Stok beras yang dikelola Bulog dinilai terlalu kecil dan tak cukup untuk meredam kenaikan harga hingga akhir tahun. Pemerintah persilakan Bulog serap gabah/beras dengan skema komersial untuk mendongkrak stok.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI, MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Alarm perberasan nasional dinilai tengah berbunyi lantaran stok yang dikelola Perum Bulog berada di bawah 1 juta ton. Stok sebesar itu dianggap kurang dan sulit untuk mengintervensi pasar guna mengerem laju inflasi bahan makanan, khususnya yang bersumber dari beras.
Di tengah situasi tersebut, Bulog merasa kesulitan untuk menaikkan stoknya ke angka yang diharapkan pemerintah, yakni 1,2 juta ton. Sebab, situasi harga gabah atau beras di lapangan relatif tinggi dan suplainya terbatas.
Data stok beras dan pembahasan itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang digelar secara hibrida, Rabu (16/11/2022). Ketua Komisi IV DPR RI Sudin memimpin rapat tersebut dan dihadiri oleh Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi serta Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso.
Per 13 November 2022, total stok beras yang dikelola Bulog mencapai 651.437 ton. Adapun cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog sebesar 516.292 ton. Jumlah itu menurun dibandingkan data per 14 Oktober 2022 yang mencatatkan total stok beras 730.105 ton sedangkan CBP 693.812 ton.
Menurut Arief, beras merupakan salah satu kontributor tertinggi terhadap laju kenaikan indeks harga konsumsi atau inflasi. NFA mendata, kenaikan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dan beras medium di tingkat konsumen sejak Juli 2022 telah mencapai 15,7 persen dan 4,26 persen. “Perspektif pasar ialah, stok (yang dikelola) Bulog berada di bawah 1 juta ton menandakan bahaya,” katanya dalam rapat.
Adapun stok beras total nasional saat ini berkisar 6,6 juta ton. Angka itu sudah termasuk stok yang dikelola Bulog. Mayoritas stok beras nasional, yakni sekitar 3,38 juta ton, berada di rumah tangga penduduk berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS). Sementara kebutuhan beras nasional mencapai sekitar 2,5 juta ton per bulan.
Sekretaris Menteri Negara Pangan 1993-1999, Sapuan Gafar menilai, stok beras nasional (CBN) sebanyak 6,6 juta ton itu riskan untuk mengharap harganya tidak naik pada akhir Desember. Stok CBN pada awal November idealnya lebih dari 8,5 juta ton.
Panen memang akan terjadi di sejumlah daerah, seperti Sragen, Ngawi, Madiun, Kudus, dan Pemalang. Namun, kata Sapuan, jumlahnya tidak cukup signifikan untuk meredam harga.
Sementara itu, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk pengadaan CBP yang dikelola Bulog diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras. Regulasi itu menyebutkan, HPP untuk GKP di tingkat petani ditetapkan Rp 4.200 per kilogram (kg). Adapun HPP beras di gudang Bulog sebesar Rp 8.300 per kg.
Di lapangan, situasi harga sudah lebih tinggi dibandingkan HPP. Menurut data Panel Harga Badan Pangan Nasional, harga rata-rata beras medium di tingkat pedagang pengecer mencapai Rp 11.120 per kg pada Rabu (16/11). Adapun harga gabah di tingkat petani Rp 5.030 per kg GKP.
Dengan situasi itu, Arief menyatakan, pihaknya berharap stok yang dikelola Bulog bisa mencapai 1,2 juta ton pada akhir tahun 2022. “Kami sudah memberikan fleksibilitas HPP hingga Rp 8.800 per kilogram (kg) dan mencabutnya. Kini, kami menyilakan Bulog menyerap gabah/beras dari dalam negeri dengan skema komersial atau harga berapapun yang berlaku di pasar. Jika pengadaan dalam negeri masih kurang, ada opsi dari luar negeri,” ujarnya.
Menurut Budi Waseso, kebijakan fleksibilitas HPP tidak berdampak karena harga beras yang sering ditemukan sekitar Rp 8.900 per kg. Setelah diperbolehkan menyerap dengan skema komersial, pihaknya tetap merasa sulit lantaran suplai di lapangan terbatas, salah satunya akibat bencana banjir yang berdampak pada sawah dan menggerus produksi.
“Jika (situasi itu) berlarut-larut, stok beras Bulog tidak cukup untuk mengendalikan inflasi,” katanya.
Terkait opsi pengadaan dari luar negeri, Budi menilai, ada sejumlah tantangan, misalnya sejumlah negara mulai membatasi ekspor beras, ketersediaan pengangkutan, serta pelemahan rupiah. Padahal, realisasinya mesti cepat.
Menurut Anggota Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi, perberasan nasional dalam situasi sulit. Pengadaan beras dari produksi dalam negeri sulit optimal di akhir tahun karena panen berkurang dan mayoritas petani sudah memasuki masa tanam. Biasanya, mayoritas penyerapan gabah/beras di dalam negeri berasal dari momen panen raya, yakni biasa terjadi pada Maret hingga Juni.
Sementara untuk mengimpor beras, lanjut Bayu, membutuhkan waktu setidaknya 2,5 bulan dari penetapan keputusan. “Butuh waktu mulai dari persiapan hingga pengiriman barang. Di sisi lain, inflasi pangan dalam negeri cenderung meningkat,” ujarnya.
Biasanya, mayoritas penyerapan gabah/beras di dalam negeri berasal dari momen panen raya, yakni biasa terjadi pada Maret hingga Juni.
Di tengah tekanan perlambatan global, Bayu berpendapat, Indonesia perlu berdiplomasi, misalnya dengan Thailand dan Vietnam karena sama-sama berada dalam ASEAN. Indonesia juga dapat berdiplomasi dengan India di tengah pertemuan G20.
Anggota Komisi IV DPR RI Sutrisno mengkhawatirkan harga pangan ke depan akan meningkat karena kenaikan harga energi dan transportasi. "Jangan lalai sehingga kita nanti kekurangan pangan," ujarnya.