Untuk menangani persoalan importasi gelap secara komprehensif, perlu dilakukan investigasi besar menyisir dan mengaudit kinerja importir tekstil di seluruh Indonesia.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Kompas/Priyombodo
Pedagang kain kiloan menunggu pembeli di kawasan pasar Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Senin (14/10/2019). Industri tekstil dalam negeri tengah lesu. Selain dampak dari perang dagang Amerika Serikat-China, kebocoran impor tekstil dan produk tekstil dinilai menjadi penyebab.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus impor ilegal yang marak muncul dalam dua tahun terakhir menjadi ancaman serius bagi kelangsungan industri tekstil dan perekonomian nasional. Diperlukan audit dan verifikasi menyeluruh terhadap kinerja importir untuk mengawasi dan menindak perusahaan-perusahaan bodong yang selama ini dibiarkan merajalela.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi, Rabu (13/1/2021), mengatakan, solusi jangka panjang untuk mencegah importasi ilegal adalah melakukan perbaikan fundamental dan menyeluruh di industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Salah satu penyebab importasi ilegal tekstil adalah karena adanya disparitas harga yang tinggi antara harga tekstil dalam negeri dan luar negeri.
Disparitas harga yang tinggi ini bisa terjadi karena banyak faktor, mulai dari struktur pasokan dan permintaan yang tidak seimbang sampai tata kelola industri yang tidak efisien. Hal itu diperparah dengan regulasi impor yang terlalu longgar, pengawasan dan verifikasi yang buruk, hingga adanya oknum-oknum petugas di lapangan yang ikut bermain.
”Dua tahun terakhir ini, importasi ilegal tekstil cukup marak dan telah merugikan negara sampai triliunan rupiah. Itu jelas mengganggu pertumbuhan industri tekstil,” kata Suharno dalam diskusi daring ”Penyelamatan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Nasional dari Tindakan Importasi Ilegal” di Jakarta.
Dua tahun terakhir ini, importasi ilegal tekstil cukup marak dan telah merugikan negara sampai triliunan rupiah. Itu jelas mengganggu pertumbuhan industri tekstil.
Serbuan banjir impor produk tekstil murah umumnya datang dari China, Bangladesh, dan Vietnam. Importasi ilegal itu menekan kinerja industri TPT dalam negeri dengan perbedaan harga antara produk tekstil nasional dan impor yang mencapai hingga 50 persen. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan memecat karyawannya karena tidak mampu bersaing.
Padahal, industri TPT adalah sektor manufaktur strategis yang berperan besar dalam struktur ekonomi nasional. Menurut catatan Ikatsi, kontribusi industri TPT dalam penghematan devisa cukup besar karena peran ekspornya mencapai 11-12 juta dollar AS sepanjang tahun 2020 dan 15 juta dollar AS pada 2019. Pada 2020, industri ini juga menyerap sampai 3,6 juta pekerja.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jemmy Kartiwa menuturkan, pengendalian impor produk tekstil mutlak dilakukan. Audit dan verifikasi harus diperketat sehingga pemberian persetujuan impor benar-benar diberikan kepada perusahaan yang legal serta bertujuan memenuhi kapasitas produksi dalam negeri, bukan justru mengambil pangsa pasar industri lokal.
Apalagi, mengingat, industri TPT dalam negeri umumnya berskala kecil dan menengah. ”Kita bukan anti-impor, tetapi regulasi kita harus melindungi industri dalam negeri. Kalau industri kolaps karena dibanjiri impor, yang akan terdampak duluan adalah industri kecil. Bayangkan banyaknya pekerja yang terpaksa kehilangan pekerjaan,” kata Jemmy.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Wirawasta mengapresiasi langkah Kementerian Perindustrian yang mulai melakukan verifikasi terhadap perusahaan-perusahaan dan membatasi pemberian izin impor untuk produsen.
”Dari hasil verifikasi itu, saya dapat informasi, ditemukan puluhan API-P (Angka Pengenal Impor Produsen) bodong. Selama ini mereka dapat izin impor puluhan juta meter. Setelah diverifikasi, ternyata pabriknya tidak ada, mesin dan tenaga kerjanya tidak ada,” kata Redma.
Ditemukan puluhan API-P (Angka Pengenal Impor Produsen) bodong. Selama ini mereka dapat izin impor puluhan juta meter. Setelah diverifikasi, ternyata pabriknya tidak ada, mesin dan tenaga kerjanya tidak ada.
Pedagang melayani pembelian kain di kawasan Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Selasa (17/9/2019). Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional menghadapi beragam tantangan, mulai dari aspek regulasi, pembiayaan, biaya energi, logistik, produktivitas, hingga serbuan tekstil impor ilegal. Dibutuhkan upaya untuk meningkatkan daya saing sektor industri tekstil nasional yang dapat memberikan konstribusi terhadap lapangan kerja dan devisa.
Investigasi besar
Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Rudi Margono mengemukakan, salah satu hal penting yang harus dibenahi adalah pelaksanaan kebijakan di tataran operasional oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. ”Masih banyak lubang-lubang, banyak pola kegiatan yang menyimpang. Ada semacam pembiaran dari dulu sampai sekarang,” katanya.
Untuk menangani persoalan importasi gelap secara komprehensif, perlu dilakukan investigasi besar menyisir dan mengaudit kinerja importir tekstil di seluruh Indonesia. Pengawasan harus diperketat, berhubung praktik impor ilegal diduga semakin marak. Kasus temuan penyelundupan 27 kontainer angkut barang tekstil asal Batam di Tanjung Priok, Mei 2020 lalu, hanya salah satu contoh.
Untuk menangani persoalan importasi gelap secara komprehensif, perlu dilakukan investigasi besar menyisir dan mengaudit kinerja importir tekstil di seluruh Indonesia.
Rudi menilai, belum ada keterpaduan tindakan antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk mengaudit dan memverifikasi tiap perusahaan sehingga celah-celah melakukan praktik importasi ilegal tetap muncul.
”Kami belum melihat ada kinerja signifikan untuk menangani importir tekstil bodong ini. Bisa saja ada banyak perusahaan yang selama ini menyalahgunakan kebijakan dan mengimpor melebihi kuota setiap tahunnya,” kata Rudi.
Salah satu toko tekstil yang masih buka di pusat grosir dan perbelanjaan Thamrin City, Jakarta Pusat, Sabtu (26/9/2020). Pandemi Covid-19 dan pemberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap kedua menjadikan pengunjung pusat perbelanjaan di Jakarta turun drastis. Kebijakan PSBB diterapkan karena kasus positif Covid-19 yang masih tinggi. PSBB tahap kedua kembali diperpanjang selama dua pekan hingga 11 Oktober 2020.
Direktur Impor Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa mengatakan, dalam pemberian izin importasi, Kemendag bergantung pada rekomendasi Kementerian Perindustrian. Setiap rekomendasi harus berdasarkan verifikasi teknis importasi terlebih dulu.
Kemendag telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 77 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil yang lebih ketat dalam pemberian izin impor.
”Jadi, pengetatan itu sebenarnya sudah ada. Melalui permendag baru, yang bisa mengimpor juga hanya produsen (API-P). API-U (importir umum) bisa saja mengimpor bahan baku, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan IKM,” kata Ketut.