Pemerintah Antisipasi Potensi PHK di Industri Padat Karya
PHK yang sudah terjadi di industri alas kaki telah mencapai 25.700 orang akibat turunnya permintaan. Karena permintaan menurun, produksi akan ikut melorot dan realisasi ekspor ke depannya juga turut merosot
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemutusan hubungan kerja atau PHK tengah melanda sejumlah industri padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil atau TPT serta produk alas kaki. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya mengantisipasi gelombang PHK yang terjadi dengan sejumlah kebijakan spesifik sesuai dengan karakter industri terkait.
Berdasarkan data yang dihimpun, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri menyebutkan, PHK yang sudah terjadi di industri telah mencapai 25.700 orang akibat turunnya permintaan. ”Potensi PHK dapat mencapai 145.184 karyawan dari 500.000 tenaga kerja pada pabrik assembling alas kaki berorientasi ekspor,” tuturnya saat dihubungi pada Selasa (8/11/2022) di Jakarta.
Sampai semester I-2023, Firman memperkirakan permintaan produk alas kaki akan turun hingga 50 persen. Penurunan tersebut dipengaruhi situasi perang Rusia-Ukraina yang berakibat pada perubahan pola konsumsi di negara tujuan ekspor.
Padahal, imbuh dia, pada tahun sebelumnya realisasi ekspor industri alas kaki meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor alas kaki (kode HS dua digit 64) sepanjang 2021 mencapai 6,18 miliar dollar AS dan naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 4,8 miliar dollar AS.
Pada tahun ini, sebut Firman, ekspor alas kaki per September 2022 telah tumbuh 35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, karena permintaan menurun, produksi akan ikut melorot dan realisasi ekspor ke depannya juga turut merosot.
Namun, menurut Firman, pelaku industri alas kaki tidak bisa sembarangan mengganti pasar ekspor. Pada saat normal, secara volume, pangsa pasar produk alas kaki di pasar dalam negeri berkisar 75 persen, sedangkan ekspor 25 persen. Secara nilai, pangsa pasar produk alas kaki untuk ekspor sekitar 75 persen dan sisanya dalam negeri.
”Untuk pasar dalam negeri, variasinya lebih banyak, tetapi harganya murah karena menjangkau segmen kelas menengah ke bawah. Secara harga, produk yang diekspor lebih mahal karena bersifat premium. Adapun mencari pasar ekspor baru rasanya sulit karena kami juga perlu menyesuaikan segmen market-nya,” kata Firman.
Firman berharap, pemerintah dapat meyakinkan masyarakat kelas menengah ke atas untuk tetap berbelanja. Selain itu, pemerintah juga perlu menekan PHK. Bagi kelompok masyarakat yang pendapatannya menurun, pemerintah perlu menyiapkan program yang mendorong konsumsi.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pihaknya tengah memperhatikan secara saksama setiap sektor industri, khususnya yang pertumbuhannya melambat atau bahkan tumbuh negatif. ”Dari sini kita akan kaji opsi kebijakan untuk membantu mereka. Di setiap sektor sudah ada pembina sektoral masing-masing yang saya koordinasikan,” katanya saat dihubungi, Selasa.
Sebelumnya, Agus menuturkan, Kementerian Perindustrian telah mengelompokkan industri berdasarkan pertumbuhannya, yakni tumbuh menguat, melambat, dan negatif. Dia mencontohkan, industri alat angkutan, mesin dan perlengkapan, serta elektronik tergolong tumbuh menguat. Industri makanan-minuman termasuk dalam kelompok yang tumbuh melambat. Adapun industri kimia dan farmasi, bahan galian non-logam, serta furnitur berada di kelompok tumbuh negatif.
Larangan terbatas
Untuk menghadapi tekanan pada industri TPT, lanjut Agus, kebijakan larangan terbatas dapat menjadi salah satu langkah yang diambil. Namun, perlu ada harmonisasi antara industri hulu, tengah, dan hilir. ”Jangan sampai kebijakan ini diterapkan di hulu, tetapi malah memengaruhi kinerja di tengah dan hilirnya,” ujarnya.
Ekspor industri TPT melemah akibat lesunya konsumsi di pasar Eropa dan AS karena perang Ukraina-Rusia. Tanpa intervensi pemerintah melalui pengetatan impor dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri, PHK terhadap 500.000 tenaga kerja dapat terjadi pada 2023.
Staf Khusus Menteri Perindustrian Bidang Hukum dan Pengawasan Febri Hendri Antoni mengatakan, utilitas industri TPT telah turun 7 persen. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Dody Widodo menyatakan sedang mencari tujuan ekspor baru untuk produk TPT, misalnya di kawasan Timur Tengah.