Lewat wacana pemberian subsidi kendaraan listrik, pemerintah ingin membidik satu solusi untuk banyak masalah. Namun, rencana itu sebaiknya tidak terburu-buru agar tidak menjadi solusi semu yang memunculkan masalah baru.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Pengemudi ojek daring mengambil baterai sepeda motor listrik di stasiun pengisian kendaraan listrik umum di PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2022). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam Permata Bank Wealth Mindfully Recover, yang disiarkan secara daring pada Selasa (29/11/2022), berencana memberikan subsidi untuk pembelian satu motor listrik sekitar Rp 6,5 juta.
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Lewat satu kebijakan, dua tiga masalah teratasi. Kira-kira begitu harapan pemerintah di balik wacana pemberian subsidi motor listrik yang belakangan ini santer diberitakan.
Rencana tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat menjadi pembicara dalam acara Welcoming Stronger Investment Post-pandemic yang diadakan oleh Permata Bank, 30 November 2022 lalu.
Meniru Thailand yang telah duluan memberi subsidi untuk pembelian motor listrik, pemerintah juga akan memberi subsidi sebesar Rp 6,5 juta untuk meringankan harga jual motor listrik dan mendorong masyarakat beralih dari penggunaan sepeda motor berbahan bakar minyak (BBM).
Sampai hari ini, wacana itu belum final dan masih terus dibahas. Belum ada kejelasan terkait skema dan besaran subsidi yang akan disalurkan, termasuk timing-nya. Sumber pendanaannya juga belum diketahui, bisa dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam bentuk subsidi langsung maupun berupa insentif perpajakan dan kepabeanan.
Apa pun bentuk dan besarannya nanti, dari sinyal yang muncul, dukungan instrumen fiskal untuk mendorong konsumsi kendaraan listrik dan transisi energi di sektor transportasi akan tetap digulirkan pemerintah dalam waktu dekat. Bukan hanya motor, tetapi juga mobil listrik.
Saat ditemui di sela-sela acara Annual International Fiscal and Economic Development (AIFED) 2022 di Bali, pekan ini, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah tetap mendorong insentif kendaraan listrik selama itu dalam koridor pengelolaan fiskal yang sehat.
IRMA TAMBUNAN
Pemerintah terus mendorong pemanfaatan kendaraan berbahan bakar listrik. Pengembangan perangkat konversi dan baterai listriknya diharapkan melecut tumbuhnya usaha mikro, kecil, dan menengah. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mencoba motor listrik hasil konversi dari motor konvensional dalam peluncuran kegiatan Bangga Buatan Indonesia 2022 di Bandara Sultan Thaha, Jambi, Rabu (19/1/2022).
”Artinya, kebijakan itu harus menghasilkan net gain (keuntungan), bukan net loss (kerugian). Makanya, sedang kami timbang-timbang antara insentif yang nanti diberikan dengan nilai tambah yang bisa diperoleh, baik dari sisi fiskal, sosial, dan environmental,” kata Wahyu.
Setidaknya, ada tiga problem yang sekaligus ingin diatasi pemerintah lewat kebijakan tersebut, yakni mempercepat transisi energi dan pengurangan emisi karbon dengan mendorong demand daya listrik, menjawab masalah pasokan listrik berlebih, serta mengurangi besarnya beban impor minyak dan biaya subsidi BBM di APBN.
Pemerintah tetap mendorong insentif kendaraan listrik selama itu dalam koridor pengelolaan fiskal yang sehat.
Pemerintah berharap bisa menggeser pelan-pelan beban anggaran untuk subsidi BBM menjadi subsidi kendaraan listrik. ”Kami maunya satu kebijakan ini bisa selesaikan banyak masalah. One policy for all solution. Soalnya tantangan sekarang ini berat, tidak bisa satu masalah dijawab hanya dengan satu solusi. Cost-nya terlalu besar,” ujar Wahyu.
Semu
Lantas, apakah pemberian subsidi motor listrik lebih banyak memberi untung ketimbang rugi? Soal itu, Wahyu belum bisa memastikan karena kajiannya masih bergulir. ”Belum diputuskan di level tertinggi,” ucapnya.
Berkaca dari pengalaman Thailand, subsidi yang ditawarkan pemerintah memang bisa menggerakkan investasi dan penjualan di sektor kendaraan listrik. Mengutip artikel ”Inside Thailand’s EV Revolution” di laman Bangkok Post, potensi demand akibat subsidi terbukti menarik lebih banyak investasi.
Pada triwulan I tahun 2022, komitmen investasi di sektor otomotif Thailand naik lebih dari empat kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi 1,2 miliar dollar AS. Sementara angka penjualan kendaraan listrik berbasis baterai di Thailand melonjak 223 persen pada sembilan bulan pertama 2022 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Menurut Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo, jika tujuan pemerintah adalah untuk mengembangkan ekosistem industri kendaraan listrik, solusi subsidi terhadap harga jual bisa saja efektif, seperti yang terjadi di Thailand. Namun, jika tujuannya untuk mendorong dekarbonisasi, subsidi menjadi solusi yang semu.
Selama listrik masih dipasok dari batubara, subsidi untuk menggencarkan penggunaan motor listrik tetap tidak akan signifikan mengurangi emisi. Apalagi, kebijakan itu masih diarahkan bagi kendaraan pribadi, bukan untuk mendorong penggunaan transportasi umum listrik.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sektor yang paling banyak menyumbang emisi pada 2019 adalah industri produsen energi (43,83 persen) dengan penyumbang terbesar yaitu pembangkit listrik (97,22 persen). Adapun transportasi menyumbang 24,64 persen emisi.
“Kecuali di hulu (pembangkit listrik) sudah diganti dari batubara ke energi terbarukan, baru kita bisa mendorong demand untuk kendaraan listrik. Makanya, ini tergantung tujuan. Kalau golnya dekarbonisasi, solusi ini agak melompat,” katanya.
FAKHRI FADLURROHMAN
Pengedara sepeda motor listrik akan mengganti baterai kendaraannya di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Kantor PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Gambir, Jakarta Pusat, Selasa, (6/12/2022). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam Permata Bank Wealth Mindfully Recover, yang disiarkan daring, Selasa (29/11) berencana akan memberikan subsidi untuk pembelian satu motor listrik sekitar Rp 6,5 juta. Tidak hanya itu, pemerintah pun berencana untuk memberikan subsidi untuk warga yang akan mengkonversi sepeda motor BBM nya menjadi listrik.
Sekilas, problem over suplai listrik seolah teratasi lantaran demand kendaraan listrik meningkat. Namun, dalam jangka panjang, jika demand meningkat tanpa diiringi pengembangan pembangkit listrik baru yang hijau serta ketegasan pemerintah untuk menghentikan pembangunan PLTU baru, pemberian subsidi justru akan kembali menambah ketergantungan pada batubara.
Masalah baru
Di sisi lain, wacana subsidi perlu dikaji dengan tidak terburu-buru agar tidak memunculkan masalah baru. Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, syarat utama agar pemberian subsidi bisa efektif adalah terlebih dulu mengembangkan industri kendaraan listrik hulu-hilir di dalam negeri.
Dengan demikian, subsidi benar-benar diberikan untuk pembelian kendaraan listrik yang dirakit di dalam negeri, bukan yang diimpor utuh.
Selama listrik masih dipasok dari batubara, subsidi untuk menggencarkan penggunaan motor listrik tetap tidak akan signifikan mengurangi emisi.
Insentif bagi industri kendaraan listrik domestik bisa membantu meningkatkan produksi dan ekspor serta menciptakan lapangan kerja, sembari mengurangi defisit perdagangan dan beban APBN yang selama ini bersumber dari impor migas yang tinggi.
“Namun, kalau subsidi juga diberikan untuk produk impor, itu sama saja kita menurunkan impor migas, lalu menaikkan impor non-migas. Jangan sampai untuk merespons tiga masalah di atas, kita malah membuat masalah baru,” kata Faisal.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Karyawan mengecek sepeda motor listrik Viar dalam Sosialisasi Kendaraan Listrik di Stasiun Bekasi Timur, Jawa Barat, Minggu (18/4/2021). Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi hadir memberikan sambutan dan mencoba kendaraan listrik dalam acara tersebut. Mobil listrik Tesla, Hyundai IONIQ dan DFSK Gelora E dipamerkan dalam pameran tersebut.
Di tengah ruang fiskal yang menyempit menuju level defisit APBN 2,84 persen mulai tahun depan, pemerintah juga harus lebih bijak mengalokasikan anggaran. Selain keterbatasan dana, potensi dampak dari rencana menggeser anggaran subsidi BBM ke subsidi motor listrik pun tidak bisa diremehkan.
Pasalnya, mayoritas masyarakat menengah-bawah masih menggunakan kendaraan BBM. Tren kendaraan listrik masih lebih banyak digandrungi kelompok menengah-atas. Mengurangi subsidi BBM ketika mayoritas warga masih menggunakan BBM bisa memunculkan masalah baru dengan risiko sosial yang besar.
Pengurangan subsidi BBM secara perlahan atau phasing out memang perlu dilakukan, tetapi harus ekstra hati-hati dan bertahap sambil menunggu kesiapan infrastruktur dan produksi kendaraan listrik di dalam negeri sudah mumpuni. Subsidi juga sebaiknya digelontorkan ketika kapasitas fiskal sudah jauh lebih kuat dan kondisi ekonomi lebih stabil.
"Kalau terburu-buru, kita ibarat mengambil subsidi dari kalangan bawah untuk kalangan atas. Karena yang membeli kendaraan listrik sejauh ini masih orang-orang menengah-atas. Akhirnya sama saja dengan problem di subsidi BBM selama ini, kita ujung-ujungnya mensubsidi orang mampu," kata Faisal.