Perpres Energi Terbarukan Mantapkan Pengakhiran PLTU
Seperti dalam Perpres No 112/2022, Kementerian ESDM akan membuat ketentuan peta jalan penghentian dini PLTU. Adapun pengembangan PLTU baru hanya yang memenuhi syarat seperti sepaket dengan smelter atau PSN.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik akan mempertegas penghentian dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. Juga ada pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali yang memenuhi syarat. Pemerintah memberi batasan kuota terkait PLTU mana saja yang masih diperbolehkan beroperasi dan yang tidak.
Dalam perpres itu disebutkan PLTU baru dilarang dibangun kecuali yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya perpres. Selain itu, PLTU yang memenuhi persyaratan, yakni terintegrasi proyek strategis nasional (PSN) serta PLTU yang berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam 10 tahun sejak beroperasi. Adapun operasi PLTU paling lama hingga 2050.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar, mengatakan, keluarnya Perpres No 112/2022 sejalan dengan upaya percepatan pengembangan energi terbarukan. Mengenai penghentian dini PLTU, selanjutnya, akan dibuat ketentuan tentang peta jalan.
“Perpres ini semakin memantapkan kita melakukan itu. Memang kami ditanya-tanya, PLN juga bertanya apakah bisa pakai slot pengecualian. Tidak boleh karena ini hanya untuk PLTU-PLTU (baru) yang satu paket dengan smelter, yang PLN tak bisa menyediakan, atau PSN. Itu pun hanya sampai 2050,” ujar Wanhar dalam sosialisasi Perpres No 112/2022 secara hibrida, Jumat (7/10/2022).
Wanhar menambahkan, Perpres No 112/2022 sejalan dengan target emisi nol bersih (NZE). Pihaknya akan menyinergikan perpres dengan peta jalan NZE, serta meninjau ulang (review) Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
“Kami ingin memberi batasan, semacam kuota, berapa PLTU yang masih mungkin pantas kami persilakan (untuk tetap beroperasi). Itu sehubungan dengan target kita pada 2025 (bauran energi terbarukan mencapai 23 persen). Sebab, jangan jampai PLTU PLN ‘pensiun’ jor-joran, tetapi (PLTU) non-PLN nya bertambah. Jadi, bagaimana antara RUKN dan perpres tak saling bertentangan,” ujarnya.
Wanhar menambahkan, untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 35 persen dalam 10 tahun dibutuhkan teknologi yang tepat. Baik itu dengan penghijauan; penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS); dan co-firing (pemanfaatan biomassa pada PLTU batubara). Terobosan itu diharapkan menjadi solusi yang adil.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, regulasi lanjutan terkait pengakhiran PLTU akan tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM. “Ini harus ada persetujuan dan koordinasi dengan Menteri Keuangan dan Menteri BUMN. Kami, bersama PLN dan kementerian/lembaga lain sedang bekerja untuk hal tersebut,” katanya.
Dari sisi PLN, Vice President Pengembangan dan Pengendalian, Divisi Energi Baru Terbarukan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Rusdi Karim menambahkan, pihaknya akan menjalankan peraturan yang ada. Namun, di sisi lain, ia berharap ada kejelasan terkait penghentian PLTU maupun PLTU baru yang diperbolehkan, sehingga semua akan sejalan.
“Ini agar PLN tak sulit dalam keuangannya. (Dalam Perpres) ada hal terkait diperbolehkannya bangun PLTU tapi sampai 2050 (pengecualian), tetapi di sisi lain PLN disuruh percepat (pensiun). Ini harus disesuaikan, sehingga keuangan PLN tak menjadi lebih sulit,” kata Rusdi.
Aturan turunan
Terkait aturan turunan, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna, mengatakan, sejumlah regulasi dibutuhkan baik dari Kementerian ESDM maupun kementerian/lembaga lain sebagai turunan Perpres No 112/2022. Hal tersebut untuk mengakomodasi transisi menuju implementasi perpres.
Dalam kewenangan Kementerian ESDM, aturan yang dibutuhkan di antaranya ialah peraturan menteri terkait pedoman perjanjian jual beli listrik (PJBL) untuk pembangkit listrik energi terbarukan dan peraturan tentang harga pembelian listriknya. Juga Keputusan menteri tentang peta jalan emisi nol bersih di 2060 sektor energi dan peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU.
Sementara dalam kewenangan kementerian lain, yakni Peraturan Menteri Keuangan terkait dukungan fiskal untuk PLTU yang dipercepat masa operasionalnya dan Peraturan Menteri Perindustrian terkait dukungan prioritas penggunaan produk dalam negeri. Selain itu, regulasi pemerintah daerah terkait dukungan insentif fiskal dan nonfiskal juga diperlukan.
“Kami akan mengoordinasikan dengan kementerian/lembaga terkait dalam penyiapan regulasi tersebut,” kata Feby.
Perpres No 112/2022 membawa harapan bagi badan usaha atau penyedia energi terbarukan. Ketentuan mengenai insentif tertuang dalam Bab V tentang Dukungan Pemerintah pada Pasal 22. Insentif yang diberikan dalam bentuk fiskal dan nonfiskal, seperti pembebasan bea masuk impor, fasilitas pembiayaan, dan permudahan perizinan.
Adapun pada Pasal 24 disebutkan, jika pembelian listrik dari pembangkit berbasis energi terbarukan menyebabkan peningkatan biaya pokok pembangkit tenaga listrik PLN, maka PLN harus diberi kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan. Segala aturan rinci mengenai ini, kata Fabby, juga mesti segera disiapkan sejak sekarang agar efektif.