
“Dengan mandatori B35 itu, Indonesia merupakan negara yang menerapkan biodiesel tertinggi di dunia. Implementasi kebijakan itu diperkirakan akan mengubah penawaran dan permintaan pasar global, sehingga mendorong kenaikan harga CPO global,” katanya.
Menurut Jonathan, harga CPO juga akan relatif bertahan tinggi didorong oleh peningkatan permintaan untuk kebutuhan Ramadhan-Lebaran di Indonesia dan Malaysia. Di sisi lain, pergerakan harga CPO juga akan dipengaruhi larangan ekspor CPO Malaysia ke UE.
“Jika Malaysia jadi menerapkan kebijakan itu dan tidak mengalihkan pasarnya ke negara lain, harga CPO berpotensi turun. Total ekspor CPO Indonesia dan Malaysia ke UE pada Januari-November 2022 sebanyak 3 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 1,3 juta ton merupakan ekspor CPO Malaysia,” ujarnya.