Usaha budidaya padi dinilai semakin tidak menjanjikan di tengah kenaikan ongkos produksi dan harga jual yang tidak optimal. Kalangan petani minta pemerintah menaikkan harga pembelian guna memastikan insentif usaha.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha menanam padi dinilai makin tidak menguntungkan seiring naiknya ongkos produksi serta penurunan harga gabah dan beras di tingkat petani. Sebagian petani beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menjanjikan secara ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, Kamis (29/9/2022), menyebutkan, berdasarkan hasil kajian dan survei bulanan oleh AB2TI selama hampir tiga tahun, yakni dari Agustus 2019 hingga Juni 2022, harga gabah dan beras cenderung turun di tingkat usaha tani.
”Saat ini bertanam padi tidak menguntungkan, hal ini menyebabkan sebagian petani beralih komoditas sehingga produksi padi justru mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir, yaitu sebesar 7,7 persen tahun 2019, lalu naik 0,09 persen tahun 2020, dan turun lagi 0,42 persen tahun 2021,” ujarnya.
Iklim kemarau basah atau La Nina tahun 2020 dan 2021 tidak mendongkrak produksi. Padahal, kata Guru Besar Pertanian IPB University itu, selama 20 tahun terakhir fenomena La Nina berhasil meningkatkan produksi padi dengan sangat tajam, yakni dengan angka kenaikan terendah mencapai 4,7 persen pada tahun 2007.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) sejalan dengan hasil survei tersebut. Menurut BPS, produksi beras nasional mencapai 31,36 juta ton pada tahun 2021, lebih rendah dibandingkan produksi tahun 2020 yang tercatat 31,5 juta ton. Penurunan itu sejalan dengan turunnya luas panen dari 10,66 juta hektar tahun 2020 menjadi 10,41 juta hektar tahun 2021.
Situasi yang dihadapi petani padi tergambar dalam data nilai tukar petani (NTP). Sepanjang Februari-Desember 2021, BPS mencatat, NTP subsektor tanaman pangan berada di bawah 100. Artinya, indeks harga yang harus dibayarkan oleh petani (IB) lebih tinggi dibandingkan indeks harga yang diterima oleh petani. Situasi itu sejalan dengan rendahnya harga gabah di tingkat petani. Menurut data BPS, kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) selalui terjadi 28 bulan berturut-turut hingga Juli 2022.
Ongkos produksi
Kecenderungan turunnya produksi itu terjadi di tengah kenaikan biaya produksi padi tiga tahun terakhir. Berdasarkan hasil perhitungan AB2TI dalam Rapat Kerja Nasional 2019, kata Dwi Andreas, biaya produksi mencapai Rp 4.523 per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP). Sementara saat ini (2022), biaya produksi GKP telah melonjak menjadi Rp 5.876 per kg.
Kenaikan biaya produksi tersebut didorong oleh naiknya harga semua komponen biaya usaha tani. Komponen itu meliputi sewa lahan, upah buruh tani, dan sarana produksi yang naik dalam kisaran 25–35 persen selama tiga tahun terakhir.
Salah satu sarana produksi yang dikeluhkan petani adalah pupuk. Pupuk subsidi makin sulit didapatkan oleh petani, sementara harga pupuk nonsubsidi melonjak tinggi seiring kenaikan harga gas dan bahan baku pupuk lain di tengah konflik geopolitik di tingkat global.
Ketua Kelompok Tani Bersatu dari Desa Baruara, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Ronal Tambunan (53) mengatakan, krisis pupuk di kawasan Danau Toba sangat memukul petani. ”Jangankan untuk tanam dua kali, untuk tanam sekali setahun pun, kami kekurangan pupuk. Sementara pupuk nonsubsidi harganya selangit,” kata Ronal.
Ia merasakan krisis pupuk yang dihadapi petani makin dalam sehingga membuat produksi padi terus turun. ”Disebut krisis pupuk karena pasokan pupuk bersubsidi tidak cukup, datang tidak tepat waktu, sementara harga pupuk nonsubsidi sangat mahal,” katanya.
Keluhan serupa disampaikan sejumlah petani di Majalengka, Jawa Barat. Menurut Ny Oon (63), Ketua Kelompok Tani Ciwandamukti dari Lemahsugih, Kecamatan Jatiwangi, Kamis (22/9/2022), harga GKP di kampungnya sekitar Rp 5.000 per kg. Kendati di atas HPP, yakni Rp 4.200 per kg GKP, angka itu belum menguntungkan. ”Bahkan, kalau musim panen, harganya hanya Rp 4.000 per kg,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, AB2TI usul agar pemerintah segera menaikkan HPP menjadi Rp 6.000 per kg GKP. Menurut Dwi Andreas, kenaikan HPP diharapkan membuat petani bersemangat kembali sehingga perlahan mendongkrak produksi padi yang rata-rata turun 0,35 persen per tahun selama 2015-2021.
Sebelumnya, dalam Diskusi Ekonomi Berdikari yang digelar harian Kompas di Jakarta, Selasa (13/9/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, ketahanan pangan menjadi prioritas pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan. ”Langkah pemerintah (antara lain) meningkatkan produktivitas pada jagung, juga untuk kedelai dan beras (padi),” ujarnya.
Dalam jangka pendek, pemerintah mengupayakan ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga pangan guna mengendalikan inflasi. Untuk komoditas beras, misalnya, ada penugasan kepada Perum Bulog untuk menyiapkan 1,2 juta ton cadangan beras pemerintah.
Pemerintah juga mengupayakan pembiayaan dengan bunga rendah dan mekanisme jual rugi untuk memperkuat fungsi Bulog. Ketersediaan pangan dan pengendalian inflasi pun jadi perhatian. ”Stok pangan di daerah dan harga akan dimonitor,” ujarnya.