Hadapi Ancaman Resesi Global, Belanja APBN Perlu Lebih Selektif
Pemerintah diharapkan fleksibel dan selektif dalam menetapkan belanja APBN untuk mengantisipasi dampak dari melambatnya perekonomian dunia. Ruang fiskal yang terbatas perlu diarahkan untuk menjaga perekonomian domestik.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belanja APBN tahun depan harus lebih selektif di tengah ancaman resesi global dan kebutuhan negara untuk menekan defisit fiskal sebesar 2,84 persen. Meski fundamen ekonomi RI relatif kuat karena ditopang oleh faktor domestik, imbas dari tren inflasi dan pengetatan moneter negara maju tetap bisa menggoyang ekonomi dalam negeri.
Pemerintah mengklaim postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023 yang baru disepakati di tingkat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) bersama pemerintah, Selasa (27/9/2022), telah didesain untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global tersebut.
Pada RAPBN 2023, pemerintah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen, laju inflasi 3,6 persen, serta nilai tukar rupiah Rp 14.800 per dollar AS. Adapun defisit APBN ditetapkan sebesar 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 598,2 triliun, sesuai dengan target pemerintah menahan defisit fiskal di bawah 3 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Rabu (28/9/2022), lepas dari proyeksi sejumlah lembaga internasional bahwa perekonomian Indonesia masih relatif kuat, imbas dari ancaman krisis global pada tahun 2023 akan tetap terasa.
Di satu sisi, ekonomi RI memang terbantu oleh faktor domestik yang menopang hingga sekitar 80 persen struktur ekonomi dalam negeri, khususnya dari konsumsi rumah tangga. Hanya sekitar 20 persen yang bergantung pada perdagangan internasional, sehingga dampak resesi global dan menurunnya kinerja ekspor tidak akan terlalu memukul perekonomian Indonesia.
Meski demikian, dampak dari tren inflasi yang juga didorong oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), serta kondisi dunia usaha yang akan terbebani dampak pengetatan moneter negara maju, dapat ikut melemahkan konsumsi domestik dan prospek pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah pun diharapkan bisa lebih fleksibel dan selektif dalam menetapkan pos belanja, untuk mengantisipasi dampak dari melambatnya perekonomian dunia. Ruang fiskal yang lebih terbatas perlu diarahkan untuk menjaga perekonomian domestik.
“Ketika ketidakpastian tinggi, cadangan APBN perlu disiapkan lebih besar. Masalahnya, defisit kita sudah dibatasi maksimal 3 persen. Oleh karena itu, konsekuensinya, harus dilihat ulang program mana yang perlu menjadi prioritas, yang bisa menjaga dan memperkuat perekonomian domestik kita,” kata Tauhid.
Tantangan berat
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, tantangan fiskal tahun depan jauh lebih berat. Pasalnya, ketika APBN masih dibutuhkan untuk mendorong pemulihan ekonomi dan meredam guncangan ekonomi imbas “warisan” pandemi, di saat yang sama, pemerintah berencana mengurangi defisit anggaran.
Defisit fiskal itu sendiri dinilai sebagai keniscayaan untuk menjaga kesehatan APBN dan menekan pembiayaan utang, apalagi di tengah ancaman depresiasi mata uang. Oleh karena itu, senada dengan Tauhid, ia menilai, belanja APBN tahun depan harus lebih selektif dan fleksibel.
Prioritas belanja perlu diarahkan untuk sektor-sektor yang bisa menggerakkan dan memperkuat ekonomi domestik, seperti pariwisata yang belum pulih betul pascapandemi, manufaktur yang dibutuhkan untuk nilai tambah ekonomi, serta perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah tren inflasi. “Harus lebih selektif. Tidak ada jalan lain. Ruang (defisit) 2,84 persen itu harus dimaksimalkan,” katanya.
Menurutnya, postur belanja RAPBN 2023 belum menjawab warisan tantangan itu. Ia menyoroti belanja negara yang pada tahun depan akan tetap difokuskan untuk beberapa program seperti pembangunan ibu kota baru (IKN) dan penyelesaian infrastruktur strategis. Sementara, belum ada terobosan dari segi peningkatan kualitas program perlindungan sosial.
Ia menilai, beberapa pos belanja masih dibayangi oleh bayang-bayang nuansa politik, apalagi mendekati tahun politik. “Infrastruktur sebenarnya bisa direlokasi karena itu sifatnya fleksibel. Tetapi, memang secara politik anggaran ini agak sulit karena menjelang akhir masa jabatan dan proyek infrastruktur bisa dikatakan sebagai “nilai jual” Presiden Jokowi,” ujar dia.
Dalam rapat dengan Banggar DPR, Selasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, RAPBN 2023 adalah keputusan yang antisipatif dan strategis untuk menyikapi tren kenaikan suku bunga, gejolak sektor keuangan, serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
“Defisit fiskal yang lebih rendah dibutuhkan untuk memberikan potensi keamanan bagi APBN dan perekonomian kita. Kita harus waspada terhadap pengelolaan defisit dan pembiayaan utang kita,” katanya.
Sri mengatakan, instrumen APBN akan difokuskan untuk memperbaiki produktivitas, menjaga momentum pemulihan ekonomi, dan mendukung transformasi ekonomi. “Postur pendapatan, belanja, defisit, dan pembiayaan APBN tahun depan, sejumlah asumsi yang disepakati sudah disesuaikan dengan bacaan kondisi aktual ekonomi global dan nasional,” katanya.
Belanja negara yang dipatok sebesar Rp 3.061,2 triliun, yang terdiri dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) senilai Rp 1.000,84 triliun, belanja non-KL senilai Rp 1.245,61 triliun, dan transfer ke daerah Rp 814,71 triliun.
Belanja APBN secara umum akan difokuskan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mendukung persiapan tahapan Pemilu 2024, pembangunan IKN, dan penyelesaian proyek-proyek infrastruktur strategis. “Ini pertama kalinya dalam sejarah kita, belanja K/L menembus angka Rp 1.000 triliun,” kata Sri.
Sementara itu, pendapatan negara dipatok mencapai Rp 2.463,02 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan senilai Rp 2.021,22 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 441,39 triliun.
“Target pendapatan ini mungkin dianggap aman, tetapi di sisi lain, kalau melihat gejolak pasar komoditas yang akan berimbas pada pendapatan negara, kita harus membuat suatu mekanisme untuk mengamankan apabila harga komoditas tidak setinggi yang diasumsikan,” ujarnya.