Redam Inflasi dan Tekanan Nilai Tukar, BI Naikkan Bunga Acuan 50 Basis Poin
Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps demi meredam inflasi dan pelemahan nilai tukar.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Kamis (17/11/2022), memutuskan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen. Keputusan tersebut bertujuan untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya.
Selain bunga acuan, BI juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 50 basis poin menjadi 4,50 persen dan suku bunga lending facility sebesar 50 basis poin menjadi 6 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, ekspektasi inflasi masih tinggi meskipun Indeks Harga Konsumen (IHK) lebih rendah dari prakiraan awal. Inflasi pada Oktober 2022 tercatat sebesar 5,71 persen secara tahunan, masih di atas sasaran 3 plus minus 1 persen meskipun lebih rendah dari prakiraan dan inflasi bulan sebelumnya sebesar 5,95 persen.
Sementara itu, inflasi inti tercatat sebesar 3,31 persen secara tahunan (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sejalan dengan dampak rambatan dari penyesuaian harga bahan bakar minyak dan meningkatnya ekspektasi inflasi.
Consensus Forecast bulan November 2022 menunjukkan ekspektasi inflasi pada akhir 2022 masih tinggi, yaitu 5,9 persen (yoy) meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya, 6,7 persen (yoy). Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia akan memperkuat respons kebijakan moneter untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran tiga plus minus satu persen lebih awal, yaitu pada paruh pertama 2023.
Menurut Perry, kuatnya dollar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global juga memberikan tekanan pelemahan nilai tukar pada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar rupiah. Indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang utama (DXY) tercatat 106,28 pada 16 November 2022 atau mengalami penguatan sebesar 11,09 persen selama bulan berjalan (year to date/ytd) selama tahun 2022.
Sementara itu, dengan langkah-langkah stabilisasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia, nilai tukar rupiah sampai dengan 16 November 2022 terdepresiasi 8,65 persen (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021.
Depresiasi nilai tukar rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara lain di kawasan, seperti Korea Selatan sebesar 10,30 persen (ytd) dan Filipina 11,10 persen (ytd).
Sangat kuatnya dollar AS didorong oleh pengetatan kebijakan moneter yang agresif di AS dan penarikan modal dari sejumlah negara ke AS di tengah melemahnya ekonomi dan tingginya inflasi di Eropa. Pada saat bersamaan, tingginya ketidakpastian pasar keuangan global berlanjut. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Properti terganggu
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI yang agresif dapat menurunkan permintaan terutama di sektor properti.
”Masyarakat akan semakin sulit mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) karena bunga KPR akan naik mengikuti suku bunga acuan,” kata Bhima.
Bhima juga berpendapat, kenaikan suku bunga acuan yang agresif akan menurunkan minat belanja masyarakat meskipun kenaikan tersebut masih relatif dapat diterima. Penjualan properti dan kendaraan bermotor akan melambat sebab bunga kredit ikut naik seiring dengan meningkatnya suku bunga acuan BI.
”Karena akan mengganggu perekonomian kita, perlu ada dukungan pemerintah dari segi fiskal, salah satunya dengan relaksasi pajak bagi properti dan kendaraan bermotor,” kata Bhima.
Selain itu, pemerintah dan BI perlu waspada terhadap gejolak harga energi serta memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak naik kembali karena akan makin memukul daya beli masyarakat. Nilai tukar rupiah yang melemah juga dapat meningkatkan inflasi impor.
Kenaikan suku bunga acuan yang agresif juga dapat berpengaruh pada tingkat pengangguran di Indonesia. Perlambatan ekonomi akan berdampak pada meningkatnya pengangguran.
”Pemerintah dan BI perlu berhati-hati dengan tingkat pengangguran di Indonesia. Terlebih lagi saat ini sedang terjadi badai pemutusan hubungan kerja di berbagai perusahaan,” ujar peneliti ekonomi pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda. (Z01)