Sejumlah situasi mengindikasikan kian seretnya pasokan beras ke pasar. Impor jadi pilihan dilematis, yakni antara kepentingan mengendalikan harga di tingkat konsumen dan menjaga harga gabah petani padi tidak terganggu.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·5 menit baca
Empat tahun berselang, polemik soal perlu tidaknya Indonesia mengimpor beras kembali terulang. Bedanya, kali ini bukan karena data yang berbeda, melainkan soal sudut pandang. Kementerian Pertanian menganggap produksi surplus sehingga tak perlu impor, sedangkan Perum Bulog menilai stok dan pasokan makin kritis sehingga perlu tambahan dari luar negeri.
Perdebatan terkait hal itu membuat Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR di Jakarta, Rabu (23/11/2022), menjadi panas. Dengan mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional tahun ini diperkirakan akan mencapai 31,9 juta ton. Dengan perkiraan kebutuhan konsumsi domestik mencapai 30,2 juta ton, ada potensi surplus beras 1,7 juta ton tahun ini.
Jika ditambah dengan akumulasi surplus 5,2 juta ton tahun lalu, total surplus pada akhir tahun ini bisa mencapai 6,9 juta ton. Dengan beberapa data itu Kementerian Pertanian meyakini Indonesia tidak memerlukan impor beras. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Suwandi, bahkan menyanggupi kesimpulan rapat untuk menyetor data 600.000 ton stok beras di penggilingan dalam tempo enam hari guna memperkuat stok beras yang dikelola Bulog.
Akan tetapi, menurut Bulog, data stok beras di penggilingan tidak sebesar yang disampaikan Kementerian Pertanian. Ketika beberapa penggilingan dicek, kata Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, stok yang siap diserap jauh lebih kecil. Di salah satu perusahaan penggilingan di Jember, Jawa Timur, misalnya, disebutkan memiliki stok 100.000 ton. Namun, setelah dicek stok yang siap hanya 7.000 ton. Situasi serupa terjadi perusahaan penggilingan lain di Malang, Tegal, Indramayu, dan Semarang.
Tak hanya pengadaan dari produksi dalam negeri yang dilematis, Bulog khawatir karena stok beras yang dikuasainya kurang dari 1 juta ton tentu amat riskan sebagai cadangan pemerintah. Sejumlah pihak menilai stok beras pemerintah yang dikelola Bulog dalam kondisi kritis dan berisiko menggoyang stabilitas.
Apalagi, per 25 November 2022, stok beras yang dikuasai Bulog tinggal 571.000 ton. Dengan perkiraan kebutuhan pengeluaran sekitar 150.000 ton serta pengadaan yang seret, stok beras berpotensi makin tipis di akhir Desember 2022 atau Januari 2023 atau jauh di bawah stok yang ditargetkan pemerintah, yakni 1,2 juta ton. Selain makin tidak berdaya mengintervensi pasar, pemerintah tidak punya cadangan beras yang cukup untuk tanggap darurat saat terjadi bencana.
Mutu dan harga
Sepekan sejak rapat itu, Kamis (1/12/2022), Kementerian Pertanian memenuhi janjinya dengan menyodorkan data stok beras di penggilingan yang siap diserap Bulog. Jumlahnya mencapai 610.632 ton, tersebar di 24 provinsi dan rentang harga antara Rp 9.359 per kilogram (kg) dan Rp 11.700 per kg. Namun, sebagaimana data Kementerian Pertanian sebelumnya, ada problem soal harga dan kualitas yang membuatnya tidak bisa diserap oleh Bulog. Sebab, pemerintah mensyaratkan standar mutu dan harga untuk pengadaan gabah/beras oleh Bulog.
Selain itu, penyerapan gabah/beras oleh Bulog saat harganya tinggi justru akan menambah sengit persaingan di pasar. Hal itu justru akan mendongkrak harga beras di pasaran menjadi lebih tinggi lagi. Apalagi, beras telah mengalami inflasi lima bulan terakhir. Langkah Bulog masuk ke pasar dengan menyerap gabah/beras produksi petani justru bakal mendorong inflasi lebih tinggi.
Situasi itu akan makin menyulitkan kelompok masyarakat bawah, termasuk petani dan buruh tani, yang sebagian besar pendapatannya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sejumlah pengamat, akademisi, dan ekonom mengingatkan, Bulog idealnya menyerap/membeli ketika harga beras anjlok dan menggelontorkannya ketika harga tinggi, bukan sebaliknya.
Hati-hati
Selain data inflasi yang dirilis BPS, indikator lain juga menyalakan alarm kewaspadaan soal stok beras nasional. Data harga beras medium di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta, misalnya, menunjukkan tren naik, yakni dari Rp 9.714 per kg pada Juni 2022 menjadi Rp 10.743 per kg pada Desember 2022. Adapun rata-rata harga beras medium nasional, menurut panel harga Badan Pangan Nasional, telah mencapai Rp 11.240 per kg pada Minggu (4/12/2022).
Dengan segenap situasi itu, pemerintah melalui Bulog mengirim sinyal bakal mengimpor beras. Ada 500.000 ton kuota impor yang disebut Bulog telah siap direalisasikan untuk menambah stok beras pemerintah. Namun, selain kritik dari kalangan petani, rencana ini bukan tanpa risiko. Terutama karena jendela waktunya yang amat sempit untuk merealisasikannya.
Kalangan petani khawatir, beras impor baru masuk ketika panen musim tanam rendeng dimulai pada Februari-Maret 2023. Beras impor yang datang terlambat akan jadi bumerang yang merugikan petani. Selain itu, importasi juga bukan perkara mudah di tengah tipisnya volume beras yang diperdagangkan di pasar beras internasional.
Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka), Selasa (29/11/2022), menyebutkan, harga beras dunia mencapai titik tertinggi sejak Juni 2020 karena dipicu oleh pasokan yang berkurang 2,5 juta ton menjadi 686,8 juta ton serta kenaikan permintaan dari China dan Eropa. Harga saat ini 26 persen lebih tinggi daripada tahun 2021.
Selain itu, India sebagai eksportir beras utama menutup ekspor broken rice per 9 September karena panen turun 5,6-7,6 persen (7,28-10 juta ton). Sementara produsen lain, yakni Pakistan, Bangladesh, Thailand, dan Vietnam juga menghadapi hambatan produksi sehingga berisiko mengurangi pasokan ke pasar beras global.
Kini, pemerintah mesti mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Kepentingan petani padi di hulu dan konsumen beras di hilir perlu jadi prioritas. Pastikan tidak ada ”penumpang gelap”.