Regulasi Baru Diharapkan Perbaiki Pengelolaan Cadangan Pangan
Selain jenis dan jumlah cadangan pangan pemerintah (CPP), Peraturan Presiden Nomor 125/2022 juga mencakup penyelenggaraan, penugasan BUMN, dan pendanaan. Keberadaannya diharapkan memperbaiki tata kelola cadangan pangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah diharapkan membawa perubahan para pengelolaan cadangan pangan yang lebih efektif dan juga dinamis. Kendati masih diperlukan aturan turunan yang mengatur teknis pelaksanaan, Badan Pangan Nasional diharapkan memiliki kendali lebih dalam penentuan kebijakan terkait pangan.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2022 itu disebutkan, jenis pangan pokok tertentu yang ditetapkan sebagai cadangan pangan pemerintah (CPP) meliputi beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan.
Tahap pertama penyelenggaraan CPP adalah untuk jenis pangan pokok tertentu, yakni beras, jagung, dan kedelai. Adapun penyelenggaraan CPP tahap selanjutnya ditetapkan oleh kepala Badan Pangan Nasional.
Penyelenggaraan CPP dilakukan lewat pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran. Pengadaan CPP diutamakan lewat pembelian produksi dalam negeri, termasuk pembelian dari stok komersial Perum Bulog dan atau BUMN Pangan. Adapun penyaluran CPP ditempuh untuk menanggulangi kekurangan pangan, gejolak harga pangan, bencana alam, bencana sosial, dan atau keadaan darurat.
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Subejo, saat dihubungi pada Jumat (28/10/2022), mengatakan, setelah perpres terkait penyelenggaraan CPP terbit, mekanismenya perlu ditata ulang. Selama ini, Bulog pun telah memiliki fungsi operasi pasar yang diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas) saat harga tinggi.
”Nanti perlu ada kerja sama dengan kementerian/lembaga lain, misalnya dengan Kementerian Sosial terkait bantuan sosial. Jadi tetap ada penyaluran meski tak dalam kondisi krisis. Juga bisa dengan pemerintah daerah-pemerintah daerah yang memiliki program serupa. Dengan demikian, risiko penurunan mutu karena stok terlalu lama disimpan di gudang dapat ditekan,” kata Subejo.
Ke depan diharapkan ada peraturan terkait mekanisme, baik saat krisis maupun dalam kondisi normal tersebut, sehingga Kementerian Sosial tak perlu mencari ke mana-mana saat hendak memberikan bantuan pangan.
Subejo menambahkan, kalaupun hendak melibatkan kementerian/lembaga lain, Badan Pangan Nasional seharusnya diberi otoritas lebih besar dalam pengambilan kebijakan. ”(Badan Pangan Nasional) harus diberi ruang lebih agar bisa menjadi dirigen dan memiliki kewenangan dalam koordinasi serta sebagai penentu,” katanya.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman berharap Perpres Nomor 125/2022 tidak memasung kembali peran Bulog dan BUMN pangan. Artinya, Bulog tidak lagi dipaksa untuk menyerap beras sebagai cadangan beras pemerintah (CBP), tetapi tak diberi kewenangan untuk menyalurkannya karena harus melalui keputusan rakortas.
Badan Pangan Nasional juga diharapkan dapat mengeksekusi sendiri jumlah CPP dan penyalurannya. ”Badan Pangan Nasional itu setara kementerian. Seharusnya tanpa rakortas pun (bisa mengeksekusi kebijakan), jadi (ada keleluasaan) karena urusan mendesak, terutama dalam menjaga ketahanan masyarakat dan inflasi,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Pangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Muhammad Saifulloh, Jumat, menuturkan, dengan Perpres Nomor 125/2022, Badan Pangan Nasional akan diberi kewenangan terkait pangan, misalnya berapa stok dinamis setiap triwulan atau setiap tahun. Beras, misalnya, jika saat ini penguasaan 1,2-1,5 juta ton, nanti akan dinamis.
Saifulloh menambahkan, saat ini stok beras medium di Bulog mencapai 700.000 ton sehingga ada kekhawatiran dari pemerintah. ”Makanya Presiden menyampaikan informasi agar Bulog membeli dengan harga wajar, bukan setinggi-tingginya sehingga pemerintah, melalui Bulog, bisa mendapat CBP yang cukup. Targetnya 1,2 juta ton,” katanya.
Aturan turunan
Perum Bulog menyambut baik terbitnya Perpres Nomor 125/2022. Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Bulog Mokhamad Suyamto, dalam keterangannya, Jumat (28/10/2022), mengatakan, pihaknya telah menerima perpres itu. Selain terkait penyelenggaraan CPP, perpres itu juga terkait kebijakan hulu ke hilir.
Kini, semua pihak pun menanti peraturan turunan dan perpres itu. ”Meskipun perpres ini sudah menjelaskan penyelenggaraan CPP melalui pengadaan, pengelolaan, dan penyalurannya, perlu ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan turunan untuk menjadi dasar operasional penugasan kepada Bulog,” ujarnya.
Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi menyambut baik pengesahan Perpres Nomor 125/2022 tersebut. Sebab, aturan itu menjadi landasan bagi penguatan tata kelola dan ekosistem pangan nasional. Pihaknya pun akan mengawal eksekusi dan implementasi perpres ini secara komprehensif dan rinci.
Arief menuturkan, sebanyak 9 dari 11 komoditas strategis yang ditetapkan sebagai CPP telah dikelola NFA sesuai Perpres Nomor 66/2021. Kini ada penambahan dua komoditas, yakni minyak goreng dan ikan. Adapun penetapan jumlah CPP dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun. Selain itu, NFA juga berperan menetapkan standar mutu masing-masing komoditas, target sasaran pengadaan, dan target penyaluran CPP.
”Kami berkoordinasi intensif bersama Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Himbara (Himpunan Bank-bank Negara), dan BUMN pangan untuk membahas teknis pendanaan pengadaan CPP. Juga menyiapkan aturan teknis skema pengadaannya. Pendanaan CPP bersumber dari APBN dan/atau sumber lain yang sah dan tak mengikat,” kata Arief, Kamis (27/10/2022) malam.
Sementara pada Jumat (28/10/2022), Arief dan Kepala BPS Margo Yuwono menandatangani nota kesepahaman (MOU) terkait kerja sama dalam penyediaan, pemanfaatan, dan pengembangan data dan informasi statistik bidang pangan. Hal tersebut menjadi langkah dalam mendukung terwujudnya Satu Data Indonesia sesuai amanat Perpres Nomor 39 Tahun 2019.
”Integrasi data pangan nasional diperlukan agar stakeholder (pemangku kepentingan) pangan dan pemerintah memiliki rujukan yang pasti. NFA terus melakukan pembenahan pendataan pangan nasional. Kolaborasi dengan BPS diharapkan dapat mempercepat upaya itu,” kata Arief.