Penguatan Nilai Ekspor Dapat Sokong Pertumbuhan Industri RI pada 2023
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, proyeksi ekspor dan investasi industri menunjukkan tren perlambatan. Nilai ekspor pada 2022 diperkirakan tumbuh 18,72 persen sedangkan pada 2023 berkisar 6,94-8,89 persen
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas Indonesia pada 2023 diprediksi tumbuh 5,1–5,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, pertumbuhan ekspor dan nilai investasi diperkirakan cenderung melambat akibat tekanan arus perdagangan mancanegara. Perlambatan tersebut dapat diatasi dengan penguatan nilai produk ekspor, salah satunya melalui pemanfaatan perjanjian dagang dan penerapan teknologi.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memproyeksikan, pertumbuhan PDB industri pengolahan nasional sepanjang 2022 mencapai 5,01 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan pada 2023 diperkirakan 5,1-5,4 persen. “Seiring dengan itu, nilai ekspor industri pengolahan nonmigas pada 2022 diproyeksikan mencapai 210,38 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dan pada 2023 sebesar 225-245 miliar dollar AS,” tuturnya dalam acara jumpa pers di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Pertumbuhan kinerja industri tersebut juga ditopang oleh pertumbuhan investasi. Agus menyebutkan, realisasi investasi sepanjang 2022 diperkirakan senilai Rp 439,3 triliun sedangkan pada 2023 sebesar Rp 450 triliun – Rp 470 triliun.
Jika dibandingkan, proyeksi ekspor industri tersebut menunjukkan tren perlambatan. Kementerian Perindustrian mencatat, realisasi ekspor pada 2021 sebesar 177,2 dollar AS atau tumbuh 35,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya, nilai ekspor pada 2022 diperkirakan tumbuh 18,72 persen sedangkan pada 2023 berkisar 6,94-8,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Tren yang sama juga tampak dari proyeksi realisasi investasi. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, realisasi investasi pada 2021 mencapai Rp 307,6 triliun. Dengan demikian, pertumbuhan investasi pada 2022 diperkirakan dapat menyentuh angka 42,81 persen sedangkan pada 2023 sekitar 2,43-4,44 persen.
Menurut Agus, kinerja industri Indonesia sepanjang 2023 dapat dipengaruhi sejumlah tantangan di tingkat global. Misalnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang menyebabkan gangguan rantai pasok akibat ketidakseimbangan perdagangan.
Data Kementerian Perindustrian yang diolah dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, realisasi ekspor sepanjang Januari-November 2022 telah mencapai 189,88 miliar dollar AS. Jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya, nilai itu lebih tinggi 18,59 persen.
Meskipun demikian, Agus berharap, kinerja industri tersebut dapat mendongkrak serapan tenaga kerja. Pada 2022, total serapan tenaga kerja diperkirakan mencapai 19,11 juta orang sedangkan pada 2023 sebanyak 19,2 juta – 20,2 juta orang. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, jumlah serapan sumber daya manusia industri pengolahan nonmigas pada 2021 mencapai 18,64 juta tenaga kerja.
Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai, pertumbuhan kinerja industri pada 2023 perlu didongkrak agar lebih tinggi dibandingkan produk domestik bruto (PDB) nasional. "Jika PDB industri di bawah pertumbuhan PDB nasional, kontribusi industri terhadap perekonomian nasional dapat tergerus," ujarnya saat dihubungi, Selasa.
Untuk mendongkrak pertumbuhan industri dan kinerja ekspor, lanjut Andri, Indonesia perlu meningkatkan rasio produk yang menyasar pasar global. Berdasarkan data yang dihimpun, dia menyebutkan, sebanyak 45 persen produk yang dihasilkan industri diekspor dan 55 persen untuk pasar dalam negeri. Padahal, rasio produk manufaktur yang diekspor pesaing Indonesia, seperti Vietnam dan India, telah lebih dari 50 persen.
Selain itu, Andry berpendapat, Indonesia perlu mendongkrak jumlah manufaktur yang memproduksi barang-barang dengan penerapan teknologi tingkat menengah hingga tinggi. "Proporsi produk ekspor yang menggunakan teknologi menengah dan tinggi Indonesia masih 30,7 persen sedangkan Malaysia telah mencapai 65 persen," katanya.
Untuk memperkuat nilai tambah produk manufaktur Indonesia di pasar global, Vice Director Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Kiki Verico mengatakan, Indonesia membutuhkan transfer teknologi. Oleh sebab itu, orientasi investasi juga mesti diubah dari yang pemanfaatan Indonesia sebagai pasar menjadi yang berbasis penguatan produksi.
Keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai pasok atau GVC kawasan Asia timur, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China, dapat menopang kinerja manufaktur nasional. Oleh sebab itu, Indonesia perlu mengoptimalkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP untuk memperkuat posisinya dalam GVC di Asia timur.
Berdasarkan produk manufaktur, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Titik Anas mengatakan, ada tiga sektor yang dibutuhkan dalam GVC di Asia timur, yakni otomotif, elektronik, dan permesinan. “Integrasi otomotif Indonesia dengan GVC di Asia timur sudah dominan. Namun, integrasi produk elektronik dan permesinan masih rendah,” ujarnya dalam Seminar Outlook Industri 2023 yang diadakan Kementerian Perindustrian di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Oleh sebab itu, Titik menilai, Indonesia mesti menggaet investor-investor yang berorientasi pada perluasan usaha atau upaya ekspansi. Indonesia dapat menarik investasi tersebut karena nilai tukar rupiah yang cenderung stabil, kondisi makroenomi yang terjaga, serta pertumbuhan ekonomi yang kuat pascapandemi Covid-19.
Dalam menarik investasi, lanjutnya, Indonesia juga dapat memanfaatkan RCEP. Perjanjian tersebut memberikan fleksibilitas aliran pasokan dalam GVC dan tarif perdagangan yang lebih rendah sehingga menjadi daya tarik bagi investor.
Negara-negara yang terlibat dalam RCEP terdiri dari, sepuluh negara anggota ASEAN (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) serta lima negara mitra (Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru). Adapun RCEP ditandatangani pada November 2020.
Meskipun demikian, Indonesia memiliki pekerjaan rumah terkait daya saing produk manufaktur di antara negara-negara anggota RCEP. Berdasarkan data yang dipaparkan, Titik menggarisbawahi, Indonesia belum menjadi pemain teratas dalam 15 produk HS 4 digit yang arus ekspor-impornya tertinggi di kalangan negara-negara anggota RCEP.
Di sisi lain, Titik mengatakan ruang ekspor Indonesia ke negara-negara anggota RCEP masih memiliki ruang untuk bertumbuh. Kontribusi ekspor Indonesia tersebut pada 2021 mencapai 5 persen. Dibandingkan negara anggota ASEAN yang lain, kontribusi ekspor Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Dalam memanfaatkan RCEP, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito menilai, Indonesia perlu lebih cermat, khususnya pada negara mitra yang kerap menerapkan kebijakan nontarif terhadap produk Indonesia. Misalnya, kebijakan dumping dan perlindungan perdagangan (safeguards).