Sejumlah ekonom dan analis pasar modal menilai kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia berada di luar ekspektasi. Namun, langkah moneter itu masih akan berlanjut di tengah tekanan inflasi tahun 2022-2023.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku pasar modal menilai keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan, Kamis (22/9/2022), di atas ekspektasi pelaku pasar. Meski demikian, langkah moneter itu tidak mengejutkan karena potensi kenaikan inflasi pada tahun 2022-2023. Sejumlah analis memperkirakan kenaikan suku bunga akan berlanjut.
Beberapa ekonom di sekuritas bahkan memperkirakan kenaikan tingkat suku bunga acuan masih akan berlanjut pada tahun depan. ”Kami menaikkan asumsi kenaikan BI rate (suku bunga acuan Bank Indonesia) dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen pada semester II-2022. Kami memperkirakan BI akan menaikkan tingkat suku bunganya sampai ke 5 persen pada 2023,” kata ekonom senior RHB Sekuritas, Barnabas Gan, dalam risetnya, Jumat (23/9/2022).
Senada dengan Barnabas Gan, analis Mirae Aset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, mengatakan, keputusan BI tersebut merupakan langkah front loaded, pre emptive, dan forward looking. ”Hal tersebut untuk mengantispiasi kenaikan ekspektasi inflasi sekaligus mengembalikan inflasi inti ke targetnya, yaitu 3 persen plus minus 1 persen. Kami memperkirakan kenaikan 50 basis poin lainnya pada pertemuan berikutnya dan kenaikan 25 basis poin pada November sehingga bunga tetap 5 persen pada akhir tahun,” jelas Rully.
Barnabas Gani melanjutkan, kenaikan tingkat suku bunga tersebut menunjukkan kekhawatiran atas kenaikan inflasi pangan di tengah pelemahan rupiah. RHB menaikkan asumsi inflasi karena kenaikan harga bahan bakar bersubsidi. Asumsi laju inflasi naik dari 4 persen menjadi 6 persen dan laju inflasi inti dari 3 persen menjadi 4 persen pada 2022. Sementara pada 2023, laju inflasi dari 2,4 persen menjadi 7 persen dan laju inflasi inti dari 2 persen menjadi 4,5 persen.
Kenaikan tingkat suku bunga di tengah kenaikan inflasi membuat perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) ikut melemah pada semester II-2022. ”Indeks acuan kami menunjukkan GDP (PDB) Indonesia dapat naik menjadi 4,9 persen secara tahunan pada semester II-2022 dari 5,2 persen secara tahunan pada semester I-2022. Indeks kami tidak menunjukkan sinyal resesi di Indonesia, tetapi pertumbuhan GDP akan tetap didukung oleh sektor pariwisata dan pemulihan tingkat konsumsi,” kata Barnabas.
Optimisme serupa disampaikan oleh Rully. Menurut Rully, perekonomian Indonesia akan terus memulih walau menghadapi berbagai tantangan. ”Di tengah berbagai tantangan, termasuk inflasi tinggi, kenaikan suku bunga serta ketidakpastian ekonomi global, kami yakin perekonomian Indonesia akan terus pulih,” ujarnya.
Perekonomian Indonesia akan terus memulih walau menghadapi berbagai tantangan.
Rully menambahkan, pihaknya memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia mencapai 5,08 persen tahun ini dibandingkan dengan 3,69 persen 2021. ”Berdasarkan data historis, kami memperkirakan pengetatan moneter akan berdampak pada aktivitas ekonomi dalam dua triwulan ke depan. Oleh karena itu, kami percaya pertumbuhan PDB domestik akan sedikit melambat pada triwulan II-2023,” kata Rully.
Barnabas mencermati, kenaikan suku bunga acuan BI ini juga tidak dapat menahan pelemahan kurs rupiah. Rupiah hanya berubah sedikit setelah keputusan BI dan tetap berada di atas Rp 15.000 per dollar AS. Jika dilihat sejak awal tahun, rupiah melemah 5 persen terhadap dollar AS. Walaupun demikian, rupiah tetap menjadi mata uang yang paling kuat di kawasan Asia.
Rupiah tetap melemah karena ada pelemahan momentum harga komoditas pada paruh kedua 2022. Pelemahan harga komoditas ini menurunkan surplus neraca dagang Indonesia. Selain itu, inflasi juga lebih tinggi pada semester kedua 2022 dan tren kenaikan suku bunga global dalam jangka panjang, terutama di negara berkembang.