Kebijakan Perlindungan Tekstil dan Produk Tekstil Domestik Diperpanjang
Perdagangan tekstil dan produk tekstil impor masih cukup masif di Indonesia. Pemerintah akan melanjutkan kebijakan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan dan antidumping TPT impor hingga 2023.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan memperpanjang kebijakan perlindungan industri tekstil dan produk tekstil domestik dari serbuan produk-produk impor hingga tahun depan. Kebijakan itu berupa pengamanan perdagangan atau safeguard dan antidumping melalui pengenaan bea masuk pengamanan perdagangan dan antidumping.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri, Minggu (30/10/2022), mengatakan, sejak 2019, pemerintah menggulirkan kebijakan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk antidumping (BMAD) untuk melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri. Kedua kebijakan yang berakhir pada November 2022 ini akan dilanjutkan hingga 2023.
”Kedua kebijakan itu akan ditopang dengan pengawasan, termasuk penindakan perdagangan TPT dan pakaian bekas yang diimpor secara ilegal,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Sejak 2019, pemerintah menggulirkan kebijakan BMTP dan BMAD untuk melindungi industri TPT di dalam negeri. Kedua kebijakan yang berakhir pada November 2022 ini akan dilanjutkan hingga 2023.
Hingga kini ada tiga regulasi pengenaan BMTP dan satu regulasi pengenaan BMAD. Regulasi BMTP pertama adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 54 Tahun 2020. Regulasi ini mengatur pengenaan BMTP produk tirai atau gorden, kelambu tempat tidur, dan kerai dalam impor. BMTP yang dikenakan berlaku surut dalam tiga periode, mulai dari Rp 41.083 per kilogram (kg) kemudian turun menjadi Rp 28.839 per kg.
Kedua, PMK Nomor 56/2020 yang mengatur pengenaan BMTP benang (selain benang jahit) dari serat staple sintetis dan artifisial. BMTP yang dikenakan berlaku surut dalam tiga periode (27 Mei 2020-9 November 2022), mulai dari Rp 1.405 per kg kemudian turun menjadi Rp 979 per kg.
Ketiga, PMK Nomor 34/2022. Produk impor yang dikenai BMPT dalam regulasi itu adalah produk kain. Ada 107 pos tarif yang dikenai BMTP dengan nilai beragam, mulai dari terendah Rp 1.562 per meter hingga tertinggi Rp 26.590 per meter.
Adapun produk yang dikenai BMAD adalah serat staple poliester dari India, China, dan Taiwan. Besaran BMAD yang dikenakan selama tiga tahun (2019-2022) itu juga beragam, mulai dari terendah sebesar 5,82 persen dan tertinggi 28,47 persen. Hal itu diatur dalam PMK Nomor 114/2019 yang diundangkan pada 5 Agustus 2019.
Menurut Kasan, tren impor produk TPT dalam lima tahun terakhir (2017-2021) turun sebesar 2,57 persen. Empat produk dengan nilai impor terbesar dalam periode tersebut adalah kain, serat kapas dan serat lainnya, benang, dan serat sintetik.
Dalam lima tahun terakhir, nilai impor kain turun 0,75 persen, serat kapas dan serat lainnya 9,32 persen, serta serat sintetis 9,95 persen. Hanya benang yang menunjukkan tren naik, yakni 1,9 persen.
”Ada sejumlah faktor yang menyebabkan penurunan tren impor itu, seperti imbas pandemi Covid-19, substitusi impor, serta pengenaan BMTP dan BMAD,” katanya.
Kemendag mencatat, nilai impor TPT pada 2021 sebesar 9,22 miliar dollar AS. Dalam periode 2017 hingga 2021, nilai impor produk-produk itu berkisar 8,78 miliar dollar AS hingga 9,99 miliar dollar AS dengan nilai impor terendah pada 2020, yakni 6,98 miliar dollar AS. Negara utama asal impor TPT tertinggi Indonesia adalah China dengan kontribusi sekitar 40 persen dari total impor, Korea Selatan 9 persen, dan Vietnam 7 persen.
Kesulitan pemasaran
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menuturkan, pelaku industri TPT tidak hanya kesulitan memasarkan produk-produknya ke luar negeri, tetapi juga di dalam negeri. Pasar luar negeri tengah lesu karena daya beli masyarakat global turun akibat stagflasi.
Sementara di dalam negeri, produk-produk TPT impor dari China, Bangladesh, Vietnam, dan India semakin marak. Negara-negara tersebut juga kesulitan menjual produk-produknya ke pasar utama mereka, yakni Amerika Serikat, sehingga menjualnya ke Indonesia dengan harga lebih murah.
”Kami berharap pemerintah semakin masif melindungi pasar TPT domestik agar tidak semakin tergerus oleh produk-produk impor. Hal itu sangat penting lantaran banyak pelaku usaha domestik yang mengandalkan pasar domestik untuk memulihkan usaha setelah terpuruk akibat Covid-19,” tuturnya.
Kami berharap pemerintah semakin masif melindungi pasar TPT domestik agar tidak semakin tergerus oleh produk-produk impor. Hal itu sangat penting lantaran banyak pelaku usaha domestik yang mengandalkan pasar domestik untuk memulihkan usaha setelah terpuruk akibat Covid-19.
API mencatat, pelambatan ekonomi global dan peredaran produk-produk TPT impor membuat rata-rata omzet pelaku industri TPT domestik turun 30 persen. Selain itu, sebanyak 45.000 pekerja telah dirumahkan pada Januari-September 2022, sedangkan yang masih bekerja dikurangi jam kerjanya.
Jemmy menambahkan, API juga berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku. Salah satunya dengan menggunakan bahan baku benang rayon atau serat viskosa yang diproduksi di dalam negeri.
Berdasarkan data Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), kapasitas produksi bahan baku rayon di Indonesia pada 2022 meningkat dari 850.000 ton per tahun menjadi 1 juta ton per tahun. Pada 2025-2026, kapasitas produksinya diperkirakan naik hingga 1,3 juta ton per tahun.
Selain serat rayon, Indonesia juga memiliki potensi serat kapuk. Pada zaman kolonial Belanda, Indonesia juga dikenal sebagai produsen kapuk randu (Ceiba pentandra). Balai Penelitian Tanaman Manis dan Serat (Balittas) mencatat, pada 1936-1937, Indonesia merupakan pengekspor terbesar serat kapuk di dunia. Volume ekspornya 28.400 ton serat kapuk atau sekitar 85 persen kebutuhan serat kapuk dunia.
Hingga kini, Indonesia memiliki 155 plasma nutfah kapuk yang dilestarikan di lahan seluas 94 hektar di Kebun Percobaan Muktiharjo dan Ngemplak, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sejak zaman kolonial Belanda, kawasan Jawa Tengah bagian timur tersebut terkenal dengan sebutan negeri ”Java Kapok” atau Kapuk Jawa (Ekspedisi Anjer-Panaroekan, November 2008).
Untuk kapuk, kata Jemmy, potensinya memang cukup besar. Namun, pembudidayaannya sebagai tanaman produktif tidak ditunjang dengan riset dan pengembangan yang dapat menopang bahan baku industri TPT secara berkelanjutan.