Ruang Fiskal Terbatas, Subsidi Motor Listrik Tidak Pas
Di tengah keterbatasan ruang fiskal dan tantangan perlambatan ekonomi tahun depan, pemerintah diharapkan lebih bijak mengalokasikan anggaran.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemberian subsidi motor listrik dinilai tidak tepat digulirkan tahun depan di tengah keterbatasan ruang fiskal. Subsidi untuk menggerakkan permintaan dan konsumsi seharusnya diarahkan ke sektor yang memiliki efek pengganda besar bagi ekonomi serta untuk memperkuat bantalan sosial bagi masyarakat menengah-bawah.
Meski sampai sekarang belum ada keputusan final mengenai skema dan besarannya, pemerintah sedang menggodok rencana pemberian subsidi kendaraan listrik, dimulai dari motor listrik. Insentif sebesar Rp 6,5 juta untuk menggerakkan permintaan (demand) motor listrik itu menurut rencana akan digelontorkan pada tahun depan.
Namun, di tengah keterbatasan ruang fiskal dan tantangan perlambatan ekonomi global tahun depan, pemerintah diharapkan lebih bijak dalam mengalokasikan anggaran. Menurut ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, subsidi seharusnya diarahkan ke sektor yang memiliki efek pengganda besar bagi ekonomi.
Dampak ”domino” subsidi motor listrik terhadap roda perekonomian domestik diragukan mengingat saat ini ekosistem industri dan ketersediaan infrastruktur pendukung di dalam negeri belum terbentuk. Permintaan di dalam negeri pun masih sangat terbatas.
Aviliani mengingatkan, subsidi tidak bisa asal diberikan. Bukan hanya karena ruang fiskal yang lebih sempit tahun depan seiring dengan kembalinya defisit APBN di bawah 3 persen, melainkan juga efek penggandanya untuk menggerakkan perekonomian dalam negeri.
Insentif fiskal yang tepat berperan penting untuk menggerakkan konsumsi rumah tangga dan memperkuat resiliensi RI dalam menghadapi tantangan perlambatan ekonomi global pada tahun 2023.
”Insentif itu sebisa mungkin untuk sisi demand dan yang memang berdampak banyak ke ekonomi. Ketimbang untuk motor listrik, lebih baik diarahkan untuk sektor pariwisata yang demand-nya sekarang sedang tumbuh dan punya efek multiplier ke 15 sektor lain, terutama UMKM sebagai tulang punggung ekonomi,” katanya.
Selain memberi insentif ke kelas menengah-atas untuk berwisata, anggaran yang terbatas juga sebaiknya ditujukan untuk memperkuat daya beli masyarakat menengah-bawah lewat penyaluran bantuan sosial yang lebih tepat sasaran dan cepat.
”Kalau masyarakat menengah-atasnya sudah diberi insentif untuk spending dan bansos untuk masyarakat menengah-bawah lebih tepat dan dipercepat, itu setidaknya sudah berkontribusi 55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) kita,” ujar Aviliani.
Di tengah keterbatasan ruang fiskal dan tantangan perlambatan ekonomi global tahun depan, pemerintah diharapkan lebih bijak dalam mengalokasikan anggaran.
Senada, Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menilai insentif Rp 6,5 juta untuk pembelian motor listrik salah sasaran. Di tengah kondisi ekonomi yang akan melambat tahun depan, tidak elok jika pemerintah memberi subsidi yang besar untuk pembelian motor listrik ketimbang memperkuat bansos bagi masyarakat rentan.
Ia membenarkan, dalam konteks menghadapi perlambatan ekonomi, adakalanya masyarakat menengah perlu stimulus untuk lebih gencar berbelanja. Namun, perlu ada batasan dan prioritas sektor penerima insentif.
”Tidak elok kalau orang yang tidak dapat kerja dikasih Rp 650.000 saja, tetapi untuk beli motor dikasih Rp 6,5 juta. Skala keadilannya jadi kabur,” kata Eko.
Ia juga mengkhawatirkan keuntungan dari penjualan yang meningkat akibat subsidi itu hanya akan jatuh ke segelintir pemain besar yang notabene juga bagian dari pemerintahan. ”Kalau kita perhatikan, pabrik motor listrik di Indonesia itu yang punya penguasa juga, menteri-menteri juga, BUMN juga. Ini jadi pertanyaan, insentif ini diberikan untuk apa sebenarnya?” tuturnya.
Sejauh ini, wacana pemberian subsidi kendaraan listrik itu masih digodok oleh pemerintah. Menteri-menteri masih berbeda pandangan mengenai ide subsidi itu. Kementerian Keuangan sendiri masih mengkaji kapasitas fiskal serta untung-rugi dari pemberian subsidi kendaraan listrik tersebut.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan dampak keuntungan (net gain) dan kerugian (net loss) dari subsidi kendaraan listrik, baik motor maupun mobil.
”Kalau menghasilkan net gain, kita dorong terus. Kalau ternyata berpotensi net loss, mungkin insentifnya kita setel kembali agar bisa gain. Bisa kita setel besarannya, bisa instrumennya, karena kan insentifnya bisa macam-macam, bisa subsidi langsung, bisa insentif perpajakan,” katanya.