Dorong Kemandirian Bahan Baku Tekstil, Substitusi Impor Perlu Dipacu
Industri tekstil perlu mengurangi ketergantungan pada impor serat kapas dan menggantinya dengan serat lain yang bisa diproduksi lokal. Kehadiran neraca komoditas membantu memetakan pasokan-permintaan dari hulu-hilir.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri ataupun ekspor, tetapi menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki modal kuat untuk mencapai kemandirian industri tekstil dan produk tekstil atau TPT. Namun, modal itu perlu didukung dengan kebijakan jaminan pasar serta sistem yang terintegrasi untuk memacu substitusi impor dan memperkuat daya saing sektor hulu tekstil.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Ravi Shankar dalam acara simposium APSyFI yang diadakan secara virtual, Kamis (12/8/2021), mengatakan, permintaan serat di pasar global dan dalam negeri sedang bertumbuh pesat. Kapas tidak lagi mendominasi konsumsi serat global. Preferensi konsumsi serat di seluruh dunia mulai beralih ke serat buatan.
Ini menjadi peluang besar untuk Indonesia, yang merupakan rumah dari dua serat utama dunia, yaitu poliester dan rayon. Adapun poliester adalah serat buatan, sementara rayon merupakan serat semibuatan.
Tidak hanya potensi di pasar global, pasar domestik juga menjanjikan. Konsumsi serat per kapita Indonesia pada tahun 2030 diproyeksikan tumbuh menjadi 13,47 kilogram. Sebagai perbandingan, saat ini konsumsi serat per kapita Indonesia masih 8,1 kilogram.
Ravi mengatakan, perlu ada langkah yang sistematis dari pemerintah untuk memacu substitusi impor di sektor TPT. Industri dalam negeri memiliki ketergantungan cukup tinggi pada penggunaan kapas, yaitu hingga 30 persen dari total konsumsi serat per tahun 2020. Karena tidak bisa memproduksi kapas, impor kapas Indonesia bahkan mencapai 98 persen.
Konsumsi serat per kapita Indonesia pada tahun 2030 diproyeksikan tumbuh menjadi 13,47 kilogram. Sebagai perbandingan, saat ini konsumsi serat per kapita Indonesia masih 8,1 kilogram.
Perajin sedang membuat songket Aceh di Desa Mireuk Taman, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Jumat (8/1). Industri tekstil Aceh mengalami hambatan untuk berkembang lebih baik, terutama kerajinan tenun songket dan bordir khas Aceh. Kondisi ini akibat keterbatasan bahan baku yang membuat perajin tidak bisa berkreasi lebih baik.
”Indonesia sebenarnya punya peluang bagus untuk mensubstitusi kapas dengan poliester dan rayon. Atau memanfaatkan serat alami yang lain di luar kapas sesuai apa yang bisa diproduksi di dalam negeri seperti sutra atau rami,” kata Ravi.
Melalui program substitusi impor, Kementerian Perindustrian menargetkan menekan impor TPT pada tahun 2022 ke angka Rp 62,02 triliun. Sebagai perbandingan, pada 2019 impor di sektor TPT masih senilai Rp 95,42 triliun.
Pada tahun 2020, target impor diturunkan menjadi Rp 82,06 triliun, tetapi realisasinya bisa ditekan sampai Rp 68,01 triliun lantaran terpengaruh pandemi Covid-19. Tahun ini, pemerintah memasang target impor Rp 74,43 triliun. Sampai triwulan I-2021, realisasi impor tercatat senilai Rp 19,65 triliun.
Selama 5-6 tahun terakhir, ekspor Indonesia di sektor TPT cenderung stagnan, sementara impornya terus menanjak sampai komposisi impor mencapai 60 persen dari nilai ekspor.
Data Kementerian Perindustrian, industri dalam negeri banyak mengekspor pakaian jadi, tetapi masih minim menggunakan bahan baku/penolong lokal. Pada Januari-Juni 2021, misalnya, ekspor serat hanya 9,5 persen dari total ekspor TPT, sementara impor serat mencapai 20,1 persen dari total impor TPT.
Kementerian Perindustrian menargetkan menekan impor TPT pada tahun 2022 ke angka Rp 62,02 triliun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2019 impor di sektor TPT masih senilai Rp 95,42 triliun.
”Sementara kalau dibandingkan dengan Bangladesh yang merupakan salah satu pesaing utama kita di sektor TPT, ekspor mereka terus meningkat, sementara impornya hanya 25 persen dari ekspor. Ini perlu kita jadikan patokan untuk segera mendorong realisasi substitusi impor,” kata Ravi.
Neraca komoditas
Sejalan dengan itu, investasi baru juga memainkan peran penting untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing produksi industri TPT. Industri dalam negeri juga perlu diberi insentif jika berhasil memenuhi capaian komposisi penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) hingga 75 persen.
”Kita harus fokus membangun integrasi industri TPT. Awasi ketat produk impor, lakukan substitusi produk impor dari hulu ke hilir sebanyak mungkin. Prioritaskan penggunaan produk domestik sebagai penyangga kebutuhan nasional,” ujar Ravi.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan, pemerintah saat ini sedang mengejar pembuatan neraca komoditas untuk memetakan permintaan dan penawaran dari sektor hulu ke hilir.
Pemerintah saat ini sedang mengejar pembuatan neraca komoditas untuk memetakan permintaan dan penawaran dari sektor hulu ke hilir.
Pedagang kain menunggu pembeli di kios kain di kawasan Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Selasa (17/9/2019). Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional menghadapi beragam tantangan. Mulai dari aspek regulasi, pembiayaan, biaya energi, logistik, produktivitas, hingga serbuan tekstil impor ilegal. Dibutuhkan upaya untuk meningkatkan daya saing sektor industri tekstil nasional yang dapat memberi konstribusi lapangan kerja dan devisa.
Neraca komoditas ini akan berisi informasi mengenai ketersediaan bahan baku dan bahan penolong industri yang bisa disiapkan di dalam negeri. Informasi di neraca komoditas akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan impor produk TPT, dari bahan baku sampai produk akhir.
Khayam menambahkan, diperlukan sistem yang bisa memetakan pasokan-permintaan secara terintegrasi dari hulu ke hilir agar kebijakan substitusi impor tetap terukur. Pemerintah harus menjaga agar kebijakan pembatasan impor bahan baku/penolong tidak sampai menjadi kendala produksi di sektor hilir TPT.
”Setelah dipetakan, nanti diverifikasi. Misalnya, kapasitas produksi perusahaan berapa, seperti apa kualitas bahan bakunya. Data itu dimasukkan ke sistem informasi pemerintah. Ini yang nanti akan dipakai bersama untuk mengendalikan kebijakan impor. Jadi, kita tahu secara jelas, tidak abu-abu seperti sebelumnya,” ucap Khayam.