Visi Indonesia Maju Harus Sejalan dengan Target Pengurangan Emisi
Pertumbuhan ekonomi saat ini masih bergantung pada produksi batubara. Perlu dipikirkan upaya menyelaraskan transisi energi dengan mimpi menjadi negara maju pada 2045.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi dari penggunaan energi fosil ke energi bersih dan ramah lingkungan dinilai akan menjadi tantangan dalam mewujudkan Visi Indonesia 2045 untuk menjadi negara maju. Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan visi tersebut sembari menjalankan target penurunan emisi. Untuk itu perlu upaya nyata untuk mengakselerasi transisi energi tanpa mengorbankan mimpi menjadi negara maju.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum, Widhyawan Prawiraatmadja, dalam peluncuran Indonesia Sustainable Institute for Essential Services Reform Energy Week secara daring, Kamis (6/10/2022), mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang positif akan mempercepat tercapainya Visi Indonesia 2045.
Berdasarkan Visi Indonesia 2045 yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia diproyeksikan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Kemudian, Indonesia akan menjadi salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar dunia. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu dari enam variabel pengontrol arah perjalanan Indonesia menjadi negara maju.
”Pertumbuhan ekonomi ini ditunjang oleh pertumbuhan energi. Namun, harus dipikirkan apakah pertumbuhan ekonomi sejalan dengan langkah menurunkan emisi. Apalagi, ekonomi saat ini ditunjang batubara dan konsumsi masyarakat Indonesia tinggi terhadap energi (fosil) tersebut,” kata Widhyawan.
Sektor energi fosil, khususnya batubara, masih menjadi penopang penting pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Terlebih, Indonesia menjadi salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia. Produksi batubara Indonesia mencapai 436,82 juta ton hingga September 2022.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), batubara menjadi sumber energi sebesar 38,46 persen dari total pasokan energi Indonesia. Sementara itu, energi baru dan terbarukan (EBT) hanya menyumbang 11,2 persen. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, target bauran energi baru dan terbarukan pada 2025 sebesar 23 persen. Sementara itu, target tersebut naik pada 2050 menjadi sedikitnya 31 persen.
Lebarnya kesenjangan guna memenuhi target pada 2025 ini menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Widhyawan menambahkan, akselerasi transisi energi perlu dilakukan segera dengan memperhatikan keandalan kualitas energi baru dan terbarukan. Apalagi, seiring dengan kemajuan ekonomi yang diharapkan, akan terjadi pertumbuhan konsumsi energi yang terus-menerus dan masif.
Aspek penting lain dari transisi energi adalah perilaku masyarakat sebagai konsumen energi. Widhyawan mengacu pada laporan Badan Energi Internasional (IEA). Laporan itu menunjukkan, Indonesia memiliki rata-rata intensitas konsumsi bahan bakar untuk mobil mencapai 8,1 liter per 100 kilometer. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari banyak negara dengan tingkat pendapatan yang sama dan 40 persen lebih tinggi daripada di India.
Menurut Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna, ada rencana phase-down atau menghentikan secara bertahap penggunaan batubara. Caranya ialah dengan menghentikan operasi lebih dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
”Untuk transisi energi, kita akan memanfaatkan energi baru dan terbarukan sebagai alternatif pengganti batubara. Kita punya banyak potensi EBT, seperti biofuel atau green hydrogen,” tutur Andriah.
Andriah menambahkan, pihaknya saat ini sedang menyusun peta jalan ”pensiun dini” PLTU di Indonesia. Menurut rencana, paling tidak ada satu proyek percontohan PLTU yang bakal dihentikan operasinya lebih dini.
Untuk mengantisipasi perubahan pada ”pensiun dini” PLTU tersebut, menurut Widhyawan, pemerintah perlu memperhatikan konteks sosial ekonomi, terutama menyangkut para pekerja di industri batubara. Cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan pendampingan dan insentif pada mereka yang terdampak.
”Selain menjadi tantangan, ini menjadi peluang. Pemerintah perlu memfasilitasi para pekerja ini untuk beralih kecakapan agar bisa menangani sektor energi bersih,” ujarnya.
Upaya pemerintah
Koordinator Ketenagalistrikan Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas Yusuf Suryanto mengatakan, ada dua kunci untuk mewujudkan Visi Indonesia 2045. Salah satunya meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen selama 2022-2045. Namun, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2022 baru mencapai 5,44 persen.
Meski demikian, Yusuf optimistis target tersebut tercapai. Strateginya dengan melakukan transformasi ekonomi melalui ekonomi hijau. Di dalam ekonomi hijau ada proses transisi energi. ”Transisi energi dengan transisi listrik Indonesia, antara lain, dengan dekarbonisasi, perluasan elektrifikasi kendaraan listrik, reformasi kebijakan tarif dan harga, efisiensi energi, dan lokalisasi teknologi,” ucapnya.
Rencana-rencana itu akan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 dan Rencana Pembangunaan Jangka Menengah Nasional 2025-2030.
Adapun Kementerian ESDM berpatokan kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam perpres tersebut terdapat ketentuan tentang dukungan pemerintah untuk badan usaha berupa insentif. Insentif diberikan dalam bentuk fiskal maupun non-fiskal. Selain itu, Kementerian ESDM juga akan menyiapkan tujuh regulasi turunan dari perpres tersebut.
”Empat regulasi berupa peraturan menteri yang di antaranya berupa harga pembelian listrik dari pembangkit listrik energi. Tiga regulasi sisanya berupa keputusan menteri,” ujar Andriah.