Pemerintah Antisipasi Kendala Penyaluran Bantuan Sosial
Pemerintah menempuh sejumlah cara guna memastikan bantuan tepat sasaran. Per September 2022, bantuan langsung tunai pengalihan subsidi BBM tahap I telah tersalur Rp 6,2 triliun untuk 20,65 juta keluarga penerima manfaat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengantisipasi potensi kendala yang dihadapi dalam penyaluran bantuan sosial, terutama pada bantuan subsidi upah, seperti dengan menapis dan mencocokkan data rekening pada bank-bank negara. Hal itu ditempuh agar bantuan benar-benar tepat sasaran. Dengan demikian, daya beli masyarakat penerima yang tergerus kenaikan harga bahan bakar minyak dan inflasi menjadi lebih baik.
Menurut data Kementerian Keuangan, Bantuan Langsung Tunai Pengalihan Subsidi BBM (BLT BBM) Tahap I untuk dua bulan sudah terealisasi pada September 2022. Nilainya Rp 300.000 per keluarga penerima manfaat (KPM). Totalnya ada 20,65 juta KPM dengan nilai total Rp 6,2 triliun atau 50 persen dari anggaran. Adapun untuk tahap II (untuk dua bulan) akan diberikan pada November 2022.
Sementara Bantuan Subsidi Upah (BSU), yang antara lain untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi pekerja/buruh serta membantu pengusaha, telah terealisasi tahap I-III senilai Rp 4,2 triliun atau 48,2 persen dari anggaran. Hingga akhir tahun, BSU diproyeksikan akan disalurkan dalam tujuh tahap dengan total target mencapai 16 juta pekerja/buruh.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata, pada penjelasan ke media terkait penyaluran bantuan sosial dan pembiayaan, di Jakarta, Jumat (30/9/2022), mengatakan, terkait BSU, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, ingin betul-betul cermat. Dengan demikian, penyalurannya diharapkan benar-benar tepat sasaran.
”Jadi, dari daftar yang dari BP Jamsostek, mereka harus melakukan screening. Penerima (BSU) tidak boleh PNS (pegawai negeri sipil), TNI, dan Polri, meski mereka tidak terdaftar (di BP Jamsostek). Tetapi, syarat itu ada (sehingga tetap perlu screening). Selain itu, mereka juga harus dipastikan bukan penerima BLT-BBM. Setelah screening (berjalan baik), seharusnya tidak ada masalah,” kata Isa.
Adapun penyaluran BLT-BBM dilakukan secara tunai melalui PT Pos Indonesia, sedangkan BSU melalui Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Pos Indonesia. ”Bagi yang tak punya rekening di Himbara, bisa buka rekening kolektif. Namun, sering kali ada masalah teknis, seperti KTP-nya tidak jelas dan sebagainya. Lewat PT Pos Indonesia prosesnya cepat, tetapi dari segi biaya lebih mahal dari proses perbankan,” kata dia.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menyatakan, bantuan sosial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga bahan bakar minyak. Begitu juga jika dibandingkan dengan inflasi. Dengan demikian, diharapkan ada perbaikan daya beli.
Akan tetapi, mereka yang berada pada posisi sulit ialah masyarakat kelas menengah yang daya belinya cukup tertekan. ”Namun, di sisi lain, demand (permintaan) dari masyarakat saat ini belum menurun sehingga belum memengaruhi pola konsumsinya. Dugaannya, karena pemulihan ekonomi masih baik serta peningkatan suku bunga dari Bank Indonesia (BI) masih ada lag ke sektor riil. Jadi, sejauh ini belum terefleksikan,” kata Riefky.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyatakan, dampak situasi global, termasuk geopolitik, ada sejumlah variabel yang berpengaruh pada pembiayaan. Pertama ialah ketika inflasi meningkat, seperti di Amerika Serikat dan Eropa yang mencapai 9 persen, yang diikuti kenaikan suku bunga, cost of fund (biaya dana bank) juga meningkat.
”Kedua, dalam kondisi seperti ini, para investor cenderung cari aman. Wait and see. Maka, terjadi outflow (dana asing keluar) dari emerging market karena melihat ada risiko. Ketiga, ternyata, mata uang AS saat ini menjadi yang paling menjanjikan. Maka terjadi penguatan mata uang AS terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk Indonesia,” kata Luky.
Garis kemiskinan
Sebelumnya, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dan kelas masyarakat. Melalui perubahan hitungan keseimbangan kemampuan berbelanja atau paritas daya beli (purchasing power parities/PPPs) itu, jumlah orang miskin di sejumlah negara, termasuk Indonesia, bertambah. (Kompas, 30/9/2022)
Adapun garis kemiskinan, menurut Badan Pusat Statistik, ialah representasi jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan non-makanan per kapita per bulan. Pemerintah memasang target menekan angka kemiskinan pada kisaran 7,5-8,5 persen pada tahun depan. Per Maret 2022, angka kemiskinan Indonesia tercatat 9,54 persen.
Terkait adanya perubahan garis kemiskinan Bank Dunia, Isa menuturkan, tanpa ada hal itu pun pemerintah selalu meninjau kembali (review) hal itu. Sementara terkait apa yang ditetapkan Bank Dunia, hingga kini belum ada rencana pembahasan.
”Itu, kan, baru satu info Bank Dunia. Akan jadi bahan evaluasi. (Namun) itu memerlukan rapat kabinet dan lainnya, untuk menentukan batasan berapa yang dianggap miskin. Akan dipengaruhi berapa penghasilan seseorang. Saya yakin akan jadi bahan diskusi, tetapi saya tidak tahu kapan,” kata Isa.
Riefky menilai, perubahan garis kemiskinan oleh Bank Dunia sifatnya pada level global dan tidak menangkap karakteristik di masing-masing negara. Pemerintah pun, diyakininya, tidak akan mengubah garis atau batas kemiskinan di tingkat nasional. Pasalnya, yang harus menjadi fokus ialah bagaimana membangun kesejahteraan untuk jangka panjang.
”Kesejahteraan jangka panjang itu dibangun, antara lain, dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan produktvitas. Itu semua bisa dicapai dengan quality spending (belanja berkualitas), seperti pembangunan infrastruktur, tambahan biaya untuk kesehatan, pendidikan, dan lainnya,” ucap Riefky.