Sejumlah aplikasi pangan di daerah dinilai dapat membuat distribusi pangan semakin efisien. Sementara ID Food bekerja sama dengan “start-up” dan siap berkolaborasi dengan negara-negara G20 mengatasi problem pangan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Distribusi perdagangan sejumlah pangan pokok yang semakin efisien perlu terus dijaga di tengah surut dan tumbangnya sejumlah perusahaan rintisan atau start up pangan. Pengembangan aplikasi pangan yang dimotori pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci menjaga efisiensi distribusi itu.
Selama pandemi Covid-19, aplikasi yang menjembatani produsen pangan dengan konsumen akhir berkembang pesat. Hal itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan distribusi pangan pokok yang tecermin dari margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) semakin efisien.
MPP beras pada 2021, misalnya, turun 10,16 persen menjadi 11,31 persen dari MPP pada 2020 yang sebesar 21,47 persen. MPP cabai merah juga turun 20,90 persen dari 61,39 persen pada 2019 menjadi 40,41 persen pada 2021.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, Selasa (25/10/2022), mengatakan, selama pandemi Covid-19, berbagai aplikasi pangan memang membantu memangkas rantai distribusi komoditas. Banyak masyarakat yang menggunakan aplikasi itu untuk berbelanja dari rumah.
Namun, di kala pandemi sudah mulai terkendali, pola belanja tersebut mulai berubah. Banyak masyarakat yang kembali berbelanja bahan pangan di pasar tradisional, warung, dan ritel modern.
”Hal itu menjadi salah satu faktor yang membuat bisnis sejumlah start up pangan kian surut, bahkan bertumbangan. Faktor lainnya adalah banyak investor yang menanamkan modal ke start up itu mulai hengkang,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Bhima menjelaskan, selama ini, banyak start up pangan, terutama swasta, yang tidak hanya bertujuan memangkas rantai distribusi. Mereka lebih berorientasi pada pengumpulan data, serta menangkap peluang investasi dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman.
Dengan model bisnis seperti itu, margin yang diperoleh lebih bertumpu pada penyaluran investasi ataupun pinjaman, bukan pada penjualan komoditas pangan. Maka di saat investor menarik diri dan transaksi penjualan komoditas turun, bisnis start up tersebut menjadi surut.
Bananas, start up penjualan sayur dan buah segar secara daring, menutup layanannya tahun ini. Perusahaan itu baru beroperasi 10 bulan sejak diluncurkan pertama kali pada Januari 2022.
Brambang.com yang bergerak di sektor penyediaan kebutuhan sehari-hari secara daring (e-grocery) juga menutup layanannya per 27 Mei 2022. Perusahaan rintisan yang pada awal peluncurannya menjual bawang merah itu beralih ke penjualan barang elektronik.
TaniHub telah mentup warehouse atau gudang di Bandung dan Bali. Perusahaan itu lebih mempertajam fokus menumbuhkan usaha bisnis untuk bisnis (B to B) antara mitra strategis dengan horeka (hotel, restoran, kafe), ritel modern, dan grosir.
“Era pandemic darlings mulai surut. Ini merupakan seleksi alam. Menariknya, aplikasi pangan yang dirintis pemerintah pusat, badan usaha milik negara (BUMN), dan pemerintah daerah terus bertumbuh dan dikembangkan,” kata Bhima.
Era pandemic darlings mulai surut. Ini merupakan seleksi alam. Menariknya, aplikasi pangan yang dirintis pemerintah pusat, BUMN, dan pemerintah daerah terus bertumbuh dan dikembangkan,
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan DI Yogyakarta, misalnya, mengembangkan Sistem Informasi Pengawasan Pangan dan Gizi (Simawas) dan Sistem Informasi Cadangan Pangan. Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan, mengembangkan aplikasi Pak Tani.
Adapun Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama Bank NTT melahirkan aplikasi B Pung Petani. Aplikasi itu diharapkan dapat menghubungkan petani dengan off taker atau pembeli, pemerintah daerah, konsumen, dan mitra strategis lainnya.
Untuk menjaga distribusi perdagangan pangan pokok tetap efisien, lanjut Bhima, aplikasi-aplikasi pangan yang sukses diterapkan di sejumlah daerah tersebut bisa direplikasi atau diadopsi di daerah-daerah lain. Selain itu, kerja sama antara daerah surplus dan minus pangan perlu terus dikembangkan.
Sementara itu, ID Food, Holding BUMN Kluster Pangan juga berkomitmen mengembangkan integrasi hulu hingga hilir pangan di dalam negeri, baik dengan menjadi off taker maupun melalui pengembangan pemasaran berbasis teknologi. ID Food juga akan mendukung rencana negara-negara G20 mengantisipasi krisis pangan global.
Di sektor peternakan domestik, misalnya, ID Food bekerja sama dengan start up Pitik Digital Indonesia. Melalui kerja sama itu, peran ID FOOD adalah memfasilitasi jual beli bibit ayam (day old chick/DOC) dan ayam broiler hidup, serta pakan ayam.
Adapun terkait dengan antisipasi krisis pangan global, ID FOOD siap berkolaborasi dengan negara-negara G20 lain untuk memperluas ekosistem pangan. Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan mengatakan, kolaborasi itu dapat berupa kerja sama penguatan dan transfer teknologi pangan, serta penelitian pengembangan usaha sektor hulu-hilir pangan.
”Kerja sama peningkatan perdagangan bilateral dan multilateral juga bisa dilakukan. Potensi sinergi sektor pangan dengan G20 untuk mengantisipasi krisis pangan global cukup besar. Di antaranya melalui pengembangan jaringan pasar internasional melalui penguatan produk pangan dan peluang ekspor,” ujarnya melalui siaran pers, Selasa.
Potensi sinergi sektor pangan dengan G20 untuk mengantisipasi krisis pangan global cukup besar. Di antaranya melalui pengembangan jaringan pasar internasional melalui penguatan produk pangan dan peluang ekspor.
Perusahaan-perusahaan pelat merah yang tergabung dalam ID Food ini telah mengekspor sejumlah produk dari petani dan nelayan mitra. Perum Perikanan Indonesia (Perindo), misalnya, sepanjang 2021, telah mengekspor 150 ton ikan kembung ke Thailand, 132 ton whole steam octopus (gurita utuh kukus) ke Amerika Serikat, 30 ton gurita ke Jepang, dan 25 ton ikan setuhuk (black marlin) ke Filipina.
Begitu juga dengan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI. Perseroan tersebut mengekspor produk kopi dari petani dan UKM binaan PPI ke Mesir sebanyak 3.000 ton untuk periode Januari-Desember 2022.