Margin perdagangan dan pengangkutan sejumlah pangan pokok turun pada 2021. Namun, kenaikan harga pupuk dan BBM berpotensi mendongkrak kembali kenaikan MPP pada tahun ini.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Distribusi perdagangan sejumlah pangan pokok pada tahun 2021 semakin efisien. Penurunan margin perdagangan dan pengangkutan atau MPP menjadi indikatornya. Kendati begitu, MPP tetap perlu dijaga untuk mengantisipasi imbas kenaikan harga pupuk dan bahan bakar minyak.
Komoditas pangan pokok yang distribusi perdagangannya semakin efisien adalah beras dan cabai merah. Hal itu terungkap dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk ”Distribusi Perdagangan Komoditas Beras Indonesia 2022” dan ”Distribusi Perdagangan Komoditas Cabai Merah Indonesia 2022” yang dipublikasikan di Jakarta, Senin (24/10/2022).
Pola distribusi perdagangan beras dari produsen ke konsumen akhir pada 2021 semakin efisien karena satu rantainya terputus. Pendistribusian beras hanya melewati satu rantai distribusi, yakni pedagang eceran.
Beras dari produsen paling banyak didistribusikan ke pedagang eceran, yakni mencapai 25,26 persen. Hal ini membuat MPP beras tahun 2021 turun 10,16 persen menjadi 11,31 persen dari MPP 2020 yang tercatat 21,47 persen. Semakin rendah MPP sebuah komoditas, semakin pendek dan efisien distribusinya.
MPP beras 2021 turun 10,16 persen menjadi 11,31 persen dari MPP 2020 yang sebesar 21,47 persen. Semakin rendah MPP sebuah komoditas, semakin pendek dan efisein distribusinya.
Adapun untuk cabai merah, pola distribusinya pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2019 masih sama. Pendistribusiannya ke konsumen akhir memiliki tiga rantai, yaitu produsen, pedagang pengepul, dan pedagang eceran.
Akan tetapi, MPP cabai merah turun sebesar 20,90 persen dari 61,39 persen pada tahun 2019 menjadi 40,41 persen pada 2021. Peran perdagangan antardaerah surplus dengan defisit yang dimotori oleh pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) berkontribusi signifikan terhadap penurunan MPP tersebut.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak Hery Sugiartono berpendapat, pandemi Covid-19 mengubah pola distribusi pangan pokok di Indonesia, termasuk beras dan cabai merah. Terputusnya distribusi akibat pembatasan mobilitas melahirkan sejumlah aplikasi yang menjembatani langsung antara produsen dan konsumen akhir.
Selain itu, pemerintah pusat dan daerah memfasilitasi pergerakan pangan dari produsen langsung ke konsumen akhir. Masifnya sejumlah operasi pasar untuk meradam kenaikan harga sejumlah pangan pokok dengan melibatkan BUMN kluster pangan juga menjadi faktor penentu penurunan MPP komoditas.
”Pada tahun ini efisiensi distribusi pangan itu tetap perlu dijaga. Kenaikan harga pupuk dan bahan bakar minyak (BBM) pasti akan berpengaruh terhadap kenaikan MPP,” ujarnya ketika dihubungi, Senin.
Pada tahun ini efisiensi distribusi pangan itu tetap perlu dijaga. Kenaikan harga pupuk dan BBM pasti akan berpengaruh terhadap kenaikan MPP.
Hery mencontohkan, biaya produksi beras di Demak, Jawa Tengah, sudah melonjak dari Rp 9 juta-Rp 12 juta per hektar (ha) menjadi Rp 11 juta-14 juta per ha. Lonjakan itu didominasi oleh kenaikan harga pupuk nonsubsidi yang terpaksa dibeli petani untuk menambal kekurangan jatah pupuk subsidi.
Biaya pengangkutan atau pengiriman beras ke sejumlah wilayah di Jakarta dan luar Jawa juga meningkat antara Rp 100.000 dan Rp 200.000 per truk akibat kenaikan harga BBM. Truk berkapasitas angkut hingga 9 ton, misalnya, biayanya sekarang naik dari rata-rata Rp 2,6 juta menjadi Rp 2,8 juta.
Menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri, distribusi perdagangan pangan pokok, terutama ke pasar-pasar tradisional, memang sudah mulai cukup efisien. Hal itu berkat perdagangan antaradaerah surplus dengan minus dan peran BUMN pangan yang turut memasok sejumlah pangan pokok ke sejumlah pasar tradisional. ”Namun, untuk daerah-daerah di luar Jawa, distribusi perdagangan komoditas pangan pokok masih perlu dibenahi kembali,” ujarnya.
BPS mencatat, ada sejumlah provinsi yang MPP beras dan cabai merahnya pada 2021 masih tinggi. Provinsi dengan MPP beras yang masih tinggi adalah Maluku (37,09 persen), Papua Barat (26,84 persen), dan Kalimatan Tengah (26,79 persen). Sementara provinsi dengan MPP cabai merah tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (127,01 persen), Kepulauan Bangka Belitung (117,96 persen), dan Kalimantan Utara (115,85 persen).
Namun, untuk daerah-daerah di luar Jawa, distribusi perdagangan komoditas pangan pokok masih perlu dibenahi kembali.
Abdullah menyatakan, harga pangan pokok belum naik signifikan setelah pemerintah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh upaya pemerintah pusat dan daerah menekan inflasi melalui subsidi transportasi barang.
Kalaupun ada kenaikan harga, hanya terjadi pada sejumlah pangan pokok. Itu pun lantaran pedagang pasar sedikit menaikkan harga lantaran harga yang diterima dari distributor atau pedagang pengepul juga sudah sedikit naik.
”Kenaikan harga pangan pokok yang cukup signifikan diperkirakan baru terjadi pada periode Natal 2022 dan Tahun Baru 2023,” kata Abdullah.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional per 24 Oktober 2022, sejumlah komoditas pangan pokok di pasar-pasar tradisional yang harganya mulai naik antara lain minyak goreng curah, cabai merah besar, dan daging ayam ras. Jika dibandingkan pada 21 Oktober 2022, harga minyak goreng curah naik 0,18 persen menjadi Rp 14.500 per kilogram (kg) dan harga cabai merah naik 0,93 persen menjadi Rp 43.500 per kg.
Adapun harga beras medium masih tetap pada periode 21-24 Oktober 2022. Untuk beras kualitas medium I, harganya Rp 12.200 per kg dan kualitas medium II Rp 12.000 per kg.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada pekan ketiga Oktober 2022, Bank Indonesia (BI) menyebutkan, tingkat inflasi hingga pekan ketiga tersebut sebesar 0,05 persen secara bulanan. Komoditas utama penyumbang inflasi itu antara lain bensin (0,05 persen), tarif angkutan dalam kota sebesar 0,04 persen, serta tarif angkutan antarkota, harga tahu, tempe, dan beras masing-masing 0,01 persen.
Sementara itu, dalam acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan di Sulawesi Selatan (Sulsel), Senin, BI bersama dengan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Sulsel berkomitmen meningkatkan produksi dan menjaga kelancaran distribusi, termasuk memperpendek rantai distribusi. Beberapa upaya yang dilakukan adalah memperpendek rantai distribusi melalui kerja sama antara asosiasi toko ritel dan distributor, mengoptimalkan platform digital, dan penanaman cabai.