Risiko Iklim Ancam Potensi Kenaikan Produksi Beras Indonesia
Produksi beras nasional tahun ini diperkirakan 32,07 juta ton atau naik dibandingkan produksi tahun lalu yang 31,36 juta ton. Namun, curah hujan tinggi akibat La Nina perlu diwaspadai di tiga bulan terakhir tahun ini.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Curah hujan tinggi akibat La Nina mengancam potensi kenaikan produksi beras nasional. Kondisi ini patut diwaspadai karena tren realisasi produksi beras Indonesia sepanjang Januari-September 2022 menunjukkan penurunan.
Badan Pusat Statistik memperkirakan, luas panen padi Indonesia sepanjang 2022 mencapai 10,61 juta hektar. Angka tersebut mencakup data pada periode Oktober-Desember 2022 yang bersifat potensi. Luas itu meningkat 1,87 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 10,41 juta hektar.
Peningkatan luas panen itu ditopang oleh Jawa Barat yang luas panennya bertambah 81.186 hektar, Sulawesi Selatan (56.949 hektar), dan Kalimantan Barat (48.950 hektar). ”Potensi kenaikan ini disebabkan oleh terairinya kembali sejumlah lahan di sana. Sebelumnya, lahan-lahan itu tidak terairi karena sumbernya rusak akibat banjir,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto saat konferensi pers di Jakarta, Senin (17/10/2022).
Potensi kenaikan lahan panen itu berdampak pada produksi gabah dan beras. Data BPS menunjukkan, produksi gabah kering giling (GKG) sepanjang 2022 dapat meningkat 2,31 persen dari tahun sebelumnya menjadi 55,67 juta ton. Sementara produksi beras pada 2022 diproyeksikan naik 2,29 persen menjadi 32,07 juta ton. Angka produksi tersebut bersifat sementara.
Meskipun demikian, luas panen sepanjang Januari-September 2022 berkisar 8,76 juta hektar atau lebih rendah 0,86 persen dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya. Imbasnya, produksi GKG pada periode tersebut menurun 0,19 persen menjadi 45,43 juta ton sedangkan produksi beras melorot 0,22 persen menjadi 26,17 juta ton.
Proyeksi kenaikan lahan panen serta produksi GKG dan beras sepanjang 2022 berasal dari potensi peningkatan pada Oktober-Desember. Lahan panen pada Oktober-Desember 2022 diperkirakan melonjak 16,45 persen dari periode sama tahun sebelumnya menjadi 1,91 juta hektar. ”Potensi (kenaikan) tiga bulan tersebut perlu dijaga agar tidak turun akibat faktor iklim,” ujar Setianto.
Potensi kenaikan luas lahan panen itu berdampak pada potensi kenaikan produksi GKG pada Oktober-Desember 2022 sebesar 15,06 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya menjadi 10,24 juta ton. Produksi beras juga diproyeksikan naik 15,12 persen menjadi 5,9 juta ton. Agar realisasi produksi dapat mendekati angka proyeksi, Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah menyatakan, faktor iklim menjadi indikator yang patut diperhatikan.
Sebelumnya, Kantor Meteorologi (Bureau of Meteorology) Australia memublikasikan, indeks kondisi iklim di Samudera Pasifik menunjukkan adanya fenomena La Nina kuat hingga awal 2023 dan mereda pada Maret 2023. Data ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC) menunjukkan, La Nina akan menyebabkan kondisi iklim yang lebih basah di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
ASMC memperkirakan, curah hujan di sejumlah wilayah di Indonesia akan berada di atas normal hingga Desember 2022, misalnya Pulau Jawa; Nusa Tenggara dan Bali; Pulau Kalimantan bagian timur, selatan, dan barat; Pulau Sulawesi; Pulau Maluku; serta Pulau Papua.
Harga gabah
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja mengkhawatirkan bencana tanah longsor pada lahan pertanian yang dapat berimbas pada gagal panen. ”Kami juga berharap, gabah dapat dibeli dengan harga wajar meskipun kadar airnya tinggi akibat curah hujan tinggi saat panen,” katanya saat dihubungi, Senin.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, potensi kenaikan produksi sepanjang Oktober-Desember 2022 dibayangi oleh risiko banjir, apalagi jika tanaman padi tergenang hingga 2-3 hari berturut-turut. Selain itu, pemerintah juga perlu mengantisipasi ancaman serangan hama, salah satunya wereng.
Di sisi lain, dia juga menyoroti penurunan produksi sepanjang Januari-September 2022. La Nina semestinya berdampak pada peningkatan produksi pada periode tersebut. Berdasarkan data yang dia himpun, kenaikan terendah produksi selama La Nina terjadi pada 2007, yakni 4,7 persen, sedangkan peningkatan tertinggi terjadi pada 2016, yakni 9,6 persen.
Penurunan produksi saat La Nina itu, kata Dwi, disebabkan oleh tren harga gabah yang cenderung turun dalam periode yang panjang sehingga menurunkan minat petani menanam padi. ”Berdasarkan catatan saya, harga gabah di tingkat petani cenderung menurun sepanjang April 2019 hingga Juni 2022,” ujarnya.